Eeeh, mengapa terasa sakit? ini terasa nyata. Tunggu. Melihat kehadiran Dad di lab terbengkalai itu terasa nyata. Pergi ke Dunia cermin juga terasa sangat nyata. Semuanya ilusi Sergei. Jadi kemungkinan ini juga termasuk ilusi?
Theo mengusap lengan bajunya dan menyadari pakaiannya tidak basah sama sekali. Kali ini dia segera berdiri mencoba mengusap celananya. Tangannya merasakan ada benda yang menyembul di dalam saku celananya. Theo merogoh saku dan melihat sebuah benda terbungkus di dalam plastik.
Jam tangan? ini jam tangan yang dikubur Dad di dalam tanah. Kalau itu ilusi belaka, mengapa bisa sampai ada benda fisiknya di dalam celanaku?
"Apa yang terjadi sebenarnya?" gumam Theo sambil terus memandangi jam tangan.
"Seperti yang mereka katakan. mengapa kau bersikap kebingungan begini setelah sadarkan diri?" Hisashi mendekat sambil memerhatikan jam tangan di telapak tangan Theodor.
"Aku pernah mengatakan sesuatu padamu. Jauh sebelum kita bertemu di Red Water Park. Masih kah kau mengingatnya? apa peringatan yang kuberikan padamu? setelah kematian Diandra?" Theodor menatap tajam Hisashi. Waspada penuh pada semua sosok yang kemungkinan besar adalah palsu.
Hisashi terdiam sesaat. Keningnya mulai berkerut sambil memerhatikan setiap perubahan ekspresi dari Theodor.
"Biar ku tebak. Saat kau jatuh pingsan, kau sedang bermimpi hal yang membuatmu kebingungan. Apakah kami ini nyata, atau ilusimu semata?"
"Tidak mau menjawab?" potong Theodor masih tidak ingin melenyapkan kewaspadaan tingkat tingginya.
"Tidak ada jawaban dariku. Tentu saja, karena memang kau tidak mengucapkan peringatan apa pun padaku"
Pertanyaan jebakanku dijawab dengan tepat. tetapi sebelum dia menjawab bukankah dia memerhatikan ekspresi wajahku? jangan-jangan dia menjawab berdasarkan analisanya dari raut wajahku yang mudah ditebak?
"Siapa nama peliharaan kesayanganmu?"
"Peliharaan kesayangan?" Hisashi menatap bingung pada Theodor sambil tertawa geli.
"Apa imajinasimu memperlihatkan aku memiliki seekor peliharaan?"
Hisashi bertanya sambil memerhatikan sekeliling ruangan. Seolah dia tak ingin pembicaraannya didengar seseorang.
"Theo. Jangan ungkit nama peliharaanku di sini. Aku tidak boleh memperlihatkan makhluk itu sembarangan" sahut Hisashi pelan. Terlalu pelan sehingga hanya Theo yang dapat mendengar bisikan kecil Hisashi.
"Aku tidak menyuruhmu memanggilnya, aku hanya ingin tahu apa kau masih ingat namanya? sebutkan saja" Theodor bersikeras dengan suara pelan juga.
"Dia tidak pernah aku pelihara. Dia yang memutuskan untuk mengikutiku. Semenjak aku memutuskan untuk menyelamatkan Eve dan teman-temannya di Pulau tak bernama" desis Hisashi dengan wajah sangat serius.
"Apa yang lainnya juga asli?" Theodor mulai melunak setelah mendengarkan jawaban Hisashi. Hanya Hisashi yang tahu masa lalunya bukan tiruannya.
"Ya. Berpura-puralah kita tidak mengalami apa pun dihadapan rekan kita yang lainnya. Atau kau hanya akan dianggap gila" bisik Hisashi lagi.
"Oke" Theo ikut berbisik sebelum dengan nyaring mengucapkan hal lain kepada yang lainnya.
"Aku hanya bermimpi terjadi sesuatu yang buruk pada kita semua. Jadi begitu sadar, aku bingung aku sudah bangun atau masih bermimpi" setelah Theodor mengumumkan penyebab kepanikannya ketika terbangun dari pingsan, semua orang yang tidak ikut terseret ke dimensi Sergei, menganggukkan kepala paham.
"Tidak masalah, bahkan Hisashi, Amarru, Eve dan Lucas juga bereaksi yang sama denganmu tadi" Nauctha tersenyum lega mendapati kekasihnya baik-baik saja.
"Tetapi Theo, apa yang dibisikan Iblis itu ditelingamu?" bisik Hisashi membuat Theodor teringat akan bisikan tersebut.
Aku sibuk mengejarnya tetapi musuh yang ada didekatku tidak aku sadari? siapa yang di maksud Iblis sialan ini? batin Theo menggertakkan gigi geram.
Theodor memasang jam tangan temuannya ke pergelangan tangan kiri. dia segera berlari kalang kabut membuka pintu perpustakaan, lalu bergegas naik tangga ke arah kamar Ayah dan Ibu angkatnya.
