webnovel

Tentang Keikhlasan

Pada kenyataannya luka itu tidak akan pernah hilang. Karena luka itu akan membekas. Yang sewaktu-waktu luka itu akan kembali datang. Di tempat yang sama, bahkan luka itu dapat lebih dalam lagi dan lebih menyakitkan dari sebelumnya. ~Rani Adhwa Salsabila Indah... Kata itu begitu melekat menggambarkan dirimu. Bagaikan lukisan jika dipandang, tidak akan membuat orang berpaling. Menelusuri setiap titik lukisanmu yang menyimpan sebuah rahasia. Di mana tidak semua orang bisa menemukan rahasia itu. Rahasia yang dapat menunjukkan senyuman sekaligus luka dalam waktu yang sama. ~Muhammad Ali Arifansyah

Cocha · Historia
Sin suficientes valoraciones
17 Chs

Bagian 14 | Bunda [Flashback]

Selamat membaca! 😊

________________________

Matahari telah tenggelam. Jam sudah menunjukkan pukul 20.00. Malam ini giliran bude yang bersama Adhwa untuk berjaga.

Dan akhirnya, Adibah memutuskan untuk mau di rawat di rumah sakit ini. Yang tentunya dengan bujukan Adhwa. Gadis itu juga semakin protektif setelah tau jika dirinya kanker otak. Bahkan sekarang Adhwa tidak meninggalkannya walau sedetik saja.

Hal itu sama sekali tidak membuatnya risih, justru dia jadi gemas dengan sikap putrinya. Dan tentunya senyuman tak luput dari bibirnya.

"Bun, kalau misalkan Adhwa kerja lagi gimana?" Tanya gadis itu menaruh kepala di tepi tempat tidur Adibah.

Kening wanita itu berkerut. "Kenapa? Maksud bunda, kenapa tiba tiba?"

"Eum, ya nggak kenapa kenapa. Cuma kepikiran aja, pengen kerja lagi." Ujarnya kemudian mengalihkan pandangan dari Adibah. "Nanti kalau udah terkumpul banyak, kita ngontrak rumah dulu yang cukup buat berdua. Terus, Adhwa bakal lebih mandiri lagi. Nggak mau ngerepotin pakde, bude, Mas Arya sama Mbak Safiya lagi. Dan kita bakal ngelakuin semuanya berdua." Sambungnya dengan lengkungan di bibir. "Pasti seru. Nanti Adhwa jadi bisa ngelakuin hal yang sebelumnya Adhwa nggak bisa. Kayak pasang lampu, terus benerin genteng, benerin keran. Lucu deh kalau dibayangin."

"Terus—"

"Boleh sayang, lakukan apapun yang kamu mau. Selagi itu positif, bunda izinkan. Bunda nggak akan ngelarang kamu." Potong Adibah sembari mengusap lembut kepala putrinya.

Adhwa mengangkat kepala manatap lekat sang bunda. "Adhwa janji, Adhwa bakal nurut sama bunda." Ucapnya penuh yakin.

Adibah yang memandangnya tersenyum getir. Hatinya rasanya diremas begitu kuat. Membayangkan bagimana jika nanti apa yang ditakutkannya terjadi. Gadis itu sudah terlalu banyak menerima luka.

"Adhwa selalu jadi anak baik buat bunda." Balas Adibah yang masih mengusap kepala Adhwa.

Setelah kurang lebih 15 menit, obrolan mereka selesai dan Adhwa tertidur pulas. Bertepatan dengan itu, pintu terbuka dan muncul seorang wanita bergamis coklat dengan jilbab berwarna senada. Yang tak lain adalah Ambar.

"Adhwa tidur?" Tanyanya sambil menutup pintu.

Adibah menoleh kemudian mengangguk. "Aku suruh tidur di sofa nggak mau. Padahal nanti kalau gini punggungnya jadi sakit."

"Dia emang anak bunda banget." Gumam Ambar melangkah ke sofa. Menaruh bungkusan kresek putih ke atas meja.

"Itu apa mbak?" Tanya Adibah melirik bungkusan itu.

"Ini, roti bakar. Tadinya mau dimakan sama Adhwa, eh anaknya udah tidur." Wanita itu duduk di sofa. "Udah dari tadi tidurnya?" Tanyanya.

"Enggak kok, baru beberapa menit." Balas Adibah mencari posisi nyaman untuk menyandarkan punggungnya. Karena posisinya sekarang setengah berbaring.

Melihat hal itu, Ambar bangkit dan berniat membantunya. "Kamu mau tidur? Biar aku turunin dikit di bagian atasnya."

