Dua sosok gadis terlihat duduk berhadapan di restoran hotel. Nuansa tradisional kental menguar di sekeliling mereka.
Duduk di kursi kayu dengan ukiran bergaya kuno, telinga dua gadis itu dimanjakan alunan gending Jawa dari pengeras suara. Alas makan di atas meja bermotifkan batik parang rusak yang ditempelkan di nampan kayu kecil.
Samar-samar tercium aroma makanan yang keluar dari roll top yang terbuka, memamerkan cita rasa kuliner lokal yang diusung oleh restoran.
Dan itulah yang didapatkan Chelsea. Di hadapannya tersaji seporsi nasi liwet komplet. Ditemani secangkir kopi hitam, segelas jus jeruk, dan pencuci mulut berupa hidangan berbasis singkong bernama rondo royal, sesi sarapan Chelsea yang tertunda akhirnya jadi semarak.
"Kenapa kau tak makan?" Bibir berlapis perona warna merah muda lembut itu bertanya. Sementara tangan Chelsea sibuk menyendok nasi liwet.
"Aku sudah kenyang hanya melihat makanan pesananmu."
Chelsea terkekeh. Dia pikir pertemuan ini akan terasa sulit. Nyatanya justru sangat mudah. Dia melirik satu-satunya minuman di depan Mita. Hanya secangkir latte yang menggoda selera.
"Tubuhmu kecil, tapi makanmu banyak juga."
Sindiran dalam dialek Jawa yang sangat medok itu terdengar bak lagu merdu di telinga Chelsea. Alih-alih tersinggung, dia justru membalasnya dengan lemparan fakta.
"Biasanya porsi makanku jauh lebih banyak dibanding ini." Chelsea mengibaskan sendok yang dipegangnya. "Untungnya aku punya sistem metabolisme tubuh yang sangat bagus. Makan banyak, minim olahraga, tapi aku tetap ramping."
Sindiran berbalas sindiran. Chelsea nyaris tak bisa menawan tawa menyadari tingkah kekanak-kanakan yang dilakukannya sekarang. Menilik dari fisik dan garis muka Mita, umur mereka sepertinya tidak terpaut jauh. Mungkin Mita masih berada di awal dua puluh tahun, tebak Chelsea dalam hati.
"Jadi, kenapa kau menyeretku ke sini dan menolak bicara di kamar?" tanya Chelsea.
"Aku tak mau pembicaraan kita didengar rekan sekamarmu."
Chelsea menghentikan suapan. Mata hijau itu mengerling Mita yang duduk persis di hadapannya. Keberanian gadis itu datang sendiri menemuinya patut diapresiasi.
"Sudah sebanyak apa kau menyelidikiku?" Rasa penasaran Chelsea tak urung terbangkitkan.
"Cukup banyak untuk mengetahui kamu tidak hanya merebut tunanganku, tapi juga tidur dengan koki di hotel ini."
"Salah satu koki," ralat Chelsea. "Aku tidak tidur dengan semua koki di sini."
Mita terbelalak. Bola mata lebar itu makin terlihat lebar dengan gaya yang lucu. Seolah syok berat. Bibir penuh Mita yang terlapisi lipstik cokelat ternganga lebar. Tak menyangka jika ternyata dia yang tersulut emosi lebih dulu dibanding gadis di depannya.
Mita mengatur napas sekuat tenaga. Mata berbingkai eye liner hitam itu terpejam. Sejurus kemudian, saat membuka mata, suara tajam gadis yang juga berstatus mahasiswi salah satu perguruan tinggi top di Indonesia itu terdengar dingin.
"Kamu beneran pacar Glen?" Tidak ada lagi bahasa formal yang sebelumnya digunakan Mita pada si bule.
Chelsea tergoda mengisengi Mita. Diamatinya penampilan gadis itu dengan saksama.
Dia tahu gadis yang duduk di seberangnya bukan sosok biasa. Saldo di rekeningnya pasti bernilai sembilan digit rupiah. Hal itu terlihat jelas dari pakaian yang dikenakan Mita.
Meski terlihat sederhana, hanya celana jin warna pudar dan kemeja longgar berpotongan feminin warna hijau muda, tetapi merek yang tercetak di sana jelas datang dari lini premium.
Dan berharga cukup mahal, batin Chelsea. Mata jelinya mengamati tas kulit buaya yang datang dari pabrikan asal Prancis dengan banderol harga mencapai ribuan dolar Australia.
"Kenapa tidak bertanya langsung padanya?" Chelsea menyeringai.
Mita terlihat dongkol. "Seandainya dia mau angkat teleponku, aku tak perlu repot-repot ke sini."
"Oh, jadi dia tidak mau menerima panggilanmu?" tanya Chelsea geli. "Mungkin dia merasa lelah denganmu dan pilih menjaga jarak dulu."
Kening Mita berkerut. "Sok tahu banget."
"Tak perlu sikap sok tahu, kok. Melihat dia semalam yang pilih pergi denganku dibanding menemani tunangannya di balairung hotel, bukankah itu sudah menjelaskan banyak hal?"
