Chelsea melongo. Mulutnya ternganga lebar. Bola mata gadis itu membeliak. Tak butuh waktu lama baginya untuk merespons permintaan Mita.
"Sinting. Kau dan Glen sama-sama pasangan gila." Chelsea melenggang pergi, tak menggubris panggilan Mita.
"Chelsea, tunggu!" Gadis itu berlari mengejar si bule. "Dengerin dulu penjelasanku."
"Tak ada yang perlu dijelaskan," ucap Chelsea sangat dingin. "Kalau kalian tidak berniat menikah, batalkan saja pertunangan kalian sendiri. Jangan libatkan aku dalam kesintingan kalian."
Chelsea menyentak pegangan Mita di pergelangan tangannya. Gadis itu berjalan keluar resto hotel. Langkahnya makin cepat saat merasa diikuti. Hingga, setiba di depan lift, Chelsea berbalik dan berkata setengah kesal.
"Jangan mengikutiku. Urusan kita sudah selesai."
"Kamu enggak cinta lagi sama Glen?" Mita masih mendesak dengan rasa penasaran yang tak ditutup-tutupi.
"Bukan urusanmu," ketus Chelsea.
"Oh, ini bakal jadi urusanku juga karena aku pengen temenan sama kamu, Chel." Mita berkedip manis.
Chelsea terbelalak. "Tidak bisa. Hari ini aku kembali ke Australia. Sudahlah, jangan ganggu aku lagi."
"Hari ini ke Australia?" Mita tertegun. "Hari ini? Kupikir kamu bakalan lama di Indonesia. Informanku bilang, kamu punya niat jelajah tempat wisata di negara ini."
"Informanmu tidak valid." Gadis itu menggerutu. Dia hanya melirik kesal saat Mita mengikutinya masuk lift.
Adegan dramatis terjadi setelah mereka tiba di kamar. Berbarengan dengan Chelsea yang membuka pintu, Tomi juga bersiap-siap keluar. Senyum lelaki itu lebar saat melihat Chelsea, tetapi luruh seketika saat melihat Mita.
"Mita?"
"Mas Tomi?"
Chelsea menatap bergantian dua orang yang saling bertukar pandang terkejut. "Kalian saling kenal?"
"Mas Tomi ini tetangga masa kecilku," jelas Mita tanpa diminta. "Sebelum pindah saat aku SMP. Gimana kabarnya, Mas?"
"Baik. Kamu sendiri gimana kabarnya?" Tomi terlihat kikuk. Tangannya sesekali mengusap tengkuk. Lelaki itu sempat mencuri pandang ke arah Chelsea, tetapi diabaikan si bule.
"Baik juga. Jadi, Mas Tomi ini sedang kencan sama Chelsea?" tanya Mita blak-blakan.
Tomi tersentak kaget. "Kalian sudah saling kenal?"
"Dia menyelidiki aku." Chelsea masih kesal. "Ngomong-ngomong, Mita ini tunangan yang ditinggal kabur semalam. Lain kali kau harus lebih memperhatikan gosip, Tomi. Aku tak akan tidur denganmu jika tahu Mita kenalanmu."
Tomi nyaris terjungkal mendengar ucapan blak-blakan kedua yang didengarnya sepagi ini. Dia menatap Chelsea memelas. Namun, gadis itu tidak merespons apa pun.
"Kalian bisa teruskan reuni di luar. Aku perlu kamarku sendiri."
Ucapan itu sekaligus pengusiran secara halus bagi Tomi. Lelaki itu melambai riang. "Kamu jadi pulang hari ini?"
"Sedang mencari tiket," jawab Chelsea. "Temani Mita. Bawa dia jauh-jauh. Aku tak ingin bertemu dia lagi."
Tomi mengalihkan pandangan dari Chelsea menuju Mita. "Ada apa? Gimana kamu bisa kenal Chelsea?"
Mita menelengkan kepala. Pandangannya tertuju lurus pada Chelsea yang sudah bersiap menutup pintu. "Dia mantan pacar Glen. Seharusnya kemarin acaraku berjalan lancar jika si mantan ini enggak muncul."
Tomi mengangkat alis tinggi-tinggi. Dia berkata tanpa suara pada Chelsea. Namun, gadis itu enggan merespons. Sebaliknya, dia bergerak cepat menutup pintu. Membiarkan Tomi dan Mita mematung di luar.
"Dia kenapa sih, Mas?" Mita menggerundel.
Tomi menjawab dengan kedikan bahu. "Ngomong-ngomong, bagaimana kabarmu? Kita lama enggak jumpa."
"Mau ngejus bareng, Mas? Aku pengen cerita banyak hal sama Mas, nih."
"Soal Chelsea?" tebak Tomi.
Mita mengangguk. "Itu salah satunya. Yok, jalan. Aku yang traktir, deh."
~O~
Satu pukulan keras melayang ke rahang Glen. Lelaki itu langsung terjatuh menghantam lantai keramik warna krem. Seolah belum puas melayangkan bogem mentah, sepasang tangan mencengkeram bagian depan kemeja Glen dan menarik lelaki itu berdiri.
Terhuyung dan tidak cukup sigap berkelit, Glen terpaksa merasakan kesakitan lagi seiring satu tinju terarah di pipi. Lelaki itu mengerang keras.
Pipinya terasa panas dan berdenyut-denyut nyeri. Air liur mengumpul memberontak untuk diludahkan. Saat lelaki berambut setengah gondrong itu melakukannya, ada percik darah yang ikut keluar. Dua pukulan tadi sukses melukai wajah tampannya.
Glen tak akan heran jika besok lebam dan bengkak akan menghiasi wajah. Amukan bapaknya bak air bah menerjang bendungan. Jebol. Menghamburkan emosi yang meluap-luap dan menjadikan sang putra tunggal sebagai samsak hidup.
