webnovel

Satu Dasawarsa

Di usianya yang sudah menginjak umur 30 tahun, Savira tidak kunjung menikah. Dia trauma dengan lelaