webnovel

Malam Pertama

"Apa?"

Wajah Aisyah terlihat sangat kaget, kali ini dia menahan langkahnya agar tak mengikuti Dirga.

"Ommmm, kita kan sudah punya perjanjian, jangan seenaknya melanggar deh!" Tiba-tiba saja, Aisyah berubah menjadi gadis yang galak. Matanya bahkan melotot memandang ke arah Dirga.

"Kamu yang memulai melanggar perjanjian kita," balas Dirga. Lelaki itu ikut menghentikan langkahnya, dia kin sedang berhadapan dengan Aisyah.

"Perjanjian mana yang aku langgar? Seingat ku nggak ada!"

"Perjanjian nomor 3, menuruti semua kemauan suami dan meninggalkan larangan suami." Dirga menyebutkan isi perjanjiannya.

"Terus, aku melanggarnya di bagian mana?" tanya Aisyah pura-pura tak mengerti.

"Aku ingin malam ini kita tidur di sini, terus kamu mau pergi. Berarti kamu sudah melanggar, makanya kamu harus di hukum."

"Tapi, kan Om tidak memberi tahuku terlebih dahulu, itu tidak adil!" protes Aisyah.

"Diam dan ikut aku sekarang, atau kau cium bibirmu di depan umum, biar kita terkenal!" ancam Dirga, lelaki itu kini maju dua langkah, hingga jarak antara keduanya hanya selebar telapak tangan.

Aisyah spontan memegang mulutnya, dia menoleh ke kiri dan ke kanan, melihat apakah ada orang yang sedang memperhatikan mereka.

Melihat Aisyah bertingkah seperti itu, membuat Dirga semakin gemas, dia lalu memegang tangan Aisyah, gadis itu mengira Dirga ingin menciumnya, sehingga dia mempertahankan tangan di mulutnya. Sehingga terlihat kalau Dirga sedang memaksa Aisyah.

Seberapa kuat pun Aisyah, gadis itu tetap tidak bisa menyaingi kekuatan Dirga. Ketika tangan gadis itu sudah terlepas dari mulutnya, Aisyah menutup mata, dia pasrah jika Dirga ingin menciumnya.

Sedetik, dua detik,tiga detik.

Aisyah mengernyitkan dahi, dia tak merasa kalau ada sesuatu yang menyentuh bibirnya, perlahan dia membuka matanya, wajahnya bersemu merah, dia tersenyum malu memamerkan lesung di kedua pipinya.

Dirga mendengus sebal, melihat kelakuan istri mudanya itu.

"Ya, Allah! Bisa-bisa, aku mati muda kalau tiap hari menghadapi tingkah nya yang seperti ini!" batin Dirga. Dia lalu berbalik, tangannya masih memegang tangan Aisyah.

Mau tak mau, gadis itu juga ikut melangkah, mengikuti Dirga dari belakang. Mereka kembali ke hotel.

"Ya, Allah. Tolong, lindungi hambamu malam ini, aku belum siap, aku memang anak nakal, belum bisa membahagiakan orang tua, aku menerima pernikahan bukan dengan ikhlas. Tapi, karena ada kemauannya, tolong ya Allah. Aku mengaku bersalah, tolong hamba-Mu yang lemah ini." Di dalam hati, tak berhentinya Aisyah melapalkan doa, agar dia terhindar dari hal yang di takutinya.

Selama perjalanan dari lobby sampai kamar hotel, Dirga tak berhenti memegang tangan istrinya, dia tak ingin Aisyah tiba-tiba berusaha kabur lagi.

Sampai di dalam kamar, Dirga melepas tangan Aisyah, setelah dia mengunci pintu kamar.

Aisyah berdiri dengan pandangan menunduk, dia tak berani menatap Dirga, tangannya memilin-milin ujung jilbabnya yang menjuntai.

"Mandilah, bersihkan badanmu, ada baju di dalam lemari," titah Dirga.

Aisyah melangkah dengan takut-takut, dia mendekati lemari dan berencana mengambil baju yang di maksud oleh Dirga.

"Kamar mandi nya di sana, bukan disitu."

"A— ku, aku in—gin ambil ba—baju ganti." Aisyah membalas dengan terbata-bata.