"Boleh mbak." Ambar lantas tersenyum tulus menghampiri. Sembari menurunkan bagian kepala tempat tidur, Ambar menanyakan apa sudah cukup atau belum.

"Udah mbak, segini aja." Pinta Adibah.

"Oke." Sahut Ambar yang berada di kaki tempat tidur.

"Makasih ya, mbak." Ucap tulus Adibah disertai senyuman.

"Sama sama." Balas Ambar dengan lembut.

"Maaf selalu ngerepotin keluarga mbak terus." Adibah menoleh ke Ambar yang berjalan ke arah sofa.

"Apa sih Dibah, kita ini keluarga. Keluargaku itu keluargamu. Arya itu keponakanmu, Mas Haidar itu masmu. Dan aku ini mbakmu." Tutur Ambar setelah duduk kembali di tempat semula.

"Iya mbak, tapi tetep aja aku mau berterima kasih banyak." Ujar Adibah merasa tidak enak.

"Kamu dan Adhwa itu satu satunya keluarga Mas Haidar. Mas Haidar sangat menyayangi kalian."

"Tapi orang orang selalu berbicara buruk tantang Mas Haidar mbak. Aku ndak mau merusak nama baik mbak dan Mas Haidar."

"Mereka tidak tau tentang kita Dibah. Mereka hanya tau luarnya aja. Lagian masih banyak yang baik sama kita. Mereka yang berpikir buruk hanya beberapa." Ucap Ambar menenangkan.

"Sekali lagi maaf ya, mbak."

"Sudah. Jangan minta maaf lagi. Dan jangan itu bahas lagi. Mending kamu cerita gimana Arini sama Ali tadi sore?" Kata Ambar menyudahi pembicaraan itu. "Aku kan di rumah."

Mendengar pertanyaan itu membuat Adhwa tersenyum mengingat tadi sore. Dia pun menceritakannya pada Ambar.

Flashback On.

Waktu sudah menunjukkan pukul 15.30. Sore ini akan kedatangan tamu. Dan siapa lagi kalau bukan Arini bersama putranya. Mereka datang pastinya untuk menjenguk Adibah.

"Assalamualaikum." Salam dua orang yang membuka pintu dengan bingkisan buah.

"Waalaikumsalam." Sahut dari dalam.

"Eh, Rin." Gumam Adibah menyambut dengan senyuman hangat.

Keduanya duduk begitu selesai bersalaman. Arini duduk di kursi samping tempat tidur. Sementara Ali duduk di sofa bergabung dengan Arya dan Safiya.

Kemudian Adhwa yang baru keluar dari kamar mandi tersenyum tipis begitu melihat tambahan orang di hadapannya.

"Sayang, sini. Salim dulu sama Tante Arini." Titah Adibah.

Segera Adhwa berjalan ke Arini dan mencium tangannya. Kemudian berjalan ke sisi kanan Adibah. Duduk di tepi ujung tempat tidur.

"Gimana kata dokter? Hasilnya?" Tanya Arini penasaran.

Adibah lantas tersenyum lembut. "Kata dokter, aku kanker otak. Stadium 3."

Sontak Arini menegakkan tubuh dengan keterjutannya. "Ya Allah.."

"Aku ndak pa pa, Rin." Ujar Adibah sembari mengusap lembut kedua tangan wanita itu. "Aku ikhlas." Sambungnya dengan begitu tenang seolah tak terjadi apapun. "Aku terima apapun itu, karena aku tau, apapun yang terjadi di dunia ini pasti ada alasannya." Adibah terdiam sejenak. Untuk menetralkan gemuruh di dadanya. "Sudah. Aku ndak pa pa." Kata Adibah begitu menyadari kesedihan di wajah Arini. "Jangan terlalu dipikirin. Ndak baik buat kesehatan kamu." Adibah berusaha meyakinkan dengan kedua tangannya menggenggam erat tangan wanita itu.

Meski rasanya berat, namun Arini tetap tersenyum kepada Adibah. Padahal sejujurnya dia ingin sekali meluapkan rasa keterkejutannya sekaligus sedih. "Kamu pokoknya harus sehat terus. Masih banyak hal yang mau kita wujud in sama sama." Arini membalas genggaman itu tak kalah erat.

"Insya Allah." Jawab Adibah dengan senyuman lembut di bibirnya.

Sedangkan Adhwa sedari tadi menunduk tanpa berniat melihat percakapan keduanya. Dan tentunya dengan sekuat tenaga menahan air mata yang memberontak ingin keluar. Karena itu wajahnya terangkat menatap langit langit kamar sebentar sembari mengedipkan mata sesekali.

