webnovel

TERPERANGKAP PESONA CEO (20)

Maaf, ini intronya aja yang serius, coba deh baca tiga bab pertama. *** Apa yang akan terjadi bila ayah sahabat masa kecilmu adalah dalang dibalik hancurnya keluargamu? Nayla, seorang gadis yang berteman dekat dengan Reza, mengalami amnesia setelah kecelakaan tragis. Dirinya melupakan Reza dan segala hal bengis dibalik keluarga sang pria hingga suatu hari... Ia bertemu kembali dengan Reza di perusahaan sang pria! Tapi...Nayla telah berubah menjadi buruk rupa dan bekerja menjadi OB. Reza tak mengenali Nayla pula! Akankah ada kisah cinta diantara dua sejoli ini sementara ayahnya Reza menjadi kaya akibat mengkhianati ayahnya Nayla? Akankah mereka tetap bisa menjadi kekasih ketika keluarga Reza bersikeras menghalangi kisah mereka? Dapatkah Nayla membongkar rahasia dibalik kehancuran keluarganya? Apa yang akan ia lakukan setelah mengetahui bahwa keluarga Reza adalah musuhnya? Inilah kisah "Dari benci jadi cinta" yang sesungguhnya. Romeo dan Juliet zaman modern. . . Simak selengkapnya, di kisah TERPERANGKAP PESONA CEO (20).

da_pink · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
295 Chs

TANDA PENGENAL

-POV REZA-

Wanita pengganggu ini memang benar-benar membuat saya tidak konsentrasi dalam membaca. Ia terdengar grasak grusuk saja di belakang sana. Saya jadi benar-benar merasa terusik.

Namun, baru akan memarahi. Lagi-lagi dia hampir terjatuh, dan saya pun terpaksa melakukan hal yang sama persis, seperti kejadian di dapur tadi pagi.

Ia nampak terkejut, matanya terbuka lebar ketika saya tak sengaja menatap bola mata itu. Beberapa saat kemudian ia tutup rapat-rapat. Lalu, sadar tubuhnya tak terhempas ke lantai, ia membuka mata kembali.

Ia membalas tatapan saya, yang sedang mencari-cari kebenaran yang tak sengaja saya temukan dari mata itu.

Saya ingat kejadian beberapa tahun silam. Saat Nayla kemasukkan sesuatu di matanya. Ia meminta saya untuk menghembuskan udara di sana, supaya sesuatu yang masuk ke dalam matanya itu bisa keluar.

Ia membuka mata lebar-lebar, menyodorkan pada saya. Beberapa masa saya terpana, karena terkejut dengan tindakannya barusan. Hati ini berdebar-debar. Itu lah kali pertama saya merasakan ada sesuatu yang lain terasa di sana.

"Reza, tolong hembus. Mata aku perih nich!"

Dia mulai resah, karena matanya sudah berair.

Saya pun memegang kelopak mata itu, lalu menariknya ke atas agar bisa dengan leluasa meniupkan udara.

Warna bola mata Nayla cukup unik, jika diperhatikan lebih dekat, ia akan terlihat memiliki dua warna yang berbeda. Sebelah kanan berwarna coklat, sebelah kiri berwarna hazel. Warna mata heterochromia namanya, dimana mata itu adalah hasil dari mutasi genetis, menyebabkan warna iris kedua mata jadi berbeda satu sama lain.

Dan Nayla salah satu yang memiliki keunikkan itu di dunia. Meski terlihat nyaris sama, tetapi seperti yang dikatakan tadi. Jika dilihat lebih dekat, perbedaannya akan tampak.

"Bola mata kamu warnanya kok berbeda?"

Setelah meniup matanya, saya lalu bertanya pada Nayla perihal keunikkan tersebut.

"Oh ini, kamu ingat ya, jenis mata aku adalah heterochromia, mata terunik di dunia. Jadi selain kode rahasia, kamu juga bisa nandain aku dari warna ini."

Nayla ketika itu kembali membuka matanya lebar-lebar dan mendekat. Membuat jantung saya berdebar semakin tak terkendali.

Saat ini, saya menemukan warna mata heterochromia itu. Sebelah kanan berwarna coklat, sebelah kiri berwarna hazel.

Mungkin kah dia benar-benar Nayla si Dua Dua yang saya cari-cari. Jika iya, kenapa ia sama sekali tak mengerti dengan kode rahasia yang pernah saya lontarkan padanya.

Padahal dirinya lah yang menciptakan kode itu, namun ia pula yang melupakan.

Dia tampak tidak nyaman dengan tatapan saya. Sungguh, bukan apa-apa, saya hanya tidak mengerti kenapa dia bersikap seperti ini.

Setelah selesai membantunya menyusun majalah-majalah itu, saya terus saja mengamati. Ia tampak benar-benar tidak nyaman, bahkan membalas tatapan saya pun tidak. Ia jadi lebih sering menunduk.

Lalu, mencoba untuk pergi. Tapi, saya menahan dan menarik tangannya.

Dia tampak terkejut.

"Maaf, Pak."

Katanya takut-takut.

"Saya Reza."

Ingin sekali mendengarnya menyebut nama saya lagi.

"Iya saya tau anda Pak Reza."

Sahutnya masih takut-takut seperti tadi.

Ya Tuhan, saya sangat yakin dia Nayla saya, tetapi kenapa sikapnya seolah-olah itu bukan dirinya saja. Kenapa ia tak ingat pada saya? Apa dia sengaja melakukan ini sebab marah, saya telah ingkar janji, tak bisa mengenalinya lebih awal.

Apa dia marah pada saya?

Saya jadi tidak bisa menahan diri, lalu menariknya ke dalam pelukkan. Sudah lama ingin melakukannya, jika bertemu lagi di kemudian hari.

"Saya Reza."

Mendengar itu, dia lalu mendorong tubuh saya kuat. Tampak ketakutan. Lalu, dengan serta merta berlari keluar pustaka, meninggalkan saya yang termangu, seperti orang bodoh.

Maafkan saya Nayla.

***

***

Saya melangkah gontai masuk kembali ke dalam ruangan. Lalu mengeluarkan patahan hati yang ada pada saya.

Nayla pasti mempunyai satu sisi yang lain. Saya akan menemuinya, dan menanyakan tentang benda ini.

Baru akan melangkah keluar. Tiba-tiba ada yang datang, menyelonong masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Dan yang dapat melakukan semua itu, hanya satu orang. Siapa lagi kalau bukan Papa saya sendiri, Bapak Dendra, ketua grup DA Publishing.

"Mau kemana kamu Reza?"

Saya urung melangkah, lalu berdiri saja di sisinya yang telah duduk di sofa tamu yang ada dalam ruangan.

"Papa tanya mau kemana kamu?" tegasnya lagi, membuat saya sedikit terkejut.

"Hanya ingin keluar mengambil air, Pa."

Saya menjawab sambil menunduk, tak berani menatap ke arahnya. Pengaruh Papa memang sangat besar, ia disegani seluruh karyawan, tak terkecuali saya, anaknya sendiri.

"Tidak ada kah orang yang bisa kau suruh untuk melakukannya?"

Saya tahu, dia sedang menatap marah ke arah saya.

"Reza, jangan sibukkan dirimu dengan hal-hal tak penting. Papa datang untuk melihat caramu bekerja memimpin Nabastala ini. Tetapi, kau malah memberi kesan buruk pada Papa. Tak layak seorang CEO, pergi ke dapur dan mengambil minumnya sendiri. Bagaimana Nabastala akan menjadi hebat, jika CEOnya saja seperti ini, tak ada ketegasan sama sekali!"

Dia memarahi saya untuk sesuatu hal yang tidak penting begini, menurut saya.

Tetapi tidak bagi dia.

"Kau sudah mengatur jadwal pertemuan dengan designer Gunawan?"

Dia melupakan begitu saja persoalan tadi, lalu mengganti topik dengan hal yang sama sekali belum saya persiapkan.

Melihat tak ada jawaban berarti dari saya, dia sampai menghela nafas, lalu mengurut dahi.

"Apa yang sudah kau persiapkan untuk mengejar ketertinggalan kita? Rencana apa? Ayo katakan? Papa ingin mendengar ide brilian seorang lulusan Manchester."

Entah kenapa, kata-kata ini lebih terdengar sebagai cemoohan di telinga saya. Ini baru hari kedua saya masuk kantor. Dan bagaimana bisa dalam waktu yang sesingkat itu, dapat mempersiapkan segala sesuatu.

Bagi saya, mengenal lingkungan kantor adalah hal pertama yang harus dilakukan. Sebab, hari-hari saya akan selalu berkecimpung dengan kantor ini. Jika saya tidak mengenali lingkungan, ketika ada kendala di kemudian hari, saya tidak akan bisa mengatasi dengan baik. Baik menurut cara pandang saya.

Namun, bagi Papa, proses semacam itu tak perlu dilakukan. Saya CEOnya, jadi semua yang ada di kantor ini, harus mengikuti wewenang dan perintah sang CEO.

Bagi saya, tidak selamanya sikap seperti itu bisa dipakai. Karyawan adalah roda penggerak kantor. Dari kerja keras merekalah Nabastala, yang selama delapan tahun belakang berdiri tanpa seorang pengendali resmi, bisa tetap bertengger di posisi, yang menurut saya tidak terlalu jelek.

Demi memberikan nuansa berbeda itu lah, saya merubah haluan yang sudah ditetapkan oleh Papa pada grup DA, yang hingga detik ini memang berhasil, namun, kita tak pernah tahu, ada berapa pengkhianat yang muncul dari unsur sakit hati, di kemudian hari nanti.

"Apa yang bisa kau katakan, Reza? Tidak ada? atau kau ingin dikirim lagi ke UK, menghabiskan musim dingin di sana?"

Papa masih tidak berubah. Ia memang masih Bapak Dendra yang tak pernah tebang pilih. Meski saya adalah anaknya sendiri, tetapi sikapnya tak merubah apapun.

Seperti yang pernah saya bilang. Saya seolah menjadi alat untuk memuaskan hawa nafsu orangtua, demi mencapai tujuan.

***

***