"Dasar anak tak tahu diuntung!" Johan membentak keras. "Sudah diberi banyak fasilitas, tapi hanya bisa mempermalukan keluarga!"
Glen mengertakkan gigi. Teriakan sang bapak memusingkan kepala. Susah payah dia mencoba duduk tegak. Gagal. Akhirnya, lelaki itu bersandar tidak elegan di kaki sofa.
"Bagaimana Bapak bisa masuk sini?" Daripada menjawab pertanyaan pria itu, Glen justru balik melontarkan tanya.
"Aku memaksa manajer gedung ini membuka akses ke tempatmu," jawab Johan gusar. "Berani-beraninya kamu kabur ke tempat seperti ini?"
Glen merutuk dalam hati. Dia berjanji akan menarik investasi dari kondotel ini karena tidak bisa menjaga privasi penghuninya. Meski Glen tahu persis, sangat susah menolak permintaan bapaknya yang pasti melibatkan intimidasi dan ancaman.
"Yah, aku akan kabur lagi karena tempat ini sudah Bapak datangi." Glen memprovokasi.
Seperti dugaan lelaki itu, Johan langsung naik pitam mendengar pancingan sang anak tunggal. Dia berderap mendekati Glen. Namun, belum sempat menyentuh lagi badan sang anak, suara tegas Junita memerintah keras.
"Berhenti, Pak! Main tangan tak akan menyelesaikan persoalan."
Johan agaknya tipikal pria yang memedulikan ucapan istrinya. Pria itu mengurungkan niat menghajar si anak. Sebagai gantinya, dia memaksa diri duduk di sofa. Napas pria itu memburu dengan wajah merah padam menahan amarah.
Kali ini Junita mengambil alih pembicaraan. Wanita paruh baya itu bersedekap di hadapan putranya. Tatapan wanita kelahiran Jakarta itu sangat dingin dan tajam menusuk. Jauh berbeda dengan citra keibuan yang sering ditampilkannya di hadapan publik.
"Menghilangnya kamu semalam dari pertunanganmu sendiri menimbulkan kegemparan, Glen," ujar Junita.
"Ibuk tahu kan, aku enggak pengen nikah sama Mita." Glen melengos.
"Terus maumu sama siapa? Gendakanmu di Aussie itu udah mati. Sampai kapan mau terus berduka buat dia?" sembur Junita pedas.
Glen mendongak. Kilat di mata cokelat yang sangat identik dengan ibunya itu muncul. Kehadirannya tak dapat dicegah.
Namun, alih-alih membalas dengan perkataan menohok, Glen justru memberikan informasi yang membuat kening dua orang tuanya terlipat.
"Aku sudah punya pacar, Bapak, Ibuk. Semalem dia datang ke hotel."
Johan dan Junita melempar tatapan terkejut. Glen kembali mengoceh tanpa bisa dihentikan.
"Bagi kalian, aku pembuat malu keluarga. Tapi bagiku, aku hanya mencoba melindungi hati pacarku."
Junita yang lebih dulu bicara. Suara wanita itu menyelidik. "Pacar yang mana? Kamu cuma punya satu pacar selama ini. Itu juga wong gendeng."
Tinju Glen terkepal di samping tubuh, mati-matian menahan diri agar tidak meluapkan kemarahan pada wanita yang telah melahirkannya.
"Aku punya pacar, Buk. Orang Aussie yang bela-belain datang ke Indo setelah tahu aku bakal tunangan."
Kali ini, pasangan suami istri itu terperanjat kaget.
"Jadi, semalem kamu kabur sama pacarmu itu?"
"Ya, aku perlu jelasin banyak hal sama dia," aku Glen.
"Bagaimana bibit, bobot, bebetnya?" selidik Johan.
"Apa itu penting?" Glen mulai muak. Fanatisme orang tuanya pada garis keturunan mentereng membuat perut lelaki itu bergolak.
"Jika ingin menjadi menantu Sumitro, tiga hal itu adalah syarat wajib." Johan menatap tajam putranya yang masih duduk di lantai kondotel.
Glen mendeceh tak suka. Meski begitu, berat hati dia menjawab pertanyaan bapaknya. "Dia yatim piatu. Ayahnya sudah meninggal sejak kecil, ibunya wafat lima tahun silam. Dia asli warga negara Australia. Kami bertemu saat aku menyelesaikan program masterku di Melbourne."
"Hanya perempuan biasa? Enggak ada koneksi keluarga sama sekali?" Johan sekali lagi menyelidik.
Glen menatap tak suka. "Demi Tuhan, Bapak! Apa itu penting sekarang? Dia mencintaiku dan aku mencintainya. Itu udah cukup buatku." Lelaki itu berseru keras.
"Tapi belum cukup bagi keluarga kita," sanggah Junita dingin. "Jika perempuan itu enggak punya koneksi hebat yang bisa nganter kamu ke posisi prestisius, lupakan dia! Mita jauh lebih baik dibanding pacarmu itu."
"Ibuk?" Glen mengernyit tak suka. "Jangan menghina Chelsea."
"Jadi, namanya Chelsea?" Johan berkata lambat-lambat. Pria itu mengeluarkan gawai dan melakukan satu panggilan.
Bulu kuduk Glen langsung berdiri saat menyadari kesalahannya. Perut lelaki itu terpelintir ngeri mendengar instruksi sang bapak di telepon.
"Cari tahu perempuan yang bersama anakku di hotel semalam. Namanya Chelsea. Bawa juga anak buahmu ke sini. Kalian jaga kondotel ini baik-baik agar Glen tak bisa kabur-kabur lagi."
~O~