"Em, tante. Ini Safiya buka ya?" Tanyanya bermaksud mengalihkan pembicaraan sekaligus merubah suasana.

"Iya sayang, buka aja." Jawab Arini menoleh ke belakang.

Begitu mendapat izin, Safiya lantas membukanya perlahan. "Dek, ada pisang nih. Kamu mau nggak?" Celetuk Arya di sampingnya sembari mengambil buahnya.

"Lah, dipikir aku monyet." Gumam Adhwa dengan kesal seraya melirik pria itu sekilas.

"Ya nggak, dek. Kan mas cuma tanya."

"Kamu juga ada ada aja sih." Sahut Safiya pada Adhwa. "Kamu cantik begitu kok." Sambungnya sembari bangkit mengambil piring dan pisau di nakas dekat televisi. Kemudian kembali ke tempat semula seraya mengupas buah pir. "Ya kan, Al?" Tanyanya melirik Ali sekilas.

Sementara pria itu yang sedari tadi diam mendadak gelagapan di todong pertanyaan seperti itu. "Iya, cantik." Ucapnya sesantai mungkin.

"Tuh kan, Ali aja bilang cantik." Seru Safiya berniat menggoda Adhwa.

Sedangkan yang digoda lebih memilih diam kemudian beranjak menghampiri Safiya berniat mengambil ponselnya di atas meja. "Cie di bilang cantik." Goda Arya. Pria itu seperti anak kecil yang diberi permen begitu bersemangat jika sudah mengerjai Adhwa.

"Semua perempuan juga cantik. Nggak ada yang ganteng." Sahut gadis itu sekenanya sebelum melangkah ke pintu kamar. "Mau ke mana nak?" Tanya Adibah saat tangan Adhwa sudah menggenggam gagang pintu.

"Mau ke kantin bentar bun." Jawab Adhwa lembut.

"Jangan lama lama. Masa ada tamu ditinggal." Tutur Arya sekaligus sindiran.

"Iya bawel." Seru Adhwa sembari membuka pintu. Dia pun keluar setelah menutup pintunya.

"Maaf ya, tante. Anaknya emang susah kalau sama orang baru. Susah adaptasi." Ucap Arya merasa tak enak.

"Iya, Rin. Maaf ya." Timpal Adibah.

"Iyaa, ndak pa pa kok." Jawab Arini drngan senyum tulus.

"Sorry ya, Al." Ucap Arya menatap pria di depan sisi kanannya.

"Iya, nggak pa pa. Santai aja, mas." Balas Ali disertai senyuman tipis.

Tak berselang lama, perawat datang memberi resep obat dan mengambilnya di farmasi lantai 1. Begitu perawat keluar, Ali menawarkan diri untuk mengambil obatnya.

Adibah awalnya menolak, tapi Ali sendiri memaksa dan akhirnya Adibah mengizinkan.

Sedangkan di kantin, Adhwa duduk melamun sembari menyesap es tehnya yang tinggal sedikit. Dia pergi ke sini bukan karena lapar atau ingin jajan. Melainkan menghindari mereka. Gadis itu tidak ingin terlibat dengan obrolan mereka. Terlebih lagi di sana ada sepupu menyebalkannya.

Tapi jika dia tidak segera kembali, dia tidak enak dengan Tante Arini. Hal itu membuatnya jengkel. Andaikan makhluk menyebalkan itu tidak di sana, pasti dia tidak keberatan berada bersama mereka.

Setelah berpikir keras, akhirnya dia memutuskan untuk kembali. Namun baru saja berdiri, ponselnya berbunyi.

Tertera nama Myra di layar. "Assalamualaikum." Salam dari sebrang sana.

"Waalaikumsalam." Jawab Adhwa sambil melangkah pergi dari kantin sambil membuang gelas es teh yang sudah kosong ke tempat sampah.

"Keadaan bunda gimna? Udah mendingan kan? Terus hasilnya gimana? Kata dokter apa?" Tanya Myra beruntun tanpa jeda.

"Satu satu Myr." Tegur Adhwa.

"Iya maaf, aku khawatir sama bunda."

Adhwa tersenyum haru mendengarnya. "Keadaan bunda alhamdulillah lebih baik daripada kemarin malam. Dan, sekarang lagi masa perawatan."

"Terus kata dokter gimana? Kapan boleh pulang?"

Mendengar pertanyaan itu membuat Adhwa termenung. Dan mendadak hatinya terasa perih.

