webnovel

04 | Es Cokelat Cincau

Awali hari dengan berkeringat. Hari ini jadwalnya olahraga sekaligus menjalani hukuman dari IS. Mengenakan setelan olahraga lengkap perpaduan warna orange dan hitam. Jilbabnya hitam.  Memilih sepatu kets putih sebagai pelengkap. Lina sudah berbaris rapi di lapangan sekolah.

Di hadapannya ada 2 IS bagian Bahasa dan Tarbiyah. Bagian Tarbiyah ini yang mengurus masalah agama semisal telat atau tidak pergi ke masjid, pura-pura haid, tidak baca Al-Quran ketika menjelang Maghrib, dan semacamnya. Tapi Lina tidak berurusan dengan Tarbiyah sekarang. Belum saatnya. Dia mengurus santriwati lain yang berdiri di sampingnya.

"Baik. Saya tidak mau basa-basi. Kalian langsung lari untuk Lina 7 putaran, Widya, Sofi, Indah 5 putaran, sisanya 3 putaran karena telat ke sekolah. Kalau udah selesai langsung baris di lapangan ini lagi sambil nungguin temen kalian yang masih lari. Jangan lupa tulis nama kalian di buku catatan ini. Fahimtum?"

"Fahimna."

Fahim artinya paham. Ditambah tum atau antum ditujukan untuk mereka. Lina dan yang lain menjawab fahimna. Ditambah na karena mereka jumlahnya lebih dari 2. Artinya kita paham.

"Satu. Dua. Tiga."

PRIIT!

Berlari. Lina berusaha menjadi yang pertama menyelesaikan putaran ini karena ia yang memiliki putaran paling banyak dibanding yang lain. Namun, kondisinya tidak mendukung. Tubuhnya mudah lelah dan ginjalnya terasa sakit ketika lama berlari. Langkahnya memelan seiring berjalannya waktu. Terus berusaha berlari menyamai langkah teman-temannya yang sebentar lagi selesai.

Tidak mudah menjadi Lina. Dikaruniai kondisi tubuh yang mudah lelah membuat aktivitasnya terganggu. Ia suka olahraga, tapi mudah sekali kecapekan. Paling lama berolahraga sekitar satu jam. Belum pernah mencoba lebih dari itu.

"Huh! Huh! Huh!"

Peluh memenuhi wajahnya. Tersenggal sesampainya di tengah lapangan ketika semua santriwati yang dihukum menatap ke arahnya. Menjatuhkan diri di ubin lapangan. Paru-parunya terasa dihimpit. Kedua kakinya langsung kebas dan pegal. Napasnya naik turun tak beraturan. Lina berusaha meraup oksigen sebanyak-banyaknya agar ruang dadanya melebar.

"20 menit, ck! Lama banget larimu. Kasihan temen-temenmu telat masuk ke kelas. Ck!"

Kenapa malah dia yang marah? Padahal santri lain gak ada yang sewot.

Males meladeni ucapan ukhti Zahroh, barisan dibubarkan. Lina stay di sana karena melihat teman kelasnya berhambur keluar menuju lapangan. Bertepatan dengan itu, guru olahraga menampakkan diri membawa sekarung bola voli di tangannya dibantu 2 santriwan di sisi kirinya.

Bergegas bangkit susah payah. Langkahnya sempoyongan mendekati kerumunan.

Berdiri di samping Nabila dengan napas tersenggal. Tangannya memegang bahu gadis itu.

"Voli apa?"

Menoleh. Sedikit kaget melihat wajah Lina sudah berpeluh sepagi ini.

"Gak tau. Keknya sih penilaian voli, tapi nanti bebas mau main apa." Mengangguk paham. Lina kembali duduk di rerumputan, samping Alvina yang sedang mengulum permen.

Menoleh ke samping. Permen di mulutnya dikeluarkan.

"Mampus. Capek 'kan lari kayak aku?" Mengangguk lemah. Sungguh, Lina sudah tidak bertenaga sekarang.

"Bawa air putih gak?" Spontan, Alvina menunjuk ke arah kelas.

