webnovel

BAB 38: BERI AKU 6 SAYAP

DOORRR!!

"Lagi!" teriak Kinn.

DORR!! DORR!! DORR!!

"LAGI! Tembakanmu benar-benar belum stabil!" Kali ini, Kinn memposisikan tubuhnya di belakang Porche. Dia meluruskan lengan Porche, lalu menepuk-nepuk kasar di bagian punggung tangan. "Kokohkan di sini, oke? Jangan main-main dengan kemana amunisimu menuju.

"...." Porche hanya diam sejak awal pelatihan tembak menembaknya dimulai lagi. Dia sebenarnya fokus, tetapi heran kenapa tidak semudah yang dipikirkan. Tiap kali Kinn menginstruksikan ini dan itu, otaknya bocor. Apapun informasi yang masuk, semuanya jadi bullshit karena pelurunya terus berlari.

"Kenapa? Sudah menyerah?" tanya Kinn.

Porche pun menghentikan lirikannya pada sang suami. KACRAK!

"Siapa bilang aku begitu," batin Porche. Dia lantas merunduk kembali untuk membidik burung-burung yang melintas di atas lautan.

Ini memang tantangan Kinn setelah mereka mandi bersama pagi tadi. Kinn bilang, dia takkan melepaskan Porche tanpa persiapan matang seperti sebelumnya. Karena itulah, Porche pun tidak protes saat kapal pesiar mereka sudah berlayar ke tengah-tengah lautan. "Harus, ya?" tanyanya dengan pikiran tenang.

"Ya, jika kau ingin melakukannya dengan caramu," balas Kinn.

Sekarang lihat? Porche bahkan bisa merasakan goyangan air di bawah kakinya, tetapi Kinn memeluk erat pinggangnya dari samping.

Lelaki itu tidak pernah jauh-jauh darinya entah kenapa. Dan meski Porche tahu omongan Kinn punya maksud rahasia, dia memutuskan untuk tidak peduli.

"Kupegangi," kata Kinn beberapa saat lalu. Sebab tadi Porche berdiri di haluan kapal sendirian. Namun saat Kinn melihat aksinya dari geladak, lelaki itu cepat-cepat datang dan menyusul seolah dia akan tercebur sewaktu-waktu. "Sekarang beri aku enam sayap. Jika bisa, kuajari teknik berikutnya untuk revolver."

Enam sayap artinya haru dapat tiga ekor burung. Namun, sampai sekarang Porche baru dapat satu. Itu pun mungkin karena beruntung. Jadi, tak bisa dipungkiri, dia cukup kesal meski tidak mengatakan apa-apa.

"Porche?"

"Hm?" Porche tetap fokus pada burung-burung yang kesana kemari. "Jangan berisik, Kinn. Aku sedang fokus sekarang," katanya kesal.

Meskipun begitu, Kinn tetap merengkuh jari-jari Porche perlahan, lalu menuntunnya untuk mengarahkan moncong pistol itu ke titik yang menurutnya lebih tepat. "Di sini, harusnya," bisik sang mafia dengan tatapan lurus ke depan. "Dan jika kau tahu titik buta setiap burung, pasti bisa dapat kelima-limanya nanti."

"Hah?"

Kinn pun membuktikannya dengan menekan pelatuk itu bersama-sama. Clik!

DORRR!

Lalu arah pistol itu bergeser dinamis.

DORRR!! DORRR! DORRR!! DORRR!

Benar saja, lima tembakan beruntun pun menghasilkan lima ekor burung yang jatuh. Porche sampai tercenung, terutama saat ada beberapa ikan karnivora yang berebut memangsa mereka.

"Kenapa? Jangan bilang kau benci melihat darah," kata Kinn.

"Bukan," kata Porche, lalu mengisi pelurunya lagi. "Hanya saja, aku selalu lupa suamiku adalah mafia."

"...."

"Dan itu kadang rasanya menyebalkan sekali."

DORR! DORR!

KACRAK!

DORR!

KACRAK!

DORR! DORR!

Meskipun sedikit asal, Porche bisa membidik dua burung lagi tantangan Kinn. Dia bangga, tetapi juga tidak terlalu. Mungkin saja, yang barusan itu hanya karena dirinya kesal?

Porche lupa dia punya emosi yang harus dikendalikan sebelum tangannya yang memegang pelatuk.

"Oh, bagus," kata Kinn. Namun, sebelum Porche turun, dia mengeratkan pelukannya pada pinggang ramping itu. "Tapi, jujur saja kadang aku merindukan sesuatu."

"...."

Kinn menatap wajah datar itu dari samping. Rambut yang diterpa angin, mata cantik yang memandang jauh, hidung mancung yang memantulkan kilau cahaya, kemudian bibir ... ah, kenapa mencumbunya semalaman tadi tidak membuatnya bosan?

"Sejak kapan kau sekeras ini, Porche?" tanya Kinn. Tubuh mereka bergoyang bersamaan dengan alunan ombak di bawah sana, tetapi Porche samasekali tidak goyah dari tempatnya berdiri. "Aku seperti kehilangan lelaki ribut dan ceria dari bar yang waktu itu kudatangi."

Brugh!

"Ck ...." Porche malah melemparkan pistol itu ke dada Kinn. "Daripada memikirkan hal yang konyol, kenapa tidak kau ajarkan teknik revolver yang tadi? Jangan membuatku hilang kesabaran."

Prakh!

Pistol itu pun jatuh ke lantai dek kapal. Berguling. Bergoyang. Lalu terseret turun karena permukaan yang kadang melandai.

Saat itu, entah kenapa Kinn tidak emosi. Dia seperti kehilangan rasa sakit, padahal Porche nyata-nyata mengabaikannya setiap waktu.

