webnovel

Misteri Kematian Ayah

Malam itu menunjukkan pukul 01.15 dini hari. Namun, Rosalin masih berkutat dengan berkas-berkas di mejanya.

Pekatnya suasana sunyi malam itu membuat indera pendengaran gadis berambut sebahu tersebut semakin tajam.

Lalu, tiba-tiba terdengar suara teriakkan sang ayah yang begitu jelas.

Seketika gadis workaholic itu meninggalkan pekerjaannya dan berlari menuju kamar sang ayah.

Berulang kali ia memanggil dan mengetuk pintu, tapi tak ada jawaban dari sana.

Karena masih penasaran, ia menempelkan telinganya pada pintu itu. Samar-samar terdengar suara seperti kepakan sayap raksasa.

"Apa itu tadi?" gumamnya yang semakin cemas.

"Ayah ... buka pintunya!" teriaknya lagi sembari tangannya terus menggedor pintu kamar itu.

Kegaduhan yang dibuat Rosalin malam itu membuat Delia, sang adik terbangun dan menghampiri kakaknya.

"Kenapa? Apa yang terjadi? tanya Delia yang masih sempat menguap.

Tapi Rosalin tak menjawab dan masih terus memanggil sang ayah.

Rasa cemas yang semakin menghimpit membuat gadis tingkat Dan alias pemegang sabuk hitam dalam seni beladiri karena itu memutuskan untuk mendobrak pintu kamar sang ayah.

Brak!

Akhirnya pintu tersebut telah terbuka. Rosalin menghentikan langkahnya di ambang pintu saat melihat kondisi sang ayah yang masih berbaring di atas tempat tidurnya itu tak kunjung bangun.

"Ayah!" teriak Delia yang berlari menuju tempat tidur ayahnya.

Sesampainya di samping ranjang sang ayah, Delia gemetar ketakutan.

"A—Ayah, kenapa Ayah seperti ini? Ayah bangun, lihatlah! Alin merusak pintu Ayah. Bangunlah dan marahi dia!" ucap Delia dengan suara bergetar menahan tangis.

Namun, sang ayah tak bergerak sedikitpun.

Delia terus memanggil sang ayah sambil mengguncang tubuh sang ayah, tapi tetap saja tak ada pergerakan sama sekali. Hingga akhirnya kenyataan menampar dan menyadarkan dirinya, jerit tangis pilu dari si gadis periang itu memecah kesunyian malam.

Delia memeluk raga sang ayah yang sudah sedingin es dan berulang kali berteriak memanggil ayahnya. Gadis manja itu kini ditinggal pergi sang ayah tercinta untuk selama-lamanya.

Sementara Rosalin, si putri sulung tak sedikitpun meneteskan air mata. Ia hanya berdiri terpaku di mulut pintu kamar sang ayah.

Seolah tak percaya jika malam ini ayahnya sudah tiada.

"Apa yang kau lakukan! Kenapa kau hanya diam di sana?" teriak Delia pada sang kakak disela raungan tangisnya.

Dengan tenang Rosalin menjawab, "Lalu aku harus apa? Menangis sepertimu? Apakah dia akan hidup lagi jika itu kulakukan? Sadarlah! Ayah tidak akan pernah hidup lagi walau air matamu kering!

"Setidaknya kamu bisa menelpon seseorang!" bentak Delia.

"Memang siapa yang harus aku hubungi? Bahkan kita tak punya sanak saudara untuk diberi tahu. Lagi pula ini tengah malam. Haruskah mengganggu waktu istirahat orang lain, dengan kabar duka ini?" jawab Rosalin enteng.

"Dasar gadis gila! Tak punya hati!" umpat Delia.

Kemudian Rosalin mulai melangkah masuk. Rosalin mengedarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan ayahnya. Ia kepikiran dengan suara samar yang tadi ia dengar.

"Jendelanya masih tertutup rapat, tak ada tanda-tanda orang keluar atau masuk, semuanya masih rapi. Lalu apa itu tadi? batin Rosalin.

Kini perhatiannya tertuju pada sehelai bulu hitam yang tergeletak di meja dekat tempat tidur, tepatnya di samping gelas ayahnya.

Bulu yang seperti bulu burung gagak tersebut mengingatkannya pada kematian sang bunda, lima tahun silam.

Rosalin mulai merasakan adanya keganjilan saat melihat kondisi jenazah sang ayah.

Mata yang terbuka lebar, mulut menganga dengan bibir yang menghitam, dan kulit yang pucat pasi seolah raga itu telah mengering sebab dihisap. Kondisi tersebut sama persis dengan kondisi jenazah sang bunda dahulu saat ditemukan. Bahkan jika di ingat, waktu meninggalnya pun sama persis. Yakni tengah malam, saat orang-orang tengah tertidur lelap.