"Aku tinggal di kelas. Sana ambil kalau mau."

Menghela napas kasar. "Capek banget sumpah. Gak kuat jalan aku."

"Mintol ke temen yang mau ke kelas aja. Botol Tupperware warna ungu yang gede." Mengangguk. Lina mulai mencari target yang hendak kembali ke kelas.

"Pak! Ijin ambil air minum di kelas." Bersorak girang. Lina buru-buru bangkit menghampiri 2 orang gadis yang hendak berlari.

"Aku titip dong!"

Menoleh bersamaan ke sumber suara. Salah satu di antara mereka mendekat ke arah Lina. "Titip apa?"

Wajahnya berseri. "Ambilin Tupperware juga yang warna ungu di mejanya Alvina." Menoleh ke belakang. "Vin! Mejamu yang mana?"

"Deket pintu belakang."

"Nah iya. Deket pintu belakang mejanya." Mengangguk paham. Keduanya segera pergi ke kelas.

Kembali ke Alvina. Duduk di sampingnya seraya meluruskan kedua kakinya yang masih pegal. Pernapasannya sudah kembali normal.

"Kamu gak capek apa hampir tiap hari telat?" tanya Lina penasaran. Alvina menjeda jawabannya sebentar.

"Yaa capek. Tapi mau gimana lagi? Aku selalu ditakdirkan telat ke sekolah." Terkekeh. Tatapan keduanya fokus ke arah depan di mana para santriwan tengah membantu pelatih mengambil peralatan olahraga di rumah beliau.

"Mungkin kamu harus mengubah kebiasaan tidurmu. Bukannya kamu selalu tidur di atas jam 12?"

Menggeleng. "Gak bisa, Lin. Susah. Andai semudah itu aku tidur di bawah jam 12. Tau sendiri kita cuma punya waktu malam buat healing."

Mengangguk pelan. "Bener, sih. Bisa juga healingmu diganti tidur daripada ngerumpi."

"Sehari gak ghibah mulutku gatel." Keduanya tertawa sebentar. "Belum lagi masih ada piket kamar, PR, arghh. Setahun di pondok bikin BB-ku turun drastis."

"Padahal harusnya makmur, lho."

"Dengan jadwal sepadat ini?" Lina mengangguk sementara Alvina berdecih tak percaya.

"Aku dulu pernah mondok juga selama 3 tahun waktu SMP," sambung Lina. "Dulu juga jadwalku sepadat ini apalagi kalau udah kelas 3. Pondok berasa tempat tidur. Dari pagi ampe siang gak pernah ada di kamar. Selalu nyari tempat buat belajar, belajar, dan belajar menghadapi ujian."

"Stress? Iya. Capek juga iya. Kewajiban kayak nyuci piring, makan, nyuci baju, semua terbengkalai. Yang penting belajar. Yaa mau gimana lagi? Ujian terakhir emang berat, tapi harus kulalui. Namun, usaha tidak mengkhianati hasil. Aku dapat hasil yang nyata ketika penerimaan rapot."

Alvina sibuk menyimak obrolan mereka. Hingga pelatih memanggil mereka untuk melakukan pemanasan. Lina masih penasaran dengan jawaban Alvina setelah mengobrol panjang kali lebar.

Tapi, apa gadis itu punya jawaban seperti yang Lina harapkan?

🐰

Selesai olahraga waktunya istirahat. Puas bermain bulu tangkis bersama Nabila tadi. Berniat membeli es cup di warung belakang pondok untuk melepas dahaga. Lina pergi bersama Nabila sebab Alvina sudah ke sana duluan.

Keluar dari kelas, mereka harus melewati jalan setapak yang terhubung dengan rumah ustadz Abi. Lina merasa aliran darahnya berdesir ketika menatap rumah ustadz Abi. Matanya tidak bisa bohong. Teramat senang walau hanya menatap rumah sang pujaan hati saja.