"Oh, aku paham," batin Kinn dengan senyuman tipis di sudut bibirnya. "Mungkin maksudmu semalam ... aku adalah cinta yang kesekian, hm, Porche?" Dia bahkan memandangi cincin klan yang ada di jari, lalu memutar-mutarnya dengan perasaan gamang. "Maka sepertinya tak masalah jika nanti kutitipkan ini padamu, setelah kuajarkan apapun yang kutahu."

***

Catania, Sisilia, Italia.

"Mossimo," kata Mario setelah kebisuan lama dalam mobil mereka. Sang paman tunggal sepertinya sudah lama memendam ingin bicara, tetapi keponakannya itu tidak angkat kata.

"Hmm," sahut Mossimo tanpa mengalihkan pandangan. Lelaki itu menikmati jejeran pohon di tepi jalan. Dia tidak protes meski sang sopir memilih jalan memutar.

"Akhir-akhir ini ini istrimu keterlaluan," kata Mario. "Tidakkah kau ingin menghentikannya? Aku tahu dia menyembunyikan sesuatu tiap kali aku datang."

Mossimo hanya menggelengkan kepalanya perlahan. "Dia tahu yang dia lakukan," katanya. "Sebaiknya kau tidak terlalu memikirkannya."

Mario pun tidak berkomentar lagi. Dia hanya memendam rasa ingin mendecih, tetapi tidak dilakukan. Bagaimana pun, pertemuannya dengan Laura kemarin canggung sekali. Padahal dirinya hanya ingin menyelesaikan urusan dengan Mossimo, tetapi wanita itu tampak antipati.

Dia ingat, dulu pernah begitu ... faktanya Laura nyaris membunuh kliennya di belakang panggung karena kesalahan pahaman. Dan itu adalah memori terburuk.

Mario pikir, Laura memang tak keliru. Insting predatornya kuat bila menyangkut bisnis di bawah tanah. Dan dia takkan mau diganggu dengan alasan apapun itu.

Perdagangan item khusus antar intralokal, narkotik dan senjata kelas berat, berikut usaha AI dalam masa pengembangan .... (*)

(*) Item khusus mewakili perdagangan manusia kepada kaum borjuis, sementara AI (Artificial Intelligence) projek robot dan kecerdasan buatan dalam jumlah besar.

Laura memang berperan besar dalam bisnis-bisnis di bawah naungan Mossimo. Sebab beda dengan masa lalu, wanita itu kini menguasai ranahnya sendiri. Dan sudah lepas dari kehidupan biasa semasa gadis.

"Tapi aku memang menyayangkan," kata Mossimo tiba-tiba.

"Soal apa?" tanya Mario. Dari jembatan berkelok yang mereka lewati, pria itu kini menoleh ke sang keponakan.

"Namsie," kata Mossimo. Kali ini dia melepas kacamata dan melipat benda itu dalam kerah. "Istriku mendapatkan jejaknya belum lama ini. Dan, ya ... begitulah."

Mario pun tertegun sesaat. "Oh ..." desahnya. "Ngomong-ngomong itu bayi yang keberapa?" tanyanya.

"Aku tidak ingin mengingat-ingatnya," kata Mossimo. "Mungkin, cari cara menyembunyikan yang lain lebih bagus daripada membuang-buang waktuku untuk yang tidak selamat."

"Hmmmm ..." gumam Mario sambil menyalakan rokok cerutunya. Pria itu tampak gusar, tetapi juga prihatin pada sang keponakan. Bagaimana pun, dia tahu peliknya perputaran bisnis mereka sebagai gangster. Bila soal keturunan, mau langsung menanam benih, surogasi, atau bagaimana pun caranya ... Mario memilih menelan komentarnya daripada ikut campur lebih jauh. "Baiklah. Kalau begitu lakukan saja apa maumu," katanya. "Tapi, Mossimo. Meski itu bagian dari kecacatan istrimu, kuharap kau tahu kapan harus memberikan pelajaran padanya."

Massimo justru tak merespon apapun. Sebab dalam pikirannya hanya berisi wajah sang ayah tiap kali topik ini diangkat. Bagaimana pria tua itu mati. Tertembak peluru dari kejauhan. Dan ambruk di depan matanya yang tak bisa melakukan apapun.

"Nak, sebentar lagi kau akan jadi penggantiku," kata Fabio Torrecelli. Pria beruban itu menatap Mossimo muda dengan senyum cerah. Sampai-sampai cahaya sore bahkan terkalahkan oleh bias bahagia di wajahnya. "Aku jadi sangat tidak sabar. Kapan kau akan menikah, berkeluarga, lalu aku menggendong cucuku sendiri?"

Waktu itu, Mossimo muda hanya terkekeh kecil. "Ayah mungkin hanya harus menunggu sebentar lagi."

"Ha ha ha, baiklah." Otot-otot wajah Fabio pun tertarik lucu. Pria tua itu meraih bahu sang Putera tinggal, tetapi dia tidak tahu bahwa itu detik terakhirnya hidup--

DORRR! DORR! DORR

DOR!! DORR! DORR!!

....

Hingga sebuah peluru melesat sadis, beruntun, dan menembus dada Fabio hingga bahu Massimo sendiri.

"Ayah! AYAH!"

Saat itu, Mossimo terlambat sadar. Tubuhnya ingin sekali berlari hanya untuk menahan Fabio tidak jatuh, tetapi jemarinya sendiri gemetar.

"Uhookh!" Fabio terburu memuntahkan darah segar, sementara pandangan Mossimo berkunang-kunang. Mereka pun ambruk bersamaan, tetapi Mossimo tidak pernah tahu bahwa dia akan tetap hidup dan membuka mata lagi sendirian.

Bersambung ....