webnovel

Buket Bunga Misterius

Sepasang mata hijau itu masih nanar memelototi layar televisi selebar 32 inci yang tertanam di dinding. Tubuh rampingnya yang hanya berbalut kaus rajut lengan panjang dan celana jin lusuh bergetar. 

Bulu kuduk Chelsea meremang saat pembawa acara menyiarkan laporan peristiwa yang sudah terjadi sejak berjam-jam lalu. Chelsea menelan ludah. Dia duduk kaku di sofa dengan tangan terkepal erat di lutut. 

"Tidak mungkin. Itu tidak mungkin terjadi." Bibir Chelsea gemetar. Dia bisa merasakan hawa dingin merayapi tulang belakang. 

Hal pertama yang Chelsea lakukan adalah mematikan televisi. Gadis itu mengatur pola pernapasan, usaha keras yang dilakukannya di tengah ketakutan dan kecemasan yang mendera. 

Hingga hitungan ketiga puluh, baru Chelsea mampu melemaskan tubuh. Namun, gemetar di dirinya tak juga kunjung menghilang.

"Dia tak mungkin melacakku hingga ke sini. Aku sudah pergi jauh darinya. Tidak, tak mungkin. Dia pasti akan bersembunyi di Melbourne. Dia—dia tak mungkin naik pesawat ke sini."

Chelsea bangkit. Dalam langkah panjang-panjang, dia kembali turun ke lantai bawah, memeriksa tiap jendela dan memastikan pintu berlapis rolling door sudah terkunci rapat. Saat kembali lagi ke kamarnya, ketakutan masih membekap Chelsea sangat kuat.

Semalaman itu dihabiskan Chelsea tanpa tidur. Kantuk tak menyerang. Sebagai gantinya, gadis itu terus bolak-balik di kasur tanpa henti. Hingga pukul lima pagi, saat matahari menyembulkan diri di ufuk timur, Chelsea masih belum juga terlelap.

"Woa, kau seperti panda yang diimpor dari Cina," komentar Henry saat lelaki itu datang untuk menumpang sarapan.

"Kuharap ujianmu tidak mendapat nilai bagus," balas Chelsea kejam.

Henry terbelalak. Lelaki itu buru-buru meralat ucapannya. "Astaga, jangan seperti itu, Chels. Meski bermata panda, kau masih secantik Aurora yang terkena hangover."

"Henry!"

"Bercanda, aku bercanda!" Lelaki itu tergelak. "Jangan sampai keberuntunganku hilang karena kau marah-marah."

"Kenapa kau selalu bilang aku keberuntunganmu?" Chelsea mendesah keras. 

Dia menghempaskan tubuh ke kursi di samping jendela. Di depannya penuh tumpukan roti bakar dengan aneka isian.

"Karena sejak bertemu denganmu, aku selalu mendapat hal-hal baik." Henry mengunyah sepotong roti bakar dengan alpukat tumbuk dan madu.

Chelsea tertegun. Jawaban tak disangka keluar dari mulut seseorang yang baru mengenalnya selama dua minggu. Gadis itu melihat keluar jendela. Biasanya di jam sembilan pagi, Diane juga sudah datang dan turut bergabung untuk sarapan bersama mereka.

"Apa yang meresahkanmu, Chels?" Henry mencomot lagi setangkup roti bakar.

Hanya gelengan yang diberikan Chelsea pada mahasiswa tahun kedua kuliah tersebut. Dia tak bisa bercerita pada siapa pun tentang kecemasannya sekarang. Henry dan Diane mengenalnya sebagai seorang pendatang dari Melbourne yang hendak mengadu nasib di Brisbane. Tidak lebih dan tidak kurang.

"Selesai sarapan, bisa bereskan dapur? Aku perlu pergi sebentar."

"Makanannya?" Henry kebingungan.

"Aku sudah mempersiapkan persediaan cukup banyak. Jika pengunjung dalam taraf normal, persediaan kita bisa melebihi jam makan siang," kata Chelsea sambil bangkit.

"Kau berencana pergi hingga siang, ya?" Henry mengernyitkan dahi.

Gadis itu hanya membalas dengan senyum tanpa jawaban. Dia meraih tas besar favoritnya, benda yang tak pernah ketinggalan dibawa Chelsea tiap keluar rumah. Tote bag hitam polos dengan ukuran cukup lapang yang mampu memuat banyak barang.

"Aku titip toko." Gadis itu melambai dan bergegas pergi keluar. 

Namun, tiba di teras Chelsea berhenti sejenak. "Hei, aku sudah pasang iklan lowongan di media sosial kita. Kalian saja yang wawancara mereka. Aku percaya penilaian kalian."

"Kau akan mempekerjakan orang baru?" Henry terkejut.

"Ya. Toko kita makin ramai. Sudah waktunya merekrut tenaga baru."

Hanya itu penjelasan singkat Chelsea. Langkahnya bergegas menuju sepeda yang terparkir di halaman samping toko. Dia melajukan moda transportasi roda dua tanpa mesin itu menyusuri Baclava Street. Kemudian berbelok ke kanan memasuki Jurgens.

Kayuhan sepeda Chelsea berlanjut menyeberangi persimpangan jalan Trafalgar menuju Stanley. Kemudian, gadis itu berhenti di Woolloongabba Place Park. 

