webnovel

Star Chronicles of Origin

Ren Kaito, seorang anak yatim piatu akibat perang saudara. Satu dari sedikit anak-anak yang selamat dari tragedi malam darah dimana genosida terjadi. Sepuluh tahun berlalu pasca kejadian itu, perangpun telah berakhir. Dia yang saat ini menyandang gelar Raja Naga Pertama karena prestasinya yang gemilang semasa perang saudara juga kemampuannya yang ditakuti oleh sekutu maupun musuh harus memulai hidup barunya. Sang Jenderal, ayah angkatnya memberikan dia misi untuk pergi ke Jepang tapi apa yang sebenarnya terjadi adalah.....Sang Jenderal hanya ingin anak angkatnya itu hidup normal seperti remaja seusianya sebisa mungkin.

Neezuria · Fantasía
Sin suficientes valoraciones
30 Chs

Jeda Waktu

Ren yang memiliki satu bulan waktu istirahat sebelum pergi ke Jepang menghabiskan waktunya sebaik mungkin seperti yang diperintahkan Gilbert.

Dua minggu pertama Ren menghabiskan waktunya dengan Angie, entah itu mengobrol di kamar, bermain bersama untuk bernostalgia saat masa anak-anak hingga berbelanja yang merupakan kesukaan seorang gadis pada umumnya. Hanya dengan melakukan ini, Ren berharap rasa bersalahnya pada sang kakak tiri dapat sedikit berkurang, bagaimanapun Angielah yang paling mengkhawatirkannya saat itu hingga sekarang.

Lalu, di minggu ketiga Ren menghabiskan waktunya bersama keenam raja naga lainnya. Mereka menghabiskan waktu dengan berlatih dan bertanding satu sama lain, mengobrol tentang keadaan militer dan dunia saat ini serta kadangkala memainkan permainan sederhana. Jika dilihat saja, semua itu terlihat sangat sederhana tapi bagi mereka yang tumbuh di masa perang bukanlah hal yang mudah untuk menerima era damai begitu saja, masih banyak dari sisi mereka yang belum siap menerima perdamaian walaupun mereka tidak pernah membencinya.

Terakhir, di minggu keempat Ren menghabiskan waktunya untuk dirinya sendiri. Belajar, mengasah kemampuan, membersihkan senjata-senjatanya serta dia ingin melihat "Pedang Terkutuk" yang dia segel lima tahun yang lalu.

Ruang segel—Bahaya tingkat tertinggi(disetarakan dengan senjata nuklir).

Ren memasuki ruangan yang di jaga ketat dengan pembatasan akses tanpa terkecuali(hanya Ren yang diperbolehkan memasuki ruangan tersebut). Pangkat dan relasi tidak berlaku untuk ruangan ini saking berbahayanya bahkan jauh lebih berbahaya dari ruang pertemuan tujuh raja naga ataupun ruang penyimpanan senjata pemusnah massal.

Ruangan itu kedap suara dan sangat sepi. Dengan aura hitam yang bertebaran dimana-mana serta suasana yang suram, berbagai rantai saling mengikat satu sama lain di pusat yang sama yaitu di sebuah pedang. Sebuah pedang berwarna hitam pekat seakan-akan cahaya tidak bisa menembus kegelapan itu. Salah satu pedang yang Ren ciptakan dulu. "Pedang Kehampaan" itulah namanya. Pedang paling berbahaya yang diperintahkan eselon atas militer untuk disegel setelah insiden "itu" terjadi. Bahkan untuk menyegelnya saja diperlukan rantai khusus yang juga Ren ciptakan untuk meniadakan kegilaan pedang tersebut.

Ren mendekati pedang itu dengan santai padahal aura hitam yang seperti racun bagi orang biasa semakin pekat jika semakin dekat. Setelah cukup dekat, dia melihat ke arah pedang itu dengan tatapan sedih.

"Kamu masih mengerikan saja ya, teman lama? Tidak, mungkin jauh lebih mengerikan dari terakhir kali aku melihatmu setahun yang lalu," katanya, "Sekarang...aku paham mengapa eselon atas militer memberi perintah mutlak padaku yang seharusnya tidak pernah mereka lakukan hanya untuk menyegelmu. Kamu terlalu berbahaya," tambahnya.

Tidak ada jawaban tentu saja karena yang Ren ajak bicara adalah sebuah pedang. Ini bukan dunia lain dimana ada sesosok Spirit yang mendiami sebuah pedang atau sebuah kondisi dimana pedang itu dapat bermanifestasi sebagai makhluk hidup sehingga dapat berbicara.

Setelah memberikan kata-kata itu, Ren berbalik meninggalkan ruangan yang suram itu. Segera ruangan itu masuk ke dalam mode segel dan tidak pernah terbuka lagi sampai kunjungan Ren berikutnya.