"Lihatlah, bukankah ini aneh? Tidakkah kondisi Ayah ini sama persis dengan kondisi ibu lima tahun yang lalu?" celetuk Rosalin yang membuat Delia menjeda tangisnya.

"Apa maksudmu?" tanya Delia yang masih sesenggukan.

"Berhentilah menangis dan coba kamu lihat kondisi Ayah," titah Rosalin.

Seketika Delia menghentikan tangisannya untuk memperhatikan kembali jasad sang ayah. Baru kemudian ia menyadari adanya keanehan pada kematian sang ayah.

"Kamu benar. Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Delia yang semakin takut.

"Bagaimana kalau otopsi? Apakah kamu setuju kalau Ayah diotopsi?" usul Rosalin.

"Tidak! Aku tidak setuju! Kamu pikir ini kasus pembunuhan? Kalaupun iya, lalu siapa dan kenapa? Sedangkan kita semua tahu ayah begitu dicintai semua orang," terang Delia yang menolak usul Rosalin.

"Lalu bagaimana kamu menjelaskan tentang kondisi Ayah, sekarang? Serangan jantung mendadak? Hanya dalam sepuluh jam sudah seperti tanaman kering begini? Hmh! Konyol sekali! jawab Rosalin.

"Jaga bicaramu di depan Ayah!" bentak Delia yang tak terima sang ayah disamakan dengan tanaman.

"Ck! Hanya seonggok bangkai!" timpal Rosalin lagi yang kini semakin semena-mena.

"Alin!" bentak Delia yang kali ini benar-benar marah sampai-sampai matanya melotot seakan bola matanya melompat keluar.

"Iya-iya! Daripada terus marah dengan hal yang tidak penting, sebaiknya kamu segera mengambil keputusan!" jawab Rosalin dibarengi isyarat mata yang mengarahkan Delia untuk fokus pada jasad sang ayah.

Meski pandangan Delia kembali beralih pada jasad sang ayah, tapi ekor matanya masih melirik tajam pada Rosalin yang berdiri di sampingnya.

"Jika memang benar ada orang yang membunuh Ayah, apa mungkin manusia bisa membuat raganya seperti ini?" ucap Delia yang mulai fokus lagi.

Delia kembali menatap Rosalin yang saat ini nampak serius dan tengah berpikir keras. Dia menunggu jawaban dari kakaknya yang cerdas itu.

"Entahlah! Aku tidak yakin. Aku juga bukan ahli forensik! Kalau ingin tahu penyebab kematian Ayah, hanya otopsi jawabannya. Sekarang keputusan ada padamu," pungkas Rosalin yang mulai melangkah pergi dari kamar sang ayah.

"Hey! Kamu mau kemana? Alin!" teriak Delia pada Rosalin yang tengah melenggang.

"Tidur! Ini sudah hampir pagi! Berikan aku waktu tidur sejenak. Aku tidak mau tampak lelah di hadapan para pelayat besok pagi!" ucap Rosalin yang masih saja memikirkan imej dan penampilannya.

"Dasar gadis tengik!" umpat Delia.

"Terus ini bagaimana?" sambungnya lagi yang bingung dengan nasib jasad sang ayah.

"Kamu bisa menemaninya kalau mau! Siapa tahu dengan begitu, Ayah bisa bangun lagi," jawab Rosalin tanpa menghentikan langkahnya.

"Dasar manusia kutub!" teriak Delia mengolok Rosalin.

Saat Rosalin menuju kamarnya, tiba-tiba pandangannya teralihkan pada sebuah kamar yang selalu dikunci rapat oleh sang ayah.

Rosalin mengalihkan langkahnya menuju kamar tersebut. Saat sampai di depan pintu kamar itu, hawa dingin membuat bulu kuduknya berdiri. Ia merasakan aura yang tak biasa dari kamar itu.

Rosalin mengerutkan keningnya saat mendapati gemboknya sudah lepas. Tanpa keraguan Rosalin langsung mendorong pintu tersebut dan masuk ke kamar itu.

Dekorasi indah nan mewah berwarna merah membuat Rosalin terpana.

Ranjang yang dipenuhi kelopak bunga mawar merah mencuri perhatiannya. Seolah merayu untuk disinggahi. Rosalin pun mendekati ranjang yang seperti ranjang pengantin tersebut.

Tangannya meraih kepingan kelopak mawar merah itu.

"Bunga ini masih segar. Siapa dan kapan ia menaruhnya di sini?" gumam Rosalin bertanya-tanya.

Saat Rosalin menghirup aroma dari kelopak mawar merah itu, tiba-tiba kantuk yang hebat menyerangnya layaknya obat bius.

Membuat Rosalin roboh dan tertidur di atas ranjang itu.

Tiba-tiba seorang pria datang membenahi posisi tidur Rosalin. Pria itu mengusap lembut kepala Rosalin dan berbisik, "Kamu adalah Permaisuriku."