Pandangan Chelsea menyapu lapangan berumput dengan beberapa pohon yang tumbuh jarang. Bangku-bangku kayu kosong tanpa penghuni meski cuaca cukup bersahabat untuk duduk-duduk di luar ruangan.

Musim gugur di Brisbane adalah waktu yang tepat untuk berwisata. Bisa dipastikan kunjungan turis asing akan meningkat. Cuaca sejuk dan berbagai acara yang dirancang oleh pemerintah diharapkan mampu menaikkan pendapatan dari sektor pariwisata. Termasuk bakeri Chelsea yang mulai mendulang keuntungan dari festival musim gugur.

Namun, hal itu juga bisa jadi blunder. Chelsea mendesah berat. Kepalanya mendongak menatap gumpalan awan putih yang menggantung ringan di langit. Musim wisata berarti ada kemungkinan John akan datang ke tempat ini dan menemukannya.

Naik pesawat bisa jadi sulit untuknya, tapi dia masih bisa bermobil ke sini, batin Chelsea.

Sekali lagi dia menyapukan pandangan ke arah halaman berumput yang lengang tanpa orang. Suara yang muncul sangat murni. Berasal dari desau angin dan gemeresak dedaunan, sesekali terdengar klakson kendaraan yang, anehnya, tidak seramai biasanya.

Padahal Stanley Street termasuk pedestrian yang sering dipadati kendaraan. Namun, alam sepertinya memberi kesempatan salah satu penghuni bumi untuk merenung. 

Chelsea kembali mengayuh sepeda memutari Linton Street sebelum kembali ke kafenya di Baclava. Olahraga paginya telah usai bersamaan dengan matahari yang kian naik ke atas.

**

Ini hari keempat Chelsea susah tidur. Matanya benar-benar serupa panda, efek bermalam-malam nyaris tak berani memejamkan mata. Malam terakhir lebih parah karena hujan turun sejak sore. Ketakutan dan trauma yang mengungkung Chelsea praktis membuatnya tak tidur semalaman.

Ditempelkannya mentimun di dua mata. Meski tahu tak akan berpengaruh secara instan, setidaknya sayuran itu mampu meredakan indra penglihatannya yang mulai membengkak.

"Apple galette dan almond pretzel kita hampir habis. Apa kau bisa membawa stok di dapur ke depan?" Diane melongok dari balik pintu dapur.

Chelsea mengangguk. Kepala berambut pirang itu menghilang lagi, meninggalkan dapur dalam ketenangan seperti biasa. 

Angin yang berembus lewat jendela yang terbuka lebar sedikit menyegarkan Chelsea. Dilemparnya mentimun ke tong sampah dan mulai menata pesanan Diane ke nampan stainless.

Aroma puff pastry, krim vanila, apel, dan almon cincang menguar saat Chelsea mengeluarkan kudapan itu dari lemari penyimpanan. Suhu lemari yang terjaga membuat viennoiserie, kudapan yang biasanya dibuat menggunakan adonan croissant dan terkadang puff pastry, selalu terjaga kerenyahannya.

"Ini pesananmu, Diane." Chelsea menarik nampan kosong dari etalase dan menggantinya dengan yang baru.

"Terima kasih. Oh ya, kau dapat pesan khusus. Tunggu sebentar."

Diane menyelesaikan pembayaran seorang pengunjung bakeri dan membungkus pesanan bagel. Setelahnya dia merogoh sesuatu dari bawah meja kasir dan mengulurkan satu buket bunga mawar merah muda dengan aksen baby's breath. 

Chelsea tertegun. Matanya mengerjap-ngerjap bingung. "Dari siapa?"

"Seorang kurir mengantarkan tanpa berkata apa-apa. Ngomong-ngomong, kurirnya tidak resmi. Sepertinya bocah yang kebetulan lewat di jalan depan."

Jantung Chelsea serasa terjun bebas. Refleks kepalanya berputar memindai keadaan di depan bakeri. Jalanan dipadati mobil-mobil berseliweran. Tidak terlihat pejalan kaki di trotoar. Teras depan juga hanya diisi pengunjung yang tak dikenal Chelsea.

"Ada kartu nama di bunganya. Mungkin kau bisa mengetahui identitas si pengirim dari sana. Aku belum membuka kartu itu. Privasimu masih aman terjaga."

Chelsea menunduk. Ucapan Diane benar. Terselip di antara rangkaian mawar dan baby's breath, sepucuk amplop kecil berwarna putih tulang. 

Dipeluknya rangkaian medium itu dan membuka kartu yang tersimpan dalam amplop. Tulisannya berupa ketikan komputer rapi. Tanpa nama pengirim.

[Aku tak mampu melupakanmu. Aku juga tak sanggup melepaskanmu. Tunggulah, Chels. Sebentar lagi kau akan kembali ke pelukanku.]

Dan bunga yang dipeluk Chelsea jatuh ke lantai. Wajah gadis itu memucat seputih mayat. Tatapannya terbeliak ngeri menatap dinding kosong di samping meja kasir.

"Chels, kau kenapa? Chels? Chelsea? Astaga, Chelsea, jangan pingsan!"

Next chapter