webnovel

Kabar Duka

Terlihat samar-samar bibir seorang pria yang tersenyum sambil mengucapkan, "Kamu adalah Permaisuriku."

"Siapa kamu? Apa maksudmu?" batin Rosalin yang mulutnya terkunci rapat. Bahkan badannya tak bisa digerakkan karena tengah mengalami kelumpuhan tidur.

"Alin! Alin! Kamu di mana? Alin!" teriak Delia yang seperti penghuni hutan lantaran sedari tadi tak menemukan Rosalin.

Mendengar teriakkan adiknya yang bar-bar itu akhirnya Rosalin bisa bangun. Ia langsung duduk dengan napas terengah-engah.

"Sial!" umpatnya sambil menyeka peluh di dahinya.

Teriakkan Delia yang tak kunjung berhenti membuat Rosalin bergegas pergi meninggalkan ruangan misterius itu. Sampai-sampai ia tak menyadari adanya sehelai bulu hitam yang sama dengan yang ia temukan sebelumnya ada di samping tempat ia tidur.

Betapa terkejutnya Delia saat mendapati Rosalin keluar dari kamar terlarang itu.

"Apa yang kamu lakukan di sana?" tanya Delia.

"Tidur! jawab singkat Rosalin dengan wajahnya yang pucat.

"Sudah mengambil keputusan?" tanya Rosalin yang kini melangkah cepat menuju kamarnya.

"Sudah! Aku memutuskan untuk—"

"Stop! Nanti saja saat sarapan! Aku mau mandi dan bersiap dulu," ucap Rosalin memotong kalimat Delia.

"Di saat seperti ini kamu masih mau ke kantor? Apa kamu gila?" pekik Delia tak percaya.

Jeder!

Alih-alih menanggapi Delia, Rosalin malah membanting pintu saat Delia hendak ikut masuk ke kamarnya dengan ocehan yang terus menghakiminya.

"Sial!" umpatnya yang berjalan meninggalkan tatapan sinis pada pintu kamar Rosalin.

Beberapa saat kemudian, akhirnya Rosalin turun dan berjalan ke ruang makan. Di sana Delia sudah duduk manis dengan secangkir teh dan beberapa menu makanan di meja.

"Jadi, apa keputusanmu?" tanya Rosalin yang dengan santainya mengambil nasi.

Sedang Delia menatap heran pada sang kakak atas sikapnya yang bisa setenang dan sesantai itu padahal sang ayah sudah menjadi bangkai di kamarnya.

"Otopsi dulu. Aku juga ingin tahu penyebab kematian Ayah," jawab Delia.

"Tunggu apa lagi, hubungi polisi sekarang!" titah Rosalin sambil memasukkan sesuap nasi di mulutnya.

"Sudah. Sebentar lagi juga datang! Alin, boleh aku menanyakan sesuatu padamu?" jawab Delia disusul dengan pertanyaan.

"Hmm! Lanjutkan!" jawab Rosalin yang tengah sibuk mengunyah.

"Apakah kamu masih punya hati dan perasaan? Bagaimana bisa kamu sesantai ini menghadapi duka di rumah kita? Apa yang membuatmu tak sedikitpun meneteskan air mata atas kepergian ayah? Padahal yang ku tahu kalian sangat dekat. Kenapa? Kenapa!"

Alih-alih menjawab rentetan pertanyaan Delia tersebut, Rosalin justru menyudahi acara sarapannya dan beranjak dari sana seraya berkata, "Kamu urus jalannya investigasi nanti. Kalau ada apa-apa segera hubungi aku!"

"Kamu mau pergi tanpa menjawab pertanyaanku?" teriak Delia yang kini mulai geram dengan sikap sang kakak.

Rosalin menghentikan langkahnya sejenak, lalu ia melirik sinis dan berkata, "Air mata bukanlah tolok ukur kesedihan seseorang! Raungan tangismu tadi malam mungkin hanya rasa takut ketika kamu kehilangan tempat bergantung saja!"

Meninggalkan senyuman mencemooh Rosalin kembali melanjutkan langkahnya.

Delia menyesap dalam teh di depannya dengan hati memanas mendengar langkah kaki Rosalin yang perlahan menjauh.

Prang!

Delia melampiaskan amarahnya dengan membanting cangkir teh di tangannya. Semua pelayan terkejut dibuatnya.

Sementara itu Rosalin yang kini tengah berada dalam mobil untuk menuju ke kantornya, memandang perih pemandangan jalanan kota dari kaca mobilnya. Sampai-sampai butiran air matanya meluncur membasahi pipinya.

"Ayah ...," batin Rosalin. Ia menelan getir salivanya.

Sedangkan seringai senyum puas yang mencurigakan terukir di wajah sang sopir yang sedari tadi memperhatikan Rosalin melalui kaca spion di atasnya.