Jika ini jebakan, Sergei pasti akan menyandera Mom, Dad bahkan Oliver. Aku tidak boleh lengah dan membiarkan ketakutanku terjadi.
Tok
Tok Tok
Sayangnya tidak ada jawaban dari dalam kamar. Pemuda di balik pintu makin panik. dia mencoba mengetuk beberapa kali lagi.
"Ini sudah malam Theo. Kau sendiri yang meminta mereka beristirahat. Mungkin karena terlalu lelah mereka tertidur lelap hingga tidak mendengarkan ketukanmu" Nauctha mencoba menenangkan.
"Mom.... Dad..." Theodor merasa frustrasi. Dirinya tidak ingin kehilangan orang tua untuk kedua kalinya. Jadi otaknya menolak berpikir kemungkinan si pengkhianat adalah salah satu dari kedua orang tuanya atau malah, keduanya berkomplot untuk mengkhianati Theodor.
Ceklek
Krieeeet
Suara seseorang membuka kunci dan membuka pintu kamar. Terlihat Pria paruh baya menatap sayu Theodor. Rasa kantuk yang masih menggelayut kedua matanya sirna seketika saat melihat Putranya dan kawan-kawan datang bergerombol.
"Hey, apa terjadi sesuatu?" tangan kanan Ayah angkat Theo menepuk lembut bahu Putranya. Sorot mata khawatir muncul tak terbendung.
"Theo...., kau ingin membicarakan sesuatu dengan kami?" muncul Ibu angkatnya yang berjalan mendekati keduanya.
Melihat kedua orang tua Theo muncul, semua sahabat Theodor segera pergi. Pria muda tersebut menyadari semua temannya pergi dengan sukarela.
"Tidak. Aku hanya... tiba-tiba ingin melihat Mom dan Dad sekali lagi" jawab Theodor dengan ekspresi lega lalu memeluk keduanya bersamaan.
"Jangan membuatku takut Nak, tingkahmu seperti akan pergi jauh" keluh si Ibu sambil menepuk lembut punggung Putranya. Menambah besar kekhawatiran sang Ibu.
Tidak... mereka selalu penuh kasih sayang terhadapku semenjak kecil hingga sekarang. Mereka tidak akan menyakitiku. Tidak akan. Batin Theo sambil membenamkan wajah di bahu keduanya.
"Kau selalu tahu apa pun yang meresahkan hatimu, kami bisa menjadi tempat bagimu berkeluh kesah" Ayahnya kini mengusap kepala Putranya penuh perhatian.
"Apa kau takut tidur malam ini? takut melukai teman-temanmu?" Ibunya menyadari bahwa pernah ada kejadian di mana teman-teman Theodor ini akhirnya menyadari sisi gelap Putranya malam itu.
"Ya, sebenarnya aku sangat takut. Meskipun saat berlibur tidak terjadi hal buruk seperti dahulu. tetapi..."
"Besok kita bisa meminta tolong pada Oliver untuk memeriksamu. Kalau kau merasa tidak nyaman, bicara saja pada teman-temanmu supaya pulang kerumah mereka" Sang Ibu memberi saran dengan tatapan ragu.
"Mengapa aku merasa Mom ragu dengan ucapan Mom sendiri?" reaksi heran terlihat jelas di wajah Theo.
"Sebenarnya akan lebih aman jika ada banyak orang yang mengawasimu Nak" jawab Ibunya tertunduk sendu.
"Tidak. Mereka harus pulang. Supaya bisa membantuku melakukan sesuatu besok" Theodor tersenyum kecut.
"Tidurlah kembali. Aku akan kembali kekamar" tambah Theo berbalik kembali ke kamarnya.
Sesampainya dikamar, Theodor segera meminta bantuan teman-temannya dan mengusulkan agar mereka semua pulang saja supaya besok mereka punya banyak tenaga untuk melakukan sesuatu.
Mereka menolak untuk pulang karena merasa akan membuang banyak waktu jika mereka pulang dan harus datang lagi kerumahnya. Jadi mereka memilih tetap tinggal sampai pagi menjelang.
Pemakaman Umum Guarva Polli.
Theo pergi ke makam keluarga kandungnya bersama teman-temannya begitu pagi menjelang. Dan meminta sang penjaga makam, membongkar makam Ayah dan Ibu kandungnya.
Entah mengapa saat dia menyentuh tangan Ibunya, dia hanya melihat masa di mana dirinya pada masa kecil sebelum menghilang. tetapi begitu dia memegang tangan sang Ayah, Theo melihat bahwa Ayahnya sedang mengetik sesuatu dan mengirim pesan kepada seseorang melalui ponsel yang dikirim kepada Oliver Fernand.
Sang Ayah menatap fotonya bersama seseorang. Theo membelalakkan mata saat melihat siapa yang ada disamping Ayahnya di dalam foto itu.
"Oliver Fernand?" gumam Theo terkejut bukan main.
"Mengapa kau menyebut Oliver dengan nama belakang Fernand? Apa kau sedang menyebut orang yang sama? Oliver yang kita kenal?"