webnovel

SUAR 7

Hari pengikat, hari di mana semua menunggu waktu-waktu ini.

Dengan pakaian serba putih, rambut di kepang dan sedikit riasan wajah. Aku sudah siap.

Aku keluar kamar dengan gembira. Entah sejak bangun tidur aku tersenyum-senyum sendiri, seperti gadis yang sedang jatuh cinta.

Kedekatanku dan Suar sangat aku sukai. Entah kenapa, aku merasakan begitu aman dan tenang bersamanya. Dan yang pasti, merasakan kegelian aneh di tubuhku.

Suasana Maheswari sepi, kelas-kelas, taman, lapangan, semuanya sepi, hampir tidak ada orang. Ada satu, dua orang menuju aula, tempat sekarang aku tuju.

Sebab hari ini adalah hari yang sakral, semua orang dari Mahes, Penjaga dan para guru berada di aula untuk menyaksikan acara pengikatan.

Aku tidak tau cara pengikatan bagaimana, tapi aku harap, semoga Suar merasakan apa yang aku rasakan. Sama-sama ingin melindungi dan menyayangi.

Pintu aula terbuka lebar, ribuan orang sudah duduk dengan baik di sana. Seperti stadion bola, mereka duduk bertingkat. Yang duduk di sana Mahes dan Penjaga Madya dan Wira. Sedangkan Mahes dan Penjaga yang akan pengikatan duduk di kursi pertama.

"Aruna sini."

Mataku melihat sekeliling dan menemukan Bestari dan intan di sana.  Di samping kanan intan, ada Yeksa dan Lingga, mereka juga menyapaku. Lalu di samping kiri dari Bestari, ada Suar yang menatapku dengan tersenyum.

Aku membalas senyumannya. Berjalan duduk di samping Suar, tempat yang sudah di sediakan.

Tempat duduk kami paling pertama, di sediakan untuk 3 penjaga terkuat dengan Mahesnya yaitu kami.

Lalu para orang tua berada di sisi kanan, dan penjaga dan Mahes lain berada di sisi kiri. Di depan sana ada para guru dan podium kecil.

Pintu aula tertutup rapat, seketika ruangan hening. Menyisakan suara Kepala Tertua, dia bernama Tertua Suro. Berambut putih dengan janggutnya yang putih pula.

Tanpa pengeras suara, suara tertua Suro menggema di setiap sudut ruangan, "Selamat siang anak-anakku. Semoga kabar kalian baik, sebaik hari ini ...."

Aku tidak terlalu mendengarkan pidato dari Tertua Suro, aku lebih melihat tanganku yang sedang di pegang oleh Suar, Suar memegang tanganku dan mengelusnya di sana.

Wajahku lagi-lagi memanas, sepertinya aku perlu ke dokter. Aneh rasanya badanku terutama wajahku selalu memanas begitu saja jika dekat dengan Suar.

Menatap wajahnya yang begitu tampan, dengan bulu mata lentiknya, gigi rapinya, bibir tebalnya yang terhiasi kumis-kumis halus, lalu hidung mancungnya yang begitu sempurna. Sangat sempurna.

Suar berdiri, bersamaan dengan Bestari, intan, Lingga dan Yeksa. Aku yang bingung, ikut berdiri di samping Suar.

Yeksa dan Lingga saling berpelukan dan beradu tinju. Bestari dan intan saling memeluk lalu melakukan formasi tangan yang unik. Sedangkan aku dan Suar bergandengan tangan saja.

Seperti  3 penjaga terbaik lebih dahulu untuk melakukan pengikatan. Terlalu asik melihat Suar, sampai tidak dengar apa yang di katakan oleh Tertua Suro.

Kami berenam maju ke tengah aula. Sorakan begitu ramai dan ramai sekali para gadis yang meneriaki nama Suar.

Sesampai kami di depan, ada 3 meja bulat yang masing-masing di tengahnya terdapat belati kecil.

Aku dan Suar berhadap-hadapan. Entah apa yang di pikirannya, dia terlihat diam saja dan hanya tersenyum tipis.

"Silakan di mulai pengikatannya."

     Wajah tegas Suar dengan matanya yang tajam, Tangan kiri Suar bergerak mengambil pisau di atas meja bulat itu, lalu menggoreskan telapak tangannya, lalu mengambil tangan kananku dan di goresnya.

    Setelah menggores telapak tanganku, kita menggabungkan telapak tangan kita, seperti orang bersalaman. Di saat itu juga ada sesuatu yang aneh menjalar ke seluruh tubuhku, rasa panas dan dingin hilir berganti, lalu memusatkan tepat di jantung. Ketika itu semua pandanganku menjadi gelap, hanya warna hitam tanpa ada Cahaya. Aku menoleh ke kanan tidak ada apa pun kecuali udara, dan ketika aku menoleh ke samping kananku, aku melihat Suar yang menatapku dengan wajahnya yang khas.

