Aku tertawa melihat Suar kecil itu, aku melihat Suar saat ini. Dia menatapku tajam, dia sepertinya tidak ingin aku tahu tentangnya dulu. Ingin sekali mencubit pipinya, "Suar kecil itu sangat menggemaskan." ujarku membuat mata tajam Suar besar menusuk mataku.
Rekaman video itu kembali hilang dan langsung di gantikan dengan rekaman lainnya. Saat ini Suar kecil itu memegang sebuah bunga yang cukup banyak, dia menghirup bunga itu dan tersenyum. "Ini untuk Aruna, dia pasti menyukainya dan mau bermain sesamaku."
Suar kecil itu menghampiri Guru Dianti yang sedang mengawasi Penjaga remaja berlatih. Guru Dianti tampak antusias melihat Suar menghampirinya, Guru Dianti tersenyum dan tertawa, sama yang seperti aku lakukan sekarang. "Suar, itu bunga untuk siapa?"
"Aku ingin memberikan ini pada Aruna guru, bunganya harum jadi aku petik." Suar kecil yang polos ini dapat membuat siapa pun yang melihatnya gemas. "Suar ingin bertemu Aruna, dan bermain dengan Aruna."
Guru Dianti mencubit pipi Suar dengan gemas "Aruna pasti suka sama bunga dari Suar."
Suar kecil tertawa, dan memperhatikan bunga yang di bawanya. Mungkin Suar kecil membayangkan jika aku menerima bunga itu dan bermain dengannya. Guru Dianti mengelus rambut Suar dengan lembut "Tapi Suar gak bisa ketemu Aruna sekarang"
Lagi-lagi senyum mengemaskan itu hilang dan di gantikan rasa kecewa. "Kenapa?, Aruna gak suka Suar ya?".
Guru Dianti menggeleng "Suar kan masih kecil harus banyak belajar dulu buat jadi Penjaga yang hebat buat Aruna. Tuh lihat kakak-kakak yang di sana, mereka berlatih menjadi kuat buat tuannya nanti."
"Suar mau belajar, Suar mau jadi Penjaga hebat buat Aruna. Biar Aruna suka sama Suar."
Rekaman itu hilang dan di gantikan Suar yang lebih tinggi dari sebelumnya, mungkin usianya 7 tahun. Suar berlatih bela diri dengan para Penjaga remaja, dia terlihat berusaha keras, tubuhnya pun penuh dengan tanah. Sementara anak lain di belakangnya sedang bermain, berlari-lari ke sana ke sini.
"Suar latihannya sudah cukup, kamu bisa bermain dengan temanmu." Ucap Guru Banu yang tengah mengajar. Suar kecil menggeleng dan meneruskan jurus bela dirinya. "Suar bermain dengan teman-temanmu, latihannya sudah cukup nanti kamu sakit.
Suar berhenti melakukan jurusnya dan menatap tajam Guru Banu. "Mereka bukan temanku guru, temanku hanya Aruna. Suar mau jadi Penjaga hebat buat Aruna mau main sama Suar."
Ucapan Suar membuatku terharu, aku menitikkan air mata. Banyak yang tidak mau bermain denganku tapi dia ingin sekali bermain denganku. Dia belum pernah melihatku tapi dia terus memikirkan bagaimana aku bahagia.
Hilang lagi rekaman itu dan di gantikan Suar remaja, Suar remaja tengah bertanding dengan temannya. Dia terlihat serius menghadapi musuh di depannya. Suar remaja memukul dan menendang lawan di depannya, dan lawannya itu langsung tumbang.
"Bagus Suar kamu sangat hebat." Ucap Guru Banu sembari menepuk pundak Suar. "Aruna pasti sangat bangga padamu."
Suar tersenyum bangga.
Aku menatap Suar besar, dia tersenyum sangat tipis. Dia sangat membanggakan dirinya. "Lumayan." ucapku membuat senyumnya menghilangkan.
"Lumayan?" tanya Suar dengan datar.
Belum sempat aku menjawabnya, Rekaman itu terganti dengan Suar yang beranjak dewasa. Suar sedang berlatih di dekat air terjun.
Dengan tubuh tinggi dan atletis nya, pasti membuat para penjaga perempuan berteriak-teriak.
Semua hilang, rekaman itu hilang. Aku hanya menatap kekosongan di depanku.
Lalu ada suara anak perempuan yang sedang tertawa. Awalnya Suara itu jauh, namun makin lama Suara itu terdengar jelas.
Aku melihat Aruna kecil berlari ke arahku, lalu menembus tubuhku.
Aku dan Suar berbalik badan.
Dengan kaki Aruna berlari ke ayah, "Ayah,, ayah,,, mahkluk kecil itu mau masuk tapi gak bisa." Aruna kecil menunjuk ke arah gerbang rumah, di sana terdapat anak kecil dengan telinga panjang terus melambai ke arahnya.
"Biarkan, dia tidak bisa memasuki rumah ini, sebab Ayah sudah memagari rumah ini." Ayah mengelus-elus rambutku dengan lembut, "Aruna sayang, orang-orang seperti kita yang bisa melihat dan memiliki kekuatan hebat di sebut Mahes."
"Mahes?"
Ayah menciumnya gemas, "Iyah, dan kita juga memiliki penjaga di dimensi 10 Dimensi Maheswari."
Aruna kecil berpikir keras "Di mana itu ayah? Namanya sama kayak nama Aruna Mahes"
"Karena kamu seorang Mahes sayang. Dan penjaga kamu ada di Maheswari. Tempatnya jauh banget, nanti kamu ketemu sama dia waktu umur kalian di 18 tahun." Jelas ayah sembari merapihkan rambutnya yang panjang.