"Tidak usah, di dalam sudah ada handuk, kamu ganti baju di sini saja, setelah habis mandi."

"Tapi ... ."

"Sudah, lakukan aja, itu perintah!"

Aisyah menghentakkan kakinya, mau tak mau dia memutar badan, menuju kamar mandi. Dirga menatap Aisyah tanpa senyum, setelah gadis itu masuk ke kamar mandi dan pintunya tertutup.

Dirga tersenyum, sedari tadi dia menahan diri untuk tak tersenyum ataupun memeluk istrinya itu, karena ini hari pertama mereka menjadi suami istri, dia ingin memberi pengertian kepada Aisyah, bahwa dia adalah kepala keluarga yang harus di turuti.

Dia tak mau kejadian seperti pernikahannya yang pertama, dimana di awal dia selalu memaklumi apapun yang di lakukan oleh Amel, dia yang selalu mengalah.

Dia mengakui kalau kesalahan terbesarnya adalah tak mendidik Amel dengan benar, jadi dia tak bisa menuntut Amel berubah seperti kemauannya, karena dia sendiri yang menciptakan pernikahan seperti sekarang.

Kini, Dirga tak mau pernikahannya dengan Aisyah berakhir seperti dengan Alem, walaupun dia belum sepenuhnya jatuh cinta pada istri keduanya itu, tapi dia akan berusaha bertahan dan memberikan cintanya, sama seperti dia memberikan seluruh cintanya pada Amel.

Lamunan Dirga terhenti, ketika dia melihat kaki mungil Aisyah keluar dari kamar mandi, Dirga mengangkat wajahnya, nampak Aisyah berdiri di depan kamar mandi. Tapi, takut untuk melangkah.

Dirga bangkit, mendekati Aisyah, gadis itu mundur ketika Dirga semakin dekat.

"Ganti bajulah, aku mau mandi juga."

Aisyah bernapas lega, dia tadi sudah membayangkan akan berganti baju di depan Dirga.

Tubuh Aisyah menegang ketika tanpa sengaja bahunya bersentuhan dengan baju Dirga, ketika lelaki itu masuk ke kamar mandi dan dia keluar, ada semacam aliran listrik yang kembali menjalari tubuhnya.

Dia segera berjalan ke lemari, membuka pintunya, wajahnya bersemu merah ketika melihat isi lemari yang hanya satu lembar daun tidur berwarna merah menyala dan transparan. Dia mengangkat dan membuka baju tersebut.

"Mati aku!" celetuknya, selama ini dia tidak pernah memakai baju seperti ini, baju seksi yang dia punya hanyalah kaos oblong dengan celana jeans di bawah lutut. Kedua orangtuanya tak pernah membiarkan lemarinya terisi baju yang aneh-aneh modelnya.

Aisyah ingin memakai pakaiannya kembali, tapi besok pagi dia akan memakainya pulang, tidak mungkin dia memakai baju itu untuk tidur. Setelah lama menimbang, dia akhirnya memakai gaun tidur tersebut, setelahnya dia mematut diri di cermin.

Wajahnya tersenyum, dia suka baju tersebut, bahannya yang ringan dan dingin, membuatnya nyaman.

Terdengar bunyi pintu di buka, Aisyah kelabakan, dia tak siap di lihat dengan pakaian seperti itu, matanya menangkap sepasang mukena di atas meja.

Gadis itu berlari mengambil mukenah tersebut dan terburu-buru memakainya.

Dirga keluar dan melihat tingkah Aisyah, dia menggeleng, dirinya keluar dengan memakai kaos dalaman berwarna putih, dengan celana pendek selutut. Dia memang kalau kemana-mana selalu berpakaian seperti itu, agar tidak repot mencari baju jika harus menginap.

"Kamu ngapain? Mau shalat dulu sebelum tidur?" tanya Dirga, yang berhasil membuat Aisyah berbalik ke arahnya.

Aisyah mengangguk. "Iya, mau shalat taubat dulu sebelum tidur."

"Oh, iya kamu shalat duluan aja, aku wudhu dulu, setelah itu kita shalat bareng yah."

Dirga masuk kedalam kamar, wajah Aisyah semakin pucat. Dia mengingat pesan Ummi nya tadi sebelum berpisah, bahwa sebelum tidur dan melakukan malam pertama, dia dan Dirga akan shalat dulu.

"Jadi — aku, perawan aku ... ." Aisyah menggelengkan kepalanya, dia tak berani membayangkan lebih jauh, dia memilih segera melakukan shalat.

Kebiasaan Aisyah sedari kecil yang di ajarkan oleh kedua orangtuanya adalah setiap habis mandi dia harus wudhu, lalu berusaha menjaga wudhu, jika batal dan memungkinkan untuk wudhu maka Aisyah akan memperbarui wudhunya. Selain itu dia juga di ajarkan untuk shalat taubat sebelum tidur, karena tidak ada yang tau umur seseorang, bisa jadi mereka meninggal dalam keadaan tidur.

Aisyah mulai shalat, dia mencoba khusyu, hampir setengah jam gadis itu shalat, Dirga menunggu dengan sabar, dia bahkan terlihat asyik memandangi istrinya berlama-lama bercengkrama dengan sang pencipta. Wajahnya tersenyum, hal ini yang selalu dia harapkan ketika berada di rumah, melihat Amel shalat tepat waktu dan berlama-lama dalam sujudnya.

Tiba-tiba saja, wajahnya merasa sedikih, dia merasa bersalah telah membandingkan antara istri pertama dan keduanya, dia harus mengerti kalau Amel tidak seperti Aisyah, mereka berbeda, keduanya di besarkan dengan didikan yang berbeda.

Dia segera mengangkat tangan, berdoa dan memohon ampun karena telah bersalah membandingkan keduanya, dia juga bersyukur karena telah di beri istri kedua yang taat beribadah.

Setelah Aisyah selesai shalat, dia maju lalu meminta Aisyah untuk shalat Sunnah bersamanya. Aisyah mengangguk, keduanya kembali larut dalam shalat yang khusyuk.

Setelah shalat dan berdoa, Dirga berbalik, Aisyah dengan ragu menyahut tangan Dirga yang terulur, gadis itu mencium tangan suaminya.

Setelah Aisyah melepaskan tangan Dirga, lelaki itu menarik Aisyah dan mencium lembut kening gadis itu.

Keduanya bangkit setelah selesai shalat, Dirga kembali membuka celana panjang dan kemeia yang tadi di pakai shalat. Sedangkan Aisyah tetap memakai mukenah.

"Kamu tidur mau pake mukenah?" tanya Dirga, membuat Aisyah mengangguk.

"Nggak boleh, mukenah itu di pakai shalat, nggak boleh di pakai tidur, ayo buka dan segera tidur."

Melihat Aisyah bergeming, membuat Dirga mendekati Aisyah.

"Mau lepas sendiri, atau aku lepaskan?" tanya Dirga, membuat gadis itu kelabakan.

"Nan—ti aku buka sendiri!" serunya.

Dirga tersenyum lalu melangkah mundur, Aisyah berbalik memunggungi Dirga lalu membuka mukenah nya.

Mata Dirga melotot, melihat punggung Aisyah yang putih mulus, walaupun tertutup gaun tidur.

Dirga berbalik, dia mendekati meja, dia mengganti mode lampu ke yang redup, lalu dia segera naik ke tempat tidur.

Aisyah dengan ragu berbalik, tangannya terlipat menutupi dadanya, dia sangat malu, baru kali ini dia berada di dalam kamar berdua dengan seorang lelaki.

"Ayo, tidur, ini sudah malam."

Aisyah melangkah mendekat ke tempat tidur, tubuhnya gemetar, bahkan dia seperti tak sanggup menopang berat tubuhnya.

Seandainya dia tidak pernah di nasehati dan juga tidak pernah belajar tentang keutamaan menghormati suami, mungkin dia malam ini sudah meninggalkan Dirga sendirian, dia tak harus berduaan di dalam kamar hotel semewah ini.

Sebenarnya dari tadi, di dalam hatinya timbul rasa penyesalan, dia menyesal menerima pinangan lelaki di depannya, jika tau situsnya akan secanggung sekarang.

Dia akhirnya sampai di tempat tidur, perlahan dia naik dan duduk di ujung tempat tidur, Dirga mendekatinya. Lalu memegang kedua bahu Aisyah.

"Om, ap—a—kah kita akan ma—lam per—tama, ma—lam ini?"