    "Ini di mana?" Tanyaku pada Suar, dan dia hanya diam, dan menyuruhku melihat ke depan.

Ada sebuah suara, bukan suara Suar, melainkan suara seorang ibu menangis.

    Ada wanita muda berlari tertatih-tatih dengan menggendong anaknya yang menangis, di berlari ke arah kami, aku dan Suar. Wajah wanita itu sangat panik, cemas dan penuh luka, keadaannya sangat kacau.

Aku menghampirinya untuk membantunya, tapi tepat di saat dia berlari dia menembus tubuhku, tubuhku tidak terlihat olehnya.

    "Tolong, Tolong anakku." Ucap lirih wanita itu, aku membalikkan badan dan melihat sebuah gerbang besar beserta temboknya yang tinggi, itu gerbang Maheswari padahal sebelumnya itu hanya sebuah udara kosong. Wanita itu sedang sekarat, ada darah yang keluar dari punggung belakangnya. "Tolong"

     Gerbang pun terbuka, ada seorang remaja menghampiri wanita itu, dan mengambil anaknya, remaja yang lain pun datang untuk membantunya. Dengan posisi meringkuk, dia membelai anaknya di tangan remaja itu "Jadilah Penjaga yang hebat, Ibu menyayangimu. Suar." Dan di saat itu juga wanita itu tidak sadarkan diri, wanita yang penuh luka itu telah tiada tepat di gerbang Maheswari.

     Suar? Apakah itu Suar?, Anak itu memang sangat mirip dengan Suar, Suar memeluk ibunya tanpa menangis, dia sangat tegar melihat ibunya tiada di hadapannya.

     Aku seperti melihat sebuah rekaman video, bedanya aku menonton secara langsung video itu di putar. Suar yang di sampingku seperti biasanya diam seribu bahasa, apakah dia tidak memiliki emosi, aku saja menitikkan air mataku melihat itu.

    Rekaman video itu memudar dan menghilang. Selang beberapa detik ada seorang anak berusia 4 tahun berlari dengan tubuhnya yang kecil, tubuh kecil itu menembus tubuhku, baju yang kotor, wajah yang kusam, dia berlari menuju Tertua Suro yang terlihat lebih muda dibandingkan yang saat ini. Siapa lagi kalau bukan Suar kecil.

    "Guru." Suar kecil itu menarik tangan gurunya, Suar kecil sangat menggemaskan di bandingkan yang sekarang, Suar sekarang terlalu seram untuk di lihat. Tapi tetap tampan. Tak sadar aku tersenyum melihat Suar kecil ini. "Ayo berlatih, aku ingin menjadi Penjaga yang hebat.".

    Tertua Suro menggeleng-gelengkan, dia tertawa melihat Suar kecil yang sedikit kotor itu. "Nanti kalau sudah umur 7 tahun ya." Tertua Suro berjalan melewati Suar.

    Suar kecil kesal, dia menendang apa pun di sekitarnya. Hilang, rekaman video itu hilang. Lalu muncul kembali Suar kecil yang sedikit bertambah tinggi, dia sedang membuat pedang-pedangan dari sebuah kayu. Dia tersenyum dan sesekali tertawa melihat 2 pedang di buatnya.

    "Suar kamu sedang apa?" Ucap Guru Dianti dari belakangnya, Suar tersenyum dan memperhatikan 2 pedang yang dia buat sendiri. Guru Dianti duduk di depan Suar kecil, dan melihat 2 pedangnya. "Kamu yang membuatnya, ini bagus sekali."

    Suar kecil mengangguk dan tertawa, ini menggemaskan sekali. Aku melihat Suar besar di sampingku, dia melihat dirinya di kala kecil. Sangat berbeda.

    "Ini punya Suar, ini punya tuan Suar." Suar menunjuk satu persatu pedangnya, yang kanan punyanya dan yang kiri punyaku mungkin.

    Guru Dianti mengelus rambut Suar kecil, dan mengelus tangannya yang tergores ketika membuat pedang itu. "Dia bukan laki-laki tapi perempuan, namanya Aruna."

   "Aruna cantik sekali, dia manis sepertimu." lanjut Guru Dianti, senyum manis Suar kecil itu hilang, dia menatap kecewa 2 pedangnya. "Apa kamu tidak suka kalau dia perempuan?"

    Suar kecil menggeleng. "Aku tidak tau perempuan suka apa, Guru, bagaimana jika dia tidak ingin bermain bersamaku?"

    "Aruna suka apa pun yang kamu berikan Suar, dia akan bermain denganmu sepanjang waktu." tutur Guru Dianti membuat senyum manis Suar kecil itu kembali.

    Aku tertawa melihat Suar kecil itu, aku melihat Suar saat ini. Dia menatapku tajam, dia sepertinya tidak ingin aku tahu tentangnya dulu. Ingin sekali mencubit pipinya, "Suar kecil itu sangat menggemaskan." ujarku membuat mata tajam Suar besar menusuk mataku.