webnovel

Pillow Talk

"Oh, jadi kamu mau malam ini kita sama-sama?" tanya Dirga, lelaki itu menahan senyumnya, dia memandang wajah Aisyah.

"Ah, enggak, enggak gitu, aku mau bilang, bisa nggak malam pertamanya di tunda dulu." Aisyah kelabakan, mendengar pertanyaan Dirga, dia menggeser tubuhnya ke belakang. Sayangnya, dia hampir saja jatuh terjengkang ke belakang karena dia duduk di pinggiran tempat tidur, untung saja Dirga sigap menarik kedua lengan Aisyah.

"Astaghfirullah," ucap Aisyah, dia terkejut, refleks dia memeluk Dirga.

Lelaki itu tak bisa lagi menyembunyikan rasa senangnya, dadanya berdetak lebih kencang, merasakan pelukan dari istrinya itu. Bahkan, kepala Aisyah sudah bersandar di dada lelaki tersebut.

"Wah, sudah berani peluk-peluk nih," goda Dirga. Aisyah yang baru saja menyadari posisinya, segera melepaskan tangannya dari tubub Dirga.

"Ye, apa-apaan sih, Om. Aku cuma kaget aja," jawab Aisyah memberi alasan. Dia sudah duduk di posisinya yang semula.

"Jadi, beneran malam ini mau malam pertama?" tanya Dirga lagi, alisnya naik turun, dia menatap Aisyah.

Untung saja lampu ruangan redup, kalau tidak, dia pasti sudah bisa melihat wajah Aisyah yang merah karena malu.

"Ish, ogah!" Aisyah berbalik, dia memunggungi Dirga.

"Eh, eh, kok aku di kasih punggung, memang mau di peluk dari belakang?" Dirga terus saja menggoda Aisyah.

"Ish, Om nyebelin deh!" Aisyah merajuk, dia kembali menghadap ke Dirga, wajahnya di tekuk.

"Hahahaha, habisnya kamu kayak gitu."

Aisyah menunduk, dia tak berani menatap wajah suaminya, dalam hati dia memuji ketampanan Dirga, bahkan ada sisi hatinya yang mulai kagum kepada lelaki yang baru beberapa jam menjadi suaminya itu.

"Sini deh, sebelum kita memulai semuanya, aku ingin kita bicara serius, bagaimana?" tanya Dirga.

Dia sedari tadi memang ingin menyampaikan beberapa hal kepada Aisyah, dia merasa walaupun Aisyah baru tamat sekolah, tapi dia sudah dewasa secara Agama dan Negara, dia juga sudah berstatus istri mudanya, terlepas dari kelakuannya yang masih labil, Dirga berkewajiban untuk mengarahkan agar rumah tangga mereka bisa berjalan normal, seperti pasangan pada umumnya.

Aisyah menggeser duduknya agar lebih dekat ke arah Dirga, lelaki itu berbalik, dia lalu mengganti mode lampu menjadi terang. Aisyah beberapa kali mengedikkan mata, untuk menetralkan penglihatannya.

"Sebelum kita malam pertama, seperti yang Aisyah harapkan, aku ingin kita berdua bikin kesepakatan, ini bukan seperti perjanjian sebelum kita menikah, tapi ini aturan selama kita menjadi suami istri, apa Aisyah paham?" tanya Dirga, dia takut istrinya tak bisa memahami apa yang dia sampaikan.

Aisyah mengangguk, walaupun dia masih muda, tapi dia bisa mengerti penjelasan Dirga, karena masih menggunakan bahasa yang gampang di mengerti olehnya.

"Jadi, Aisyah catat dalam hati, agar tidak di lupakan. Aku ini suami Aisyah, jadi aku tidak mau di panggil Om."

"Jadi mau di panggil apa?" tanya Aisyah, menjeda perkataan Dirga.

"Panggil aku Rohi." Mata Aisyah membulat, perlahan senyum terukir dari bibirnya, lalu dia menutup mulut, karena tawanya ingin pecah.

Dahi Dirga mengkerut. "Kenapa? Ada yang aneh?"

"Hahahaha, sebutannya kayak nama tokoh di film India, Rohi. Hahaha." Aisyah tertawa lepas, Dirga menggeleng, dia tak menyangka kalau pikiran Aisyah benar-benar polos.

"Terserah, yang penting aku mau kamu panggil aku Rohi, coba panggil aku Rohi." Dirga berkata seperti itu, setelah Aisyah sudah bisa mengontrol tawanya.

Aisyah tak mengerti, namun tetap mengikuti perintah Dirga.

