Chelsea tak pernah mengira aktivitas membuka mata terasa sangat berat. Kepalanya masih pusing. Satu erangan lolos saat dia mencoba duduk.
"Hei, kau baik-baik saja? Perlu kubawa ke dokter?"
Chelsea menoleh hanya untuk mendapati dua pegawainya duduk di samping tempat tidur. Ekspresi keduanya identik. Cemas.
"Kalian tak kerja?" Suara Chelsea serak. Acara duduknya dibantu Henry. Lelaki itu bahkan menata bantal di balik punggung Chelsea agar nyaman bersandar.
"Kami menutup toko lebih awal," aku Diane. "Tak mungkin toko beroperasi tanpa kehadiran chef."
"Masih ada persediaan di etalase depan, kan?" Chelsea mengernyit.
"Kau pikir orang datang ke toko kita hanya untuk membeli pastri?" gerutu Diane. Bibir gadis itu mengerucut. "Bagaimana dengan set menu makan siang yang harus dibuat dadakan?"
Chelsea meringis. "Maafkan aku. Kurasa, aku memang butuh istirahat."
"Sudah seharusnya. Kau serupa zombie." Diane bangkit. "Kau benar-benar tak apa-apa kami tinggal sendirian? Ini sudah lewat jadwal pulang kami."
Gadis di tempat tidur itu terperanjat kaget. "Aku pingsan selama itu? Ini sudah lebih dari jam sepuluh malam?"
"Hampir jam sebelas," kata Henry.
"Pulang sana kalian!" Gadis itu melambaikan tangan dalam gestur menggusah. Meski pening masih terasa, Chelsea berusaha menyembunyikan dari dua pegawainya.
"Aku baik-baik saja. Jam tidurku yang hilang sudah banyak tergantikan saat pingsan tadi. Pulanglah kalian. Oh ya, besok sebaiknya toko tutup satu hari. Bisa kalian pasang pengumuman di media sosial kita?"
Diane tampak kaget. "Tapi besok pegawai baru akan datang untuk hari pertamanya."
"Pegawai baru apa?" Chelsea terlihat bingung.
Diane dan Henry menghela napas panjang.
"Tempo hari kau menyerahkan proses rekrutmen pada kami. Dan kami sudah punya pilihan yang cocok. Besok dia mulai bekerja." Diane menjelaskan.
"Beri tahu dia untuk datang esok lusa." Chelsea turun dari tempat tidur.
Ketiganya turun ke lantai satu. Chelsea mengantar dua temannya hingga depan kafe. Jalanan sudah lengang. Tak tampak kendaraan satu pun melintasi Baclava.
"Kunci pintu setelah kami pergi," perintah Henry.
"Tentu saja." Chelsea mengangguk.
Bahkan tanpa diingatkan Henry, hal pertama yang akan dilakukannya adalah mengunci pintu dan memastikan semua lubang di rumah tertutup rapat. Semuanya karena ketakutan akan kehadiran John.
Chelsea menatap kepergian dua temannya. Dia lalu beranjak pergi memasuki rumah. Bangunan dua lantai itu terlihat sangat sunyi dan besar tanpa kehadiran orang-orang. Perasaan aneh menyusup masuk. Perasaan bahwa dia sedang diamati.
Dan Chelsea membenci hal itu.
Dia memutari seluruh kafe lantas berpikir traumanya mungkin membuat gadis itu punya kebiasaan kompulsif baru. Satu rencana mulai tersusun di benak Chelsea.
Dia perlu memasang kamera pengawas. Besok dia akan menyewa orang untuk menempatkan CCTV di titik-titik strategis.p Benda canggih itu diharapkannya mampu menjaga diri dari serangan John. Setelah memastikan untuk kedua kali semua jalur masuk bagian depan sudah terkunci rapat, Chelsea tak langsung naik ke atas.
Dia menghela diri ke dapur. Tempat ternyaman baginya dari seluruh ruangan di rumah merangkap kafe ini. Gadis itu memandangi tumpukan bahan-bahan yang ada di rak. Berbagai tepung, telur, buah kering, cokelat. Aroma bahan-bahan itu membuat perasaan Chelsea sedikit nyaman.
Dia baru saja menjerang air untuk membuat cokelat leleh saat mendengar suara ketukan simultan di jendela dapur. Tubuh Chelsea membeku. Pandangannya nanar memelototi jendela yang terkunci rapat.
"Siapa di sana?" Chelsea tak sadar mencengkeram spatula.