"Sudah sampai, Nona! ucap sang sopir membangunkan Rosalin dari lamunannya.

Saat hendak turun dari mobilnya, tiba-tiba sang sopir menghentikan Rosalin.

"Tunggu, Nona!" cegahnya seraya mengulurkan sapu tangan berwarna putih pada Rosalin.

Rosalin menatap sapu tangan itu, kemudian menyusuri lengan sang sopir dan pandangannya berhenti pada wajah sang sopir yang baru kali pertama ia lihat.

"Siapa kamu? Di mana sopir yang bekerja padaku?" tanya Rosalin tanpa menyebutkan nama sopir pribadinya.

"Saya adalah keponakan pak Tarno. Kebetulan pagi ini beliau sedang tidak enak badan dan meminta saya untuk menggantikannya hari ini," terang pemuda yang mengenakan seragam kerja pak Tarno.

"Oh, baiklah!" jawab Rosalin puas dengan penjelasan pemuda itu. Tanpa mengusut lebih lanjut, Rosalin bergegas masuk ke kantornya.

Ia berjalan cepat sesekali ia menengok jam cantik yang ada di pergelangan tangan kirinya, sementara tangan kanannya sibuk menyeka wajahnya menggunakan sapu tangan dari sopir tadi.

Saat hendak memasukkan sapu tangan tersebut ke dalam tasnya, tiba-tiba sapu tangan tersebut jatuh dan terbuka sempurna. Nampak sebuah bordiran bergambar sehelai bulu hitam di salah satu sudut sapu tangan itu.

"Ini—" gumam Rosalin seraya memungut sapu tangan tersebut dan memperhatikan bordirannya.

Wush!

Tiba-tiba saja sapu tangan tersebut berubah menjadi sehelai bulu berwarna hitam.

Rosalin terkejut dan tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Dia membalikkan badan dan mengedarkan pandangannya mencari keberadaan mobil dan sang sopir. Sayangnya, sopir itu sudah pergi meninggalkan Rosalin.

Rosalin segera meraih ponselnya. Ia mencoba untuk menghubungi pak Tarno, sopir pribadinya. Betapa terkejutnya dia ketika mendengar bahwa sang sopir masih menunggunya di depan pintu rumahnya.

"Ini gila! Siapa dia? Apa maksud semua ini?" batin Rosalin sambil menggigit kuku ibu jarinya. Menepis segala rasa penasarannya, ia kembali melanjutkan langkahnya memasuki gedung pencakar langit yang ada di hadapannya sekarang.

Nampak para karyawan tengah gaduh dengan kabar angin tentang kematian Muldoko, sang direktur utama perusahaan VL Group.

Sampai akhirnya mereka menutup mulut mereka dalam sekejap saat menyadari kedatangan Rosalin sang putri direktur utama sekaligus wakil direktur VL Group.

Mereka semua menunduk tegang dan takut mendengar suara langkah kaki Rosalin yang berjalan menuju ruangannya. Hingga saat Rosalin sudah memasuki ruangannya, barulah mereka semua menghela nafas lega dan melanjutkan pekerjaan masing-masing ketimbang bergosip.

"Sepertinya kabar itu hanya kabar burung semata. Nyatanya, nona Rosalin masih seperti biasa," ujar salah satu karyawan.

Belum sempat karyawan tersebut menutup mulutnya, tiba-tiba Rosalin keluar dari ruangannya. Membuat karyawan tersebut gemetar ketakutan karena berpikir Rosalin mendengar ucapannya.

"Mohon perhatiannya sebentar! Saya ingin menyampaikan sebuah kabar kurang mengenakkan pada kalian semua," ucap Rosalin yang membuat para karyawannya menghentikan pekerjaannya sejenak.

Mereka berdiri dan menduga-duga tentang kabar yang akan disampaikan Rosalin.

"Saya, selaku putri direktur utama sekaligus wakil direktur perusahaan VL GROUP akan menyampaikan sebuah kabar duka. Hari ini tepatnya pukul satu dini hari, bapak Muldoko, direktur utama VL Group telah menghembuskan napas terakhirnya. Terkait penyebab kematiannya masih belum diketahui. Maka dari itu, saya selaku wakil direktur memutuskan untuk meliburkan kantor hari ini dan dua hari ke depan sebagai hari berkabung atas meninggalnya beliau. Sekian dan terima kasih. Kalian bisa pulang sekarang," pungkas Rosalin.

Para karyawan kebingungan harus bersikap bagaimana pada Rosalin. Melihat bahwa ketegaran Rosalin malah membuat dirinya tampak tak merasa kehilangan. Bahkan ia mampu mengumumkan kabar kematian ayahnya sendiri.