Nabila terus berceloteh ria namun tidak didengarkan oleh Lina. Sibuk mencuri-curi pandang ke arah rumah ustadz Abi. Berharap sang empu keluar dari rumah. Eh, tapi 'kan ustadz Abi lagi kerja. Pasti tidak ada di rumah.

Berbelok. Keduanya sampai di salah satu rumah ustadzah yang menjual es cup. Melepas alas kaki di teras rumah. Mereka masuk ke dalam sebab pintunya terbuka.

"Assalamualaikum, Ustadzah."

"Wa'alaaikumussalam."

"Kamu mau beli es apa, Bil?"

Nabila menatap rentengan minuman perasa di depannya. Lina turut memilah. Bingung hendak mencoba rasa yang mana.

"Lin bawa duit lebih gak?"

Itu suara Alvina. Rupanya gadis itu masih berada di sini. Menoleh. Lina memberinya anggukan kecil seraya menepuk pahanya yang tidak dilihat Alvina.

Mendekat. Tangannya terulur ke arah Lina. "Pinjem dong. 5 ribu ada engga?"

"Dibayar kapan?" Alvina merotasikan bola matanya kesal sembari berdecak.

"Nanti langsung kubayar elahh. Kamu ke kamarku aja." Mengangguk. Lina memberikan selembar uang 5 ribu ke arah Alvina yang langsung diterima cepat.

"Tengkyu, Lin."

"Yoi."

"Eh, Bil! Mau marut es? Sekalian, sih."

"Ambil sono es-mu. Bentar lagi habis. Ntar disuruh gepokin es nangis."

"Ck! Gak bilang mau ambil es kamu."

"Lah orang kamu ditawarin gak jawab. Ngobrol terus ya udah aku ambil sendiri."

Berjalan mendekati kulkas. Di sana ada baskom berisi es batu. Agak berebut dengan santriwati lain. Lina buru-buru mengisi cupnya dengan es batu sebelum kebagian menggepok es batu.

"Aku habisnya kamu ya, Bil." Nabila mengangguk dengan tangan sibuk menekan alat parut es. Lina berinisiatif membantu mengumpulkan serutan es dan memasukkannya ke cup Nabila. Biar engga numpuk es serutnya.

"Mau sendiri apa sekalian?" tawarnya.

Lina menjawab antusias, "Sekalian, Bil. Nanti aku yang bikinin es-mu." Mengangguk setuju. Berganti memarut es batu Lina.

"Kamu mau rasa apa?"

"Nanya lagi. Rasa cokelat. Airnya seperempat aja. Awas kalau kelebihan!" Mengangguk paham. Lina mengambil 2 sashet rasa cokelat kemudian menuangkan satu pada cup Nabila.

Mengisi seperempat cup dengan air putih. Lina mengangkat cup itu agar Nabila melihatnya. "Segini?"

Melihat ke arah cup sebentar. Nabila mengangguk. "Udah itu. Tinggal ditambahin cincau."

"Oke. Aku bungkus sekalian ya?"

"Hm."

Selesai dengan es milik Nabila, giliran es-nya diisi satu sashet rasa cokelat, cincau, dan air seperempat juga biar rasanya manis.

Membayar minuman mereka. Keduanya keluar lebih awal dibanding santriwati lain. Di luar sudah ada beberapa santriwan adik kelas mereka yang hendak membeli es juga namun harus antre dengan santriwati. Biasanya mereka meminta bantuan teman yang ada di dalam. Entahlah. Lina tidak pernah disuruh membuatkan es untuk santriwan.

Melewati rute tadi. Tidak ada obrolan di antara keduanya. Hanya berjalan lurus mengikuti arah jalan setapak sembari mengaduk es masing-masing. Lina masih mencuri-curi pandang ke arah rumah ustadz Abi.

"Lina!"

Spontan, Lina terkesiap. Langkahnya berhenti. Mematung ketika manik matanya bersirobok dengan kelereng mata milik pujaan hatinya di seberang.

Omaigott. Ini beneran Ustadz Abi manggil namaku?

Arghhh!! Mamaaa. Help anakmu iniiii!

🐰