Tersisa satu hari terakhir, Ren berniat menghabiskan waktunya untuk berziarah di makam pahlawan.

Taman Makam Pahlawan, Kalibata.

Di sana terkubur para pahlawan yang berjasa bagi republik di masa lalu, entah para pahlawan nasional, anggota militer maupun pejabat tinggi negara, intinya mereka yang dimakamkan disini setidaknya memiliki jasa bagi republik.

Di sini, Ren berziarah mengelilingi makam-makam pahlawan nasional, menaburkan bunga dan berdoa untuk kedamaian mereka. Hal-hal seperti ini merupakan rutinitas Ren setidaknya sekali dalam setahun. Setelah selesai mengelilingi makam, seorang pria tua mendekati Ren. Dia memakai baju pelayan tapi dari betapa tegapnya tubuhnya dia pasti dari militer.

"Tuan Ren, sudah saatnya," katanya

Ren yang mendengar itu berbalik, "Begitu ya...," jawabnya.

Setelah itu Ren berdiri dan mulai meninggalkan makam. Di pintu masuk makam, sebelum meninggalkan makam sepenuhnya dia memberikan sikap hormat sebagai penghormatan tertingginya untuk para penghuni makam lalu berbalik masuk ke mobil.

"Jadi, kita akan menemui siapa saja?" tanya Ren.

"Dua presiden sebelumnya, tuan. Presiden saat ini sedang sibuk jadi hanya dua itu yang bisa hadir" jawab pria tua itu.

"Begitu..., yah mau bagaimana lagi, itu bisa dimengerti," balas Ren.

Setelah itu tidak ada percakapan sama sekali.

Satu jam kemudian, Ren sampai di tempat pertemuan. Di sana ada dua orang pria yang telah memasuki usia tua menunggunya.

"Saya memberi salam untuk mantan pemimpin kami yang terhormat," kata Ren membuka percakapan.

Kedua orang itu hanya tertawa.

"Astaga, Ren. Kamu terlalu kaku," balas salah satunya.

"Itu benar, kamu jangan terlalu kaku begitu, ayo duduk," balas satunya lagi.

Ren pun mengangguk dan duduk bersama kedua tokoh tersebut. Di sana telah tersaji teh hangat.

"Jadi, apa yang kamu mau bicarakan?" tanya salah satu dari orang tua tersebut memulai percakapan.

"Yah, tidak ada hal penting sih, saya hanya ingin mengucapkan salam perpisahan karena saya akan pergi ke Jepang untuk bersekolah disana," jawab Ren santai.

"Hee, begitukah? Apa kamu sudah memberitahu "dia" ?" tanya salah seorang.

"Benar juga, aku tidak lihat "dia" dimana-mana..," sahut lainnya.

"Jika dia yang Anda maksud itu presiden maka beliau tidak bisa hadir sekarang, yah biasalah orang penting pasti sibuk. Beliau saat ini sedang rapat untuk mempersiapkan pemilihan umum," jawab Ren.

"Oh? Pemilu ya? Aku ingat pemilu terhenti selama sepuluh tahun akibat perang saudara"

"Ya begitulah, sepuluh tahun lalu presiden bersama para anggota dewan memutuskan untuk meniadakan pemilihan umum untuk menghindari konflik internal dan mencegah rusaknya rantai komando," jawab Ren.

"Begitu ya, yah memang seharusnya begitu, walaupun secara harfiah melanggar konstitusi tapi kondisi darurat tetaplah darurat jadi mau bagaimana lagi," balas salah seorang tua.

"Ngomong-ngomong, kapan pemilu dilaksanakan?" tanya yang lain.

"Maaf, saya tidak tahu detailnya tapi sepertinya jika tidak ada kendala dan kondisi negara sudah stabil sampai tahun depan maka pemilihan umum untuk memilih anggota dewan serta presiden-wakil presiden akan dilaksanakan dua tahun dari sekarang," jawab Ren.

"Begitu, aku mengerti. Terima kasih atas informasinya"

"Sama-sama"

Setelah itu mereka mengobrol santai sedikit hingga waktunya Ren kembali ke markas.

"Ini sudah waktunya saya kembali, kalau begitu saya permisi dulu, selamat siang," kata Ren lalu bangkit dari kursi dan berjalan meninggalkan tempat pertemuan. Di belakangnya, kedua orang tua itu melambaikan tangan mereka sebagai tanda perpisahan. Mereka berharap dengan Ren yang dikirim ke Jepang, dia dapat mempelajari banyak hal selain dari militer. Sama halnya seperti Gilbert, kedua orang tua itu tidak mau Ren yang mereka kenal sejak lama hanya menjadi "anjing" yang terus dirantai negara, mereka ingin Ren bahagia.