webnovel

Sexuality Disorder

Area khusus 21+++ (Novel sudah dihentikan penayangannya, karena platform yang bersangkutan sudah tidak menerima lagi naskah novel berbahasa Indonesia. Silakan mencari kisah lengkap novel ini di platform novel online yang lain.) Novel ini adalah bacaan khusus bagi para dewasa yang ingin mengetahui lebih dalam lagi terkait sebuah kelainan seksual yang dinamakan dengan istilah ‘Sexuality Disorder’. Menceritakan tentang seorang gadis bernama Btari Kania Maheswari, yang pernah mengalami sebuah peristiwa trauma dalam kehidupan remajanya. Dimana, kegagalan cinta pertama telah saja membangkitkan sisi-sisi liar naluri purbanya sebagai seorang wanita. Gadis belia yang harus merelakan kepergian kekasih pertama dari dunia ini, dalam kehidupan dewasanya telah saja mengalami beberapa hal tak mengenakkan terkait sebuah penderitaan yang ia alami. Hingga sang gadis yang telah kembali menemukan cinta pada seorang pemuda lainnya, dengan keras harus berjuang untuk dapat mengalahkan gejolak hasrat yang sedemikian sulit untuk dapat ia kendalikan. Sesuatu didalam tubuh dan jiwa Kania, pada akhirnya telah saja membuat gadis tersebut menjadi merasa sangat tersiksa. Terlebih, saat ia juga harus menemukan sebuah kenyataan bila sang kekasih juga seperti tidak bersedia untuk memuaskan gairahnya secara total. Sampai akhirnya, konflik pun harus terjadi tanpa mereka sendiri tahu apa yang sedang diupayakan oleh masing-masing. Karena dalam diamnya, sepasang kekasih tersebut telah saja mencari solusi kesembuhan dengan cara sembunyi-sembunyi. Lalu, bagaimanakah ending cerita ini? Ikuti saja kisahnya dalam novel yang akan terbit setiap hari disini.

Butiran_Rindu · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
5 Chs

BAB 05 – Kenangan Yang Membekas

Sarah sedang menonton TV diruang tengah, saat Kania kembali masuk ke dalam rumah. Gadis tersebut langsung saja mendekatinya, lalu dengan lincah menyelusup kedalam selimut yang terhampar di karpet. Dengan santai Kania ikut menyandarkan tubuhnya setengah berbaring disebelah Sarah, diatas bantal-bantal besar yg disusun menempel di sofa.

"Dingin, Nya?"

"Hu-um. Cuaca cerah berbintang gini emang disini dingin. Musim kemarau udah tiba."

"Sini-sini ngrapet aku," Kata Sarah lagi sambil Ia merapat pada Kania dan menyusupkan lengannya keatas bantal yang disandarinya.

"Hmmm... Anget. Lagi nonton apa, Rah?"

"Acak aja, yang penting ada yang bisa ditonton. He-he."

Sejenak keduanya diam sambil nonton TV di depan mereka.

"Nya ..."

"Hmm …?"

"Mas Rangga itu siapa?" Tanya sarah tiba-tiba yang mendadak membuat kania terkejut.

"Kenapa kamu nanya itu?" Jawab sang gadis setelah bisa mengatasi keterkejutannya.

"Kemarin kamu panggil nama, eh … Mas Rangga."

Mendengar jawaban sahabatnya, Kania jadi terdiam cukup lama. Ia nampak termenung, seolah tengah kehilangan akal dan ingatannya. Dan untuk beberapa saat, kedua sahabat itu terdiam cukup lama saling menunggu kata apa yang akan terucap. Hingga, masing-masing malah saling berpikir untuk sebaiknya mengganti topik pembicaraan yang kurang mengenakkan itu.

Saat Sarah memutuskan untuk mencari topik pembicaraan lain, tiba-tiba terdengar suara lirih dari mulut sahabatnya,

"Mas Rangga itu sepupuku, Rah."

"Oh ..." Sahut Sarah menggantung, untuk menunjukkan bahwa Ia menunggu kata selanjutnya dari Kania.

Beberapa saat berikutnya, kembali mereka saling diam dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sarah masih menunggu, sementara Kania terlihat sedang menyusun kata yang akan digunakannya untuk mulai bercerita.

Karena meskipun hanya menebak, Kania pun tahu jika Sarah sedang mulai mencoba untuk mengumpulkan keberanian dalam melakukan sebuah terapi. Tentunya, apa yang hendak dilakukan Sarah sebagai seorang asisten Psikolog, saat ini harus digabungkan sebagai curahan hati Kani kepada seorang sahabat teman bicara.