"Adhwa? Suaraku kedengeran nggak?" Tanya Myra yang tak mendapat jawaban.

"Nanti kalau kamu jenguk ke sini, aku bakal cerita. Lebih enak kalau cerita secara langsung." Jawab Adhwa yang sempat menghembuskan nafas pelan.

"Oke." Satu kata itu yang bisa Myra katakan. Karena mendengar hembusan nafas sahabatnya dan suara Adhwa yang terdengar berat membuatnya tidak bisa bertanya macam macam.

"Yaudah kalau gitu. Aku nyamperin bunda dulu ya. Ini lagi di kantin, nanti bunda nyariin." Kata Adhwa mengakhiri pembicaraan.

"Iya, jangan lupa sholat, makan. Titip salam buat bunda." Balas Myra.

"Hm. Makasih ya, Myr."

"Sama sama. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Jawab Adhwa menutup telepon.

Kakinya masih terus berjalan sampai ketika melewati farmasi, dia melihat seorang pria sedang duduk dengan ponsel di tangannya. Lantas dia menghampiri dengan perasaan ragu.

"Mas." Panggilnya ketika sudah di hadapan pria itu.

Kemudian pria itu mendongak. "Mas mau ambil obatnya bunda?" Tanya Adhwa.

Pria itu tersenyum hangat sambil mengangguk. "Kenapa nggak Mas Arya? Atau Mbak Safiya?" Tanya gadis itu lagi.

"Aku yang minta." Jawabnya dengan suara lembut. Yang terdengar begitu nyaman ditelinga.

"Tapi—" Belum sempat menyelesaikan kata, pria itu lebih dulu menyela dengan menepuk bangku kosong di sebelahnya. "Duduk sini. Kamu nggak capek berdiri terus?"

Dengan segala kegugupan yang Adhwa rasakan, gadis itu duduk sesuai perkataan Ali. Keduanya diam dan sibuk dengan pemikiran masing-masing.

Setelah beberapa saat, akhirnya Ali lebih dulu bersuara. "Tante Adibah, udah pernah—masuk rumah sakit sebelumnya?" Tanyanya ragu karena takut dikira lancang.

Lantas gadis itu mengangguk. "Pernah. Sebulan lalu."

"Karena—apa kalau boleh tau?" Tanya pria itu lagi.

"Asam lambung." Jawab singkat Adhwa menatap ke arah lantai.

Ali hanya mengangguk dan terdiam sejenak. Kemudian kembali bersuara. "Tante Adibah—"

"Ibu Adibah!" Panggil perawat dari farmasi lebih dulu memotong kalimat Ali.

Segera Adhwa bangkit dan menghampiri. Lalu dia kembali setelah beberapa saat dengan membawa sekantong kresek kecil berisikan obat.

"Udah?" Ali bangkit begitu gadis itu berada di hadapannya.

Adhwa mengangguk. Kemudian keduanya kembali ke kamar rawat inap tanpa ada pembicaraan lagi. Lantaran pria itu juga sudah lupa apa yang akan dia katakan tadi.

Sesampainya di depan pintu kamar, Ali membukakan pintu mempersilahkan gadis itu lebih dulu masuk. Keduanya masuk dengan disambut seringaian dari Arya. Sepertinya pria itu memiliki sejuta kata yang ingin diucapkan.

Tapi sebelum itu, Safiya lebih dulu mencegahnya. Karena melihat dari ekspresi suaminya, dia tau apa yang akan dikatakan pria di sebelahnya itu.

"Nggak usah macem macem. Cukup tadi aja, jangan sering sering. Kasian anaknya." Bisiknya dengan sedikit ancaman.

Arya hanya meringis ketika mendapatnya cubitan di paha kirinya.

"Eh, udah balik." Celetuk wanita berhijab biru muda itu.

"Kok obatnya di kamu?" Tanya Adibah saat Adhwa menaruh kresek di tangannya ke atas nakas kirinya.

"Iya, tadi ketemu di bawah." Jelas Adhwa.

"Ooh."

"Sayang, tante mau ngobrol sama kamu boleh?" Tanya Arini.

Adhwa yang merasa segan tersenyum canggung sambil mengangguk. "Boleh tante."

"Yaudah, duduk sebelah tante sini." Kata Arini antusias. "Al, bawa in kursinya yang itu ke sini gih." Katanya sambil menoleh ke belakang. Kepada putranya yang sudah duduk di tempat semula.