Terdengar lagi suara ketukan. Wajah gadis itu pucat pasi. Bergegas dia mematikan kompor dan meraih pisau dapur. Langkah Chelsea sangat perlahan, berusaha keras tidak menimbulkan suara. Dia mengangkat kaki beralas sandal rumah dengan sangat hati-hati.
Ketukan itu terdengar lagi. Chelsea mengernyit. Tidak, itu bukan ketukan. Otaknya memproses kejadian dengan cepat dan menyadari seseorang telah melempari jendelanya dengan batu kecil. Mungkin batu koral mengingat jalan setapak di halaman samping toko dihiasi dengan bebatuan alam itu.
"Si—siapa di sana?" tanyanya cukup keras.
Hanya keheningan yang menjawab pertanyaan Chelsea. Digeleng-gelengkannya kepala, mengusir bayangan buruk akan sosok John yang mengintimidasi. Pria tinggi besar serupa raksasa dengan cambang berantakan dan rambut awut-awutan.
Seharusnya pria itu sudah mati lima tahun lalu. Namun, nasib baik masih berpihak pada mantan ayah tiri Chelsea. Luka besar di kepala berhasil dijahit dengan rapi. Tidak ada kematian. Hanya kecelakaan kecil yang tidak mengancam nyawa.
Keberuntungan John yang menjadi kemalangan Chelsea.
Gadis itu menelan ludah. Wajan penggorengan tak akan mempan melawan orang seperti John. Pisau lebih tepat untuk pertahanan. Gadis itu memutar-mutar senjata tajam di tangannya untuk meredakan ketegangan lalu menggenggamnya erat-erat.
"Siapa di sana?" tanyanya sekali lagi.
Dia merutuki diri sendiri yang ceroboh meninggalkan ponsel di lantai atas. Ada telepon di meja kasir, tetapi jaraknya cukup jauh dari dapur. Chelsea menimbang-nimbang kecepatannya berlari bila John nekat memecahkan jendela dan merangsek masuk dari sana.
"Besok kau harus memasang terali besi di semua jendela, Chels." Gadis itu memperingatkan diri sendiri. Sudah cukup lama dia tidak hidup dalam ketakutan. Saat perasaan itu muncul kembali, Chelsea tidak siap dengan sensasinya.
Dia hampir mendekati jendela saat telinganya menangkap suara gemeretak batu-batu koral terinjak kaki. Chelsea sontak membeku. Langkahnya terhenti seketika. Jantung gadis itu berdentum-dentum sangat keras. Dia menelan ludah susah payah.
"Oke, ini sudah tidak lucu. Aku harus telepon polisi."
Gadis itu berbalik hendak meninggalkan jendela. Namun, sekelebat bayangan yang melintas membuat perut Chelsea terpelintir ngeri. Dia kembali mengintip, berusaha beradaptasi dengan kegelapan di halaman samping.
Saat itulah pandangannya menangkap dua sosok dalam pakaian serba gelap melintasi halaman. Chelsea terbelalak. Belum juga ketegangannya menyusut, telinganya menangkap suara aneh di pintu belakang. Tubuh Chelsea sontak terkesiap.
"Astaga, aku lupa mengunci pintu belakang!" Chelsea berseru panik.
Masih menggenggam pisau, dia berlari cepat ke arah pintu keluar. Hanya saja, dia tak pernah bisa menggapai daun pintu dari kayu tebal itu.
Sepasang lengan berotot keburu membekapnya dari belakang, menutup mulut demi mencegahnya berteriak sekaligus mememerangkap dua tangan Chelsea. Pisau di tangan gadis itu terlepas. Suara benda logam berkelontang nyaring di kesunyian malam.
Gadis itu diserang kepanikan dahsyat. Kakinya menendang-nendang liar. Dia berusaha menjerit meski suaranya teredam bekapan lelaki itu. Chelsea tahu yang menahannya sekarang adalah seorang lelaki dari tubuhnya yang keras dan dada bidang tempat dirinya bersandar.
"Berhenti memberontak, Bodoh!"
Bola mata Chelsea terbeliak lebar. Tubuhnya nyaris lumpuh. Suara yang sangat familier dan lama tak didengarnya itu kini terdengar jelas di telinga Chelsea. Hanya berupa bisikan, tetapi bagi gadis itu sudah serupa bom yang meledak tepat di samping kepala.
Chelsea bersuara lagi. Kali ini dibarengi dengan kepala yang menggeleng-geleng. Namun, desisan tajam menghentikan seluruh aksi Chelsea.
"Sstt ... berhenti berontak! Suaramu bisa membuatku ketahuan. Tak ingin lehermu patah, bukan, Chels?"
~O~