"Apa penjaga Aruna kuat yah? Punya otot besar? Seperti di film-film?" Tanya dari mulut kecilnya dan di balas anggukan oleh ayah.
"Iya, nanti penjagamu akan menjadi keluarga kita, yang akan menjadi sahabat, teman Aruna. Dia gak akan pernah pergi, dia akan selalu bersama Aruna dan menjaga Aruna dengan nyawanya." Penjelasan ayah membuat Aruna kecil menjingkrak-jingkrak kegirangan.
"Siapa yah? Siapa namanya ayah?"
Ayah menggendongku, "Namanya adalah Suar."
Bibir kecilku mengulang perkataan ayah, "Suarrl."
Lalu menghilang, rekaman video itu, sangat aku tahu. Aku menatap Suar di sampingku, dia tersenyum manis melihat video itu.
"Jangan dekat-dekat sama dia, dia kan aneh." Suara itu berasal dari belakang, aku dan Suar berbalik dan melihat aku yang sedang duduk sendirian dengan bekal di tanganku.
"Iya ih, jangan di temenin, temen diakan setan semua." Suara-suara itu berasal dari teman-teman sekelas ku.
Sejak dulu aku memang tidak punya tempat, memasuki SMA. Aku sudah mulai bisa mengendalikan diriku, aku memiliki teman, yaitu Agnia dan bertemu dengan Edi.
Bayangan itu hilang menjadi debu berterbangan, lalu membentuk sebuah sepasang kekasih yang sedang makan eskrim di taman.
"Sayang, jangan gitu makannya, di jilat dulu yang bawah biar gak beres-beres loh." Itu suara Edi, itu kenangan kami saat pertama kali berkencan.
Aruna remaja itu tersenyum manis saat Edi membersihkan sisa-sisa es krim di bibirku. Lalu mengecupnya sebentar.
Melihat rekaman ini membuatku rindu padanya, entah dia melakukan apa sekarang. Dan entah bagaimana respon nya melihat aku dan Suar seperti ini. Rasanya seperti sedang berselingkuh.
Rekaman itu hilang. Dan ruangan ini seketika hening. Aku menatap Suar yang sudah menatapku lebih dulu.
"Kamu sangat mencintainya?" Tanyanya di balik mata sayupnya. Aku melihat sebuah rasa kecewa di dalam sana.
Belum aku sempat menjawab, Beberapa detik kemudian, terdapat sofa, tak lama bayangan orang muncul.
"Aruna sayang." Panggil ayah di sebelah Aruna remaja.
"Kenapa ayah gak bilang?" tanyanya pada ayah dengan marah dan kesal.
"Ayah cuman belum siap untuk kasih tahu kamu. karena ini situasi yang amat berbeda." jelas ayah sambil mengelus-elus kepalanya.
"Aruna gak mau kayak gitu yah! aku dan Suar dari dunia yang berbeda. aku tidak bisa memenuhi nafsunya, aku akan menjaga kesucian ku." Bayangan Aruna berdiri lalu berjalan menembus Suar, sebelum menutup pintu, "Kalau syaratnya adalah memenuhi nafsunya, lebih baik dia tidak perlu menjadi penjagaku."
Hilang, semua kembali hilang.
Hening. Aku tidak berani menatap Suar.
"Kamu menolak ku?" Perkataannya mampu membuatku menatapnya. Suar memegang dada kirinya, "Pantas saja, beberapa kali waktu itu, dadaku terasa sakit, ternyata itu penolakan dari mu"
Mendengar perkataannya, membuatku merasa sedih. Suar sudah berusaha dengan baik untukku tapi aku yang jahat padanya.
"Tidak, tapi nyatanya sekarang aku senang. Aku, aku.. suka di dekatmu." Ucapku terbata-bata. Rasanya aku ingin memeluknya dan mengatakan kalau dia adalah Penjaga terbaik dan aku tidak mau kehilangan. Aku memegang tangan Suar, "Aku serius suar."
Tak lama, di depanku, terlihat dua orang sedang beradu mulut. "Cup"
"Ehmmm stopmmh."
Aku tau ini, ini rekaman saat aku berada di kosan Edi. Dan saat itu Edi menciumiku dengan berlebihan.
Aruna itu semakin gelisah, Edi semakin agresif. Lidah bermain, Tangannya semakin naik ke dada. Aruna itu memberontak, namun kekuatan Edi jauh lebih besar darinya.
"Eemmhhh AHK."
Aruna refleks berteriak kala Edi meremas dadanya. Edi benar-benar sudah kelewatan.
Semua hilang. Pandanganku menggelap lalu seperti roh yang masuk kembali ke tubuhku sebenarnya.Aku mulai mendengar suara-suara kecil. Seperti kami sudah kembali ke aula.
Aku membuka mata, dan kulihat ada Suar yang sedang menatapku. Tidak tau arti tatapannya, Suar menggandengku turun dari podium dan kembali duduk di tempat kami sebelumnya.
Sementara intan dan Bestari masih terpejam di atas podium. Mereka mengalami hal yang sama dengan kami. Sedangkan Yeksa dan Lingga sudah duduk bercanda tawa.
"Suar." Panggilku pada suar, namun dia diam saja. Matanya terus tertuju pada podium di depan. Dia tidak lagi menggenggam tanganku. "Kamu marah?"
"Diamlah Aruna."