Jemari Mita mengencang di cangkir porselen putih polos. Namun, tidak terdengar nada berintonasi tinggi dari bibir gadis itu. Justru nada dingin kembali muncul.
"Jadi, laporan orang-orang Bapak itu benar. Kamu pergi sama Glen, tapi pacaran juga sama cowok lain."
"Siapa yang pacaran dengan lelaki lain?" senyum Chelsea makin lebar.
Mita mengernyit. Tawa Chelsea tak tertahan lagi. Dia terpingkal-pingkal keras hingga menarik perhatian orang-orang. Melupakan sejenak keberadaan Mita. Melupakan sejenak peristiwa menyesakkan semalam yang membuat Chelsea ingin segera hengkang dari negara ini.
Setelah tawanya reda, baru dia berkata tegas pada sosok cantik dengan perawakan yang hampir sama dengannya itu. Ramping dan bertinggi 165 sentimeter.
"Glen hanya mantan pacarku," ujar Chelsea.
Mita terbelalak. "Tapi semalam dia tidak berkata seperti itu."
"Kami sudah berpisah empat tahun lalu. Glen dan aku berpacaran saat masih di Melbourne. Dia kuliah di sana, semestinya kau tahu soal ini."
Mita mengangguk pelan. "Ya, dia pernah jadi mahasiswa Universitas Melbourne hingga mendapatkan Master of Management-nya."
Chelsea menandaskan jus jeruknya lalu beralih ke kudapan tradisional. Rondo royal. Penganan dari tape singkong yang digoreng dan bercita rasa manis dengan sedikit sensasi asam dari tape.
"Kemarin pertemuan pertama kami setelah empat tahun."
"Apa?" Mita terperanjat kaget. "Tapi dia bilang ...."
Chelsea merasa kasihan melihat Mita yang terlihat syok berat. Diulurkannya tangan, menepuk-nepuk penuh simpati punggung tangan Mita. "Kau telah ditipu Glen."
Suasana hening sejenak. Chelsea membiarkan perkataannya meresap ke benak gadis itu. Dirasa cukup melakukan sesi penghiburan, dia menarik tangan dan duduk bersandar ke kursi kayu.
Pandangannya menyapu suasana dalam restoran yang mendadak lengang. Pengunjung hanya dirinya dan Mita. Gadis itu maklum mengingat saat ini memang belum masuk jam istirahat siang.
"Aku mendukung pertunangan kalian," kata Chelsea sejurus kemudian.
Pandangannya beralih ke cairan hitam kental dalam cangkir di hadapannya. Dalam hati gadis itu memuji kualitas kopi.
Biji kopi yang di-roasting pada skala medium memang tepat disajikan dalam bentuk kopi tubruk. Tingkat keasaman yang rendah dan jejak cita rasa rempah masih aman ditolerir lambungnya.
Saat kopi itu tercecap indra perasanya, sensasi rasa kopi yang kuat, tetapi tidak pahit, membuat suasana hati Chelsea membaik dengan cepat.
"Glen butuh pendamping berkualitas sepertimu. Asalkan kau bisa bersabar menghadapinya, hati Glen pasti akan terbuka untukmu." Chelsea menasihati dalam kalimat netral dan tetap menyembunyikan fakta-fakta penting yang tidak boleh diketahui Mita dari diri calon suaminya.
"Kamu kenal dia banget, ya?" Mita menyingkirkan minuman. Dia bukan pencinta kopi, tetapi pilihan Chelsea yang memesan kopi tubruk membuat Mita tidak ingin kalah saing.
"Tidak terlalu. Kami hanya bersama selama setahun." Itu pengakuan terjujur Chelsea.
"Setahun, tetapi sangat intens," gumam Mita.
Chelsea meringis. "Aku tidak membantah untuk itu. Jadi, selamat bagi pertunanganmu. Jaga dia baik-baik, Mita."
Chelsea menandaskan kopinya lantas mendorong kursi ke belakang. Dia sudah bersiap pergi saat suara feminin Mita terdengar.
"Kenapa enggak kamu aja yang jaga Glen?"
Chelsea mematung. "Maaf?"
Mita mendesah keras. Gadis itu menatap lawan bicaranya dalam sorot mata ramah. "Seandainya ucapan Glen kemarin bukan kebohongan semata ...."
"Kau bicara apa?" Chelsea mengernyit pada nada menggantung di akhir kalimat Mita.
Yang ditanya tersenyum lebar. "Maaf, aku enggak bisa terima ucapan selamatmu."
Chelsea memandangi Mita yang bangkit dari duduk. Bola matanya mengikuti langkah gadis itu yang mendekat ke arah si bule berambut cokelat.
"Sepertinya kamu salah sangka. Kedatanganku ke sini bukan buat ngelabrak, kok." Mita terkekeh geli. "Tapi aku ingin minta bantuanmu."
"Bantuan apa?"
Chelsea mendadak resah dengan suasana serius yang dikeluarkan Mita. Meski dibalut tawa, gadis itu tahu ada tekad di balik permintaan Mita kali ini.
"Yah, aku pengen kamu tetap jadi pacarnya Glen. Pura-pura juga enggak apa-apa. Biar aku bisa lepas total dari pertunangan ini. Gimana?"
~O~