"Rohi."

Dirga tersenyum, dia senang mendengar suara manja Aisyah memanggil namanya.

"Iya, Albi ku." Dirga membalas Aisyah.

"Loh, kok, iya Jantungku?" tanya Aisyah lagi, dia sejak kecil belajar bahasa Arab, jadi dia tau kalau Albi itu artinya Jantung.

"Iya, aku akan memanggilmu Albi, karena mulai hari ini nama kamu terukir di salah satu bilik jantingku."

Wajah Aisyah bersemu merah, Dirga ikut tersenyum, namun sejurus kemudian wajah Aisyah berubah menjadi masam, dia menundukkan pandangan.

Melihat perubahan Aisyah yang tiba-tiba seperti itu Dirga bertanya. "Kenapa? Apa kamu tidak suka di panggil Albi?"

"Suka, tapi ... ."

"Tapi, apa?" tanya Dirga.

"Tapi, itu berarti Om mau menikah lagi?"

Kini giliran Dirga yang terperangah mendengar kata-kata Aisyah.

"Kamu kok bisa berpikiran seperti itu?" tanya Dirga.

"Kan tadi Om bilang, namaku terukir di salah satu bilik jantung Om, setahuku Jantung punya 2 bilik dan 2 serambi. Kan 1 bilik ada nama istri pertama Om, bilik kedua ada namaku. Jadi yang dua serambinya pasti untuk istri-istri om yang lain kan?"

"Hahahaha." Tawa Dirga pecah, dia menggeleng, tak menyangka kalau Aisyah sampai berpikir seperti itu.

"Kamu salah, kedua serambi itu akan terukir nama anak-anak kita nantinya."

Jawaban Dirga, membuat wajah Aisyah kembali bersemu merah.

"Jadi kamu nggak keberatan ku panggil Albi, dan kamu panggil aku Rohi?" tanya Dirga memastikan.

Aisyah mengangguk malu, wajahnya masih tertunduk, tak berani menatap Dirga.

"Baiklah, sekarang, aku mau Aisyah jujur, kenapa mau menikah sama aku?" tanya Dirga.

Aisyah mengangkat dagu, dia menatap Dirga ragu.

"Aku kan sebelum menikah sudah jujur tentang status ku, jadi aku mau Aisyah jujur, kenapa Aisyah yang masih muda, mau menjadi istri kedua?"

Tangan Aisyah saling meremas, dia tidak tau harus menjawab jujur atau bohong, dari awal dia tidak pernah menyangka akan di hadapkan pada situasi seperti ini, dia mengira kalau Dirga menikah hanya sebatas ingin menjalankan Sunnah berpoligami. Melihat Aisyah masih ragu, Dirga mendekat, dia memegang kedua tangan istrinya itu.

"Kalau Aisyah tidak mau jujur, bagaimana rumah tangga kita bisa sakinah, mawadah, warohmah. Jika, masih ada hal yang di sembunyikan?"

Aisyah menunduk semakin dalam, dia semakin bingung, dia takut Dirga akan marah dengan jawabannya.

"Baik, kalau Aisyah belum mau bicara, biar aku yang bilang lebih dulu alasanku ingin menikah lagi, karena istriku seorang Anggota dewan, dia sibuk mengurus rakyat, jadi tidak punya waktu untuk mengurus rumah dan suami, kami pun sampai sekarang belum di karuniai anak, setelah beberapa tahun menikah. Jadi, aku menikah supaya ada yang mengurus dan bisa punya anak."

Aisyah mendengar penjelasan Dirga, hatinya tiba-tiba saja iba, mendengar kisah lelaki yang kini bergelar suaminya.

"Aku mau jujur, tapi Om, jangan marah."

Dirga mengangguk. "Iya, aku nggak bakalan marah."

"Janji?" Aisyah mengangkat tangan dan mengulurkan jari kelingking ke arah Dirga, lelaki itu tersenyum, dia menyambut jari kelingking Aisyah dengan jari kelingkingnya. Kini kedua jari kelingking mereka saling bertautan.

"Janji."

"Sebenarnya, aku menerima Om, jadi suami aku, karena aku ingin kuliah di jurusan Tehnik, aku suka menggambar, aku ingin menjadi Arsitek."

Dirga kembali membulatkan mulut, sedari tadi, jawaban Aisyah benar-benar di luar dari apa yang dia pikirkan.

Melihat reaksi Dirga seperti Aisyah menjadi takut, tangannya kembali gemetar.

"Om, Om, jangan ceraiin aku yah!"