webnovel

Satu Dasawarsa

Di usianya yang sudah menginjak umur 30 tahun, Savira tidak kunjung menikah. Dia trauma dengan lelaki yang pernah ia kencani lantaran diselingkuhi berulang kali. Penyesalannya pun menyelimuti diri Savira ketika dulu pernah menolak lamaran Riko. Dan ketika dia datang untuk mengemis cinta lelaki itu, ternyata dirinya sudah terluka untuk menerima Savira kembali. Orang tua Savira semakin menekannya untuk segera menikah. Lantaran gunjingan keluarga besar yang mengatakan bahwa Savira tidak normal. Kemudian pertemuannya dengan Raga, lelaki yang sepuluh tahun lebih muda darinya membuat pikiran dan hati Savira terbuka. Raga datang dan mengetuk Savira yang sudah membeku dan penuh luka. Namun cinta mereka harus terhalang restu orang tua lantaran perbedaan usia. Bagaimanakah Savira menghadapinya? Apakah cinta mereka bisa bersatu karena perbedaan usia yang terpaut satu dasawarsa?

Sr_Intan · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
371 Chs

Pengakuan yang Tiba-tiba

Waktu itu … Savira inginnya pergi, melangkahkan kakinya menjauh dari mereka berdua. Dan betapa malunya dia ketika merasa jika Rafael menyukainya, padahal pada kenyataannya tidak.

Rafael tidak menyukainya bahkan menyukainya. Rafael menyukai gadis lain yang tidak lain adalah sahabatnya sendiri, Dera.

Ketika Savira baru saja sampai di bioskop, langkahnya membeku ketika melihat bayangan Rafael dan Dera sedang berdiri berhadapan. Kedua tangan Rafael menangkup kedua sisi wajah Dera kemudian menjawilnya dengan gemas.

Panggilan sayang juga terdengar di telinga Savira dan membuat hatinya mendadak bergemuruh.

Tepat ketika langkah kakinya ingin mundur selangkah, mata Dera sudah menangkapnya dan memanggil namanya.

Rafael juga terkejut kemudian melepaskan tangannya.

"Udah sampai?!" seru Dera dengan semangat, disusul oleh Rafael.

Mereka berdua kemudian menghampiri Savira.

Dan ternyata pada saat itu, Dera dan Rafael ingin mengumumkan masalah hubungannya selama ini. Rafael dan Dera adalah teman masa kecil dan kini mereka bertemu lagi dengan status yang berbeda.

"Aku pacaran sama dia, Vir," ungkap Dera.

"Wah! Selamat!" Savira tergagap, dia tak bisa menyembunyikan rasa sakitnya pada saat itu.

"Kalian cocok," pujinya meskipun itu bukan berasal dari hatinya.

"Makasih ya Vir." Dera kemudian memeluk Savira. "Gak ada yang tahu selain kamu, jadi rahasiain aja ya."

Savira mengangguk.

"Aku kayaknya gak bisa nonton deh," ucap Savira tiba-tiba.

"Kenapa emang?" Kali ini Rafael yang bertanya.

"Aku harus—nemenin ibuku ke dokter," bohongnya. Padahal ibunya saat itu baik-baik saja. "Barusan dapat telepon." Savira nyengir masih berusaha menutupi rasa sesalnya.

Malam itu akhirnya Savira tidak jadi nonton, dia pergi dengan hati hampa. Savira seharusnya tahu kalau ada bintang lain di hati Rafael yang tak lain sahabatnya sendiri.

Dan saat ini, Savira menghela napasnya. Dia mendesah panjang sampai membuat Raga bingung.

"Jadi masalahnya itu? Tapi Rafael gak tau kan kalau kamu suka sama dia?" tanya Raga.

Savira menoleh ke arah lelaki itu.

"Menurut kamu gimana? Kamu kan cowok. Dia kira-kira tau gak kalau dulu aku suka sama dia."

Raga diam sesaat kemudian menjawab dengan yakin.

"Bisa jadi dia tau, tapi pura-pura gak tau karena takut kamu malu." Raga terkekeh membuat Savira seperti dipermainkan.

Ia menoleh ke arah Raga kemudian meninju lengannya dengan sekuat tenaga. Sementara lelaki itu hanya meringis.

"Kamu masih suka sama dia?" tanya Raga.

"Enggak," jawab Savira pelan.

"Kalau udah gak suka kenapa harus malu."

"Iya sih, cuma takut aja kalau dia masih inget kejadian itu."

"Percaya diri aja, lagian gak bisa selamanya kamu begini."

Savira mengangguk. Untuk sesaat dia merasa kagum karena melihat Raga yang dewasa. Bahkan lebih dewasa darinya.

"Tadi Dina ngapain ke sini?" tanya Savira.

Ia merasa tak enak karena membuat Dina pergi padahal dia masih asik dengan Raga.

"Ngajak makan bareng sama temen-temennya."

"Masalah mantannya, gimana?"