"Nggak usah tante, biar Adhwa sendiri aja." Sahut cepat gadis itu sambil membawa kursi di bawah TV ke samping Arini.

"Kan tadi bisa di angkatin Ali." Ujar Arini begitu Adhwa sudah duduk sempurna di hadapannya. Sebelumnya dia memutar sedikit kursinya ke kiri agar bisa menghadap ke Adhwa.

"Ndak pa pa tante, Adhwa masih bisa sendiri." Balasnya dengan tersenyum tipis.

Sedangkan Arini tersenyum lembut. "Kata bunda kamu, kamu sempet kerja, kerja di mana?"

"Di restoran tante."

"Restoran mana?"

"Ayana Food."

"Di mana itu?"

"Di Jalan Raya Pattimura. Yang deketnya PT, Sriwijaya."

"Ooh, yang sebelahnya ada toko bunga itu?"

Adhwa mengangguk. "Iya tante."

"Itu restoran korea kan?"

"Iya, kebetulan itu restoran papanya Galih."

Alis Arini terangkat, sedikit terkejut. "Galih temen kamu yang kemarin itu?" Adhwa mengangguk serta tersenyum tipis.

"Kalian keliatan deket banget, temenan dari kapan?"

"Dari kecil sih, tante. Dari dulu udah sekolah bareng, sama Myra juga." Jelas gadis itu.

"Berarti selalu bertiga an terus gitu dong?"

"Yaaa, kadang kalau salah satunya ada kegiatan lain, cuma berdua aja."

"Berdua?" Beo Arini dengan sedikit berlebihan. Membuat Ali yang memperhatikannya menghela nafas panjang.

Adhwa yang dihadapan Arini sedikit bingung dan mengerutkan kening.

"Kan tempatnya rame ma." Sahut Ali menatap sang mama.

"Emang kamu tau darimana?"

"Ya mama tanya aja sama Adhwa." Jawab Ali mengalihkan pandangan ke gadis itu. "Ya kan, Wa?"

Adhwa menoleh ke pria itu sekilas lalu kembali ke Arini. "I—ya." Gadis itu mengangguk pelan.

Dia mengiyakan itu karena memang yang dia datangi bersama kedua temannya selalu tempat ramai. Padahal maksud Ali bersuara agar Adhwa tidak ditanyai hal yang tidak tidak oleh mamanya.

"Beneran?" Tanya Arini dengan serius. Dan Adhwa sekali lagi mengangguk dengan yakin.

Adibah yang sedari tadi memeperhatikan ikut bersuara. "Iya Rin, Adhwa kalau pergi sama teman temannya selalu ke tempat tempat yang banyak orangnya. Kalaupun keluar cuma berdua sama Galih, mereka nggak pernah keluar lama." Jelas Adibah sambil tersenyum. Seolah mengerti maksud dari perkataan wanita itu.

"Maaf ya, jadi bikin kamu bingung." Tangannya menggenggam tangan Adhwa.

Sedangkan gadis itu hanya tersenyum tipis.

"Adhwa tau foto lama yang selalu bunda bawa?" Adhwa menoleh. "Perempuan yang sama bunda rambut sebahu. Yang pakai seragam sekolah." Sambungnya.

Dan tak lama kemudian Adhwa mengangguk. "Itu Tante Arini." Kata Adibah.

Lantas gadis itu menoleh ke Arini disertai senyuman manis. "Tante cantik banget difoto itu." Ujarnya tulus.

Arini tersipu. "Berarti sekarang tante nggak cantik?" Candanya.

Sontak raut wajah Adhwa menjadi panik. "Cantik kok tante. Maksud Adhwa—"

"Iya. Tante ngerti kok. Tante cuma bercanda." Ucapnya sembari mengusap lembut pundak Adhwa.

Selagi kedua orang itu mengobrol, Arya juga berbincang dengan Ali. Lalu Safiya sesekali menyahut. Sementara Adibah menyaksikan dengan senyuman manis interaksi mereka. Termasuk putrinya dengan Arini. Dalam hati dia bersyukur akhirnya Adhwa bersedia membuka diri dengan orang lain walau bukan gadis itu sendiri yang mau.

Apalagi saat gadis itu tertawa kecil bersama Arini. Membuat hatinya terasa lega. Jika memang pada akhirnya keinginan itu tidak terwujud, setidaknya gadis kecilnya masih memiliki orang orang yang menyayanginya.

Flashback Off.

Maaf ya, kalau updatenya selalu lama. Karena memang cari waktunya yang susah. Dan Terima Kasih sudah membaca ceritaku...

Cochacreators' thoughts