---

Ruangan itu jadi hening, saat Kania mulai membuka cerita tentang masa lalunya. Volume suara Televisi memang sudah dikecilkan tadi, saat Sarah mencoba mulai percakapan. Ia sengaja membuat suasana nyaman untuk mengorek masa lalu Kania. Karena secepatnya, Sarah berharap untuk bisa mengetahui atau mencari trauma yang menjadi penyebab kenapa sahabatnya memiliki kecenderungan gairah hasrat yang berlebihan.

Dengan suara perlahan dan jelas, Kania menceritakan kisah awal mula kedatangan Rangga ke rumahnya pada lima tahun yang lalu. Si pemuda yang sudah cukup dewasa, tentu saja menjadi idola Kania yang saat itu sedang beranjak remaja.

Kania merupakan anak tunggal, sedangkan Rangga adalah anak bungsu dalam keluarganya. Mungkin karena itulah, mereka berdua menjadi sangat dekat dalam waktu yang singkat. Sebab hanya dalam tempo satu-dua hari saja mereka berdua seakan sudah menjadi tak terpisahkan. Dimana ada Rangga, disitu pasti ada Kania yang setia mengekor dan selalu siap menolong atau bersedia diajak kemana pun.

Dengan tatapan mata yang menerawang jauh, Kania meneruskan ceritanya yang kini mulai menjadi lancar. Bahkan, sesekali tampak senyumnya saat Ia menceritakan beberapa momen indah antara dirinya dan Rangga.

---

"Aku memanggilnya Mas Rangga." Demikian tegas Kania sambil tersenyum dan larut kedalam ceritanya sendiri. Lalu, gadis itupun melanjutkan kisahnya …

Pagi yang cerah pada suatu ketika ...

"Nya, main ke hutan, yuk." Ajak Rangga setelah dua malam Ia menginap di rumah Kania.

"Mau ngapain main ke hutan, Mas?"

"Kita berburu, Mas kan udah pinjam senapan punya Paman."

"Ihh.. Nggak mau, ahh. Kasihan kalau nembak binatang yang nggak salah. Lagipula di daerah sini dilarang untuk menembak burung sembarangan," Kania menggelengkan kepala dengan ekspresi ngeri.

"Eehhh, bukan nembak burung. Mas Rangga juga nggak pernah berburu binatang walau punya hobby nembak. Kita main aja ke hutan dekat desa sini sambil bawa senapan. Yang penting kita bisa cari target benda mati disana untuk berlatih." Demikian kata si pemuda tampan sembari menebarkan tawanya yang khas.

"Ehmm ... Anya mau diajarin nembak juga?" Senyum Kania mengembang manis seiring wajahnya yang berseri saat mengucapkan kata-kata itu.

"Iya, doong .. Kita berangkat aja mumpung masih pagi, biar siang nanti udah sampai rumah lagi." Langsung saja, si pemuda menyahut dengan gembira yang sama.

"He-he, kalau gitu Anya mau. Dulu juga pernah minta diajarin Bapak, tapi sampai sekarang belum juga diajarin." Sambil cemberut menggemaskan, langsung saja si gadis mengadu.

"Nanti Mas Rangga ajarin, deh. Pokoknya diajarin sampe kamu mahir. He-he."

"Oke, deal. Kita pamit Ibu dulu."

---

Mereka berjalan kaki menuju sungai yang berada di sisi belakang kampung. Dari situ, keduanya terus berjalan santai menyusuri sungai yang jernih dengan debit air melimpah karena musim hujan. Nampak hanya beberapa orang saja yang mereka temui dalam perjalanan itu, yang rata-rata semuanya mengenal Kania. Karena petani yang sedang mengolah sawah dan kebun itu, hampir semuanya merupakan tetangga Anggi.

Mereka lanjut melangkah dengan mengikuti tepian sungai yang semakin lama menjadi menyempit karena bercabang di beberapa tempat. Hingga akhirnya, tibalah kedua orang itu pada pinggiran hutan. Sebenarnya tempat itu bukanlah hutan, namun hanya perkebunan luas yang diisi oleh pohon-pohon besar dan rindang yang menjulang.

Sesekali mereka berhenti memandang alam sekitar yang begitu menghijau teduh dan terlindung dari sinar matahari pagi. Burung-burung ramai berkicau diatas sana, mungkin sedang berjemur atau mencari makan, bisa jadi sedang asik bercumbu.

Mendapatkan pikiran yang nakal itu, langsung saja Kania tersenyum malu saat merasa kebablasan dengan angan yang sampai sejauh itu. Karena jujur saja, terasalah kini betapa Kania memuja Mas Rangga-nya. Si pemuda yang tampan, gagah dan sangat lembut serta penuh perhatian padanya.

Dan dengan serta merta, pipi Kania kembali terasa panas saat ingat betapa Ia tadi begitu gemetar saat Rangga mengajarinya menggunakan senapan. Betapa tidak akan demikian? karena posisi mereka berdua yang terasa begitu intimnya saat ia diajari memegang senapan dan membidik, adalah suatu hal yang telah saja menggoreskan sebuah kenangan manis di hatinya.

Selang beberapa saat berjalan, mereka sampai pada tepian sungai yang tidak seberapa lebar. Kondisi geografis pada sekitar 50 meter sebelah kanan sungai itu, adalah tanah luas dengan pepohonan yang jarang dengan latarbelakangi tebing yang tidak begitu tinggi. Sedangkan sebelah kiri sungai, nampak hamparan kebun palawija yang luas menghijau.

"Tempatnya bagus untuk main senapan,nih. Latihan lagi, yuk," Ajak Rangga pada Kania saat mereka tiba disana.

"Baiklah. Hi hi hi …" meskipun masih saja deg-degan, Kania berusaha untuk santai dengan tertawa riang.

"Nah, pegang lagi seperti tadi. Tangan kiri meyangga tengah senapan, lengan kanan mengempit popor senapan dengan posisi telapak tangan kanan memegang area pelatuk." Mendengar kesediaan si gadis, langsung saja si pemuda memberi contoh tentang bagaimana memperlakukan senjata tersebut dengan baik.

Kembali Rangga menunjukkan cara menggunakan senapan, sambil merengkuh tubuh Kania dari belakang. Lalu dengan lembut, ia memposisikan kedua tangannya di tangan si gadis yang sedang memeluk senapan agar benar dalam cara memegangnya.

Deg-deg-deg.

Langsung saja detak jantung Kania berdegub dengan lebih kencang, saat merasakan betapa semua bagian tubuh depan Rangga menempel dengan erat pada bagian tubuh belakangnya. Tentu saja Kania tidak bisa konsentrasi, sehingga mengakibatkan cara menembak yang diajarkan padanya belum bisa dilakukan dengan baik.

Bukannya menjadi lebih mahir, Kania malah bertambah gugup karena perbuatan Rangga yang berulangkali membetulkan posisinya dengan cara merangkul serta menggenggam tangannya, dan juga menyentuh beberapa bagian tubuh yang kurang tepat pada posisinya.

"Oke, udah bagus. Sekarang kamu mencoba membidik. Pipi kamu tempelkan pada popor dan mengincar teropong seperti ini."

Dan kini, jantung Kania seakan ingin meloncat ketika Rangga menuntunnya melakukan itu. Dalam posisi pipi menempel pada popor senapan serta telapak tangan kanan dan kirinya yang memegang senapan, betapa gadis itu menjadi merasa begitu lemas dan lunglainya.

Karena pada saat itu, kedua tangannya bahkan telah saja digenggam oleh Rangga. Sementara, hidung si pemuda dengan nyamannya telah saja menempel pada belakang kepala Kania agar mudah untuk mengajari mengincar target.

Dengan penuh perjuangan yang panjang untuk mengalahkan gejolak hatinya, pada akhirnya Kania bisa belajar dengan benar bagaimana cara mengoperasikan senapan itu dalam bimbingan Rangga.

Beberapa puluh menit berlalu, keduanya masih asyik bermain di tepi sungai itu. Mereka bergantian menembak target dan juga saling bercanda dan tertawa berjalan kesana kemari di tepian sungai. Hingga tanpa sadar, matahari yang tadinya bersinar cerah telah saja tertutup mendung hitam secara cepat. Lalu, tiba-tiba rintik hujan jatuh menerpa mereka yang sedang bersemangat berlatih menembak.

"Hujan," teriak Kania.

"Ayo, Nya. Kita berteduh disana."

Tak mau menunggu tubuh menjadi basah karena hujan, mereka berdua segera berlari menuju gubuk di tepi sungai tak jauh dari situ yang sudah mereka lihat tadi.

***

Terimakasih karena sudah membaca bab ini.

Mohon dukungannya untuk memasukkan judul novel dalam rak buku Kakak semuanya.

Kita bertemu lagi hari Senin, tentunya dalam lanjutan cerita yang lebih asyik dan menegangkan lagi.

Salam,

Butiran_Rinducreators' thoughts