Raga menaikkan kedua pundaknya, ia juga tidak tahu dan tak mau tahu.

Saat ini malah ada hal yang lebih menganggunya sekadar dari hal itu. Sebenarnya ia juga bingung apakah perasaannya sendiri dan tak ingin menyimpulkannya secepat ini.

Ia melirik Savira dengan ekor matanya lalu menghela napasnya.

Beberapa menit setelah keheningan meliputi mereka berdua Savira berdiri dan hendak meninggalkan Raga.

Tetapi tangannya di raih oleh Raga dan membuatnya melirik kea raga dengan penasaran.

"Kenapa?"

"Mau ke mana?"

"Turun, mau tidur."

"Kamu gak mau tanggung jawab?"

Savira menaikkan satu alisnya.

"Tanggung jawab, aku gak bisa tidur gara-gara nungguin kamu."

Savira terkekeh kemudian tergelak. Baru tahu kalau Raga ternyata pamrih juga. Ia lantas berhenti di depan Raga kemudian mengusak lelaki dengan asal-asalan dan lelaki itu diam tak menolak seperti yang sudah-sudah.

"Kamu mau aku temenin sampe pagi?" tanya Savira.

"Kalau kamu bisa," sahutnya.

Savira terkekeh.

"Sejak kapan kamu ngebiarin tanganku mainin rambutmu?"

Raga menengadah menatap wajah Savira lekat-lekat. Sementara yang dipandang menjadi tak enak.

"Sejak aku mulai nyaman denganmu," jawab Raga tanpa ada keraguan sedikit pun.

Sudah lama Savira tidak mendengar kalimat seperti gombalan seperti itu. Dan rasanya sangat aneh, seperti ada yang berdesir dalam jantungnya.

Ia sangat yakin jika jantungnya baik-baik saja. Tetapi kenapa menjadi tak normal seperti ini bahkan dengan lelaki yang usianya 10 tahun di bawahnya.

"Jangan aneh-aneh," gumam Savira.

"Apanya yang aneh?"

"Kalimatmu tadi."

"Kamu gak nyaman aku bilang begitu?"

Savira diam.

Bisa jadi dia tidak nyaman, apalagi dia mendapatkan kalimat itu dari lelaki yang jauh berada di bawahnya dalam hal usia. Meski sikap Raga bisa diandalkan seperti biasanya.

"Aku mau tidur," kata Savira. Ia mulai tidak enak dengan atmosfer yang tiba-tiba menyelimuti mereka berdua.

Menjadi rasa canggung dan aneh.

Di dalam kamarnya, Savira memikirkan kalimat Raga tadi.

"Kalau nyaman … bukannya artinya itu pasti ada rasa suka?" gumam Savira.

Sialnya malam itu, dia tak bisa tidur gara-gara ucapan lelaki muda.

**

Savira seakan menghindari Raga sejak kalimat Raga tadi malam. Terbukti paginya dia tidak terlihat di dalam rumah, padahal biasanya dia berangkat kerja agak siang dan diantarkan oleh Raga.

"Savira ke mana?" tanya Raga pada Dina yang sudah duduk di meja makan.

"Udah berangkat," jawabnya singkat.

Dina juga berubah, dia menjadi ketus sejak disuruh turun oleh Raga tadi malam.

Mata Dina mengikuti ke mana bayangan Raga pergi, awalnya lelaki itu pergi ke depan. Kemudian kembali lagi ke dalam rumah. Lalu akhirnya dia duduk di meja makan.

"Kamu suka sama mbak Savira?" tanya Dina.

Raga diam dan menyuapkan telor mata sapi dan mie goreng ke dalam mulutnya.

"Kalau suka kamu salah Ga," lanjut Dina.

"Gak ada yang salah sama perasaan."

"Tapi mbak Savira umurnya lebih tua dari kamu."

"Bagus kan malahan?"

"Apanya yang bagus?"

"Ya dia lebih dewasa dan bimbing aku."

"Memangnya dia guru suruh bimbing orang, memangnya kamu gak mikir soal restu dari orang tua kalian?"

Mata Raga kemudian menatap wajah Dina sedikit kesal. Sejak kapan sih, Dina menjadi sebawel ini? padahal ia pikir dulu Dina adalah gadis yang pendiam makanya Raga mau dekat dengannya.

"Kamu kenapa? Masalah aku suka sama siapa kan bukan urusan kamu." Kalimat yang cukup pedas itu keluar juga dari mulut Raga.

Dina sempat membeku sebelum akhirnya meletakkan sendok ke atas piringnya dengan kasar.

"Karena aku suka sama kamu! Puas!"

Raga terkejut mendengar pengakuan tiba-tiba dari Dina. Ia memandagi ke mana Dina pergi sebelum akhirnya mengusap wajahnya dengan frustrasi.

"Kenapa jadi gini sih?" gumamnya.

Padahal dia sama sekali tak ingin terlibat dengan gadis seumuran Dina lagi karena tak ingin kejadian seperti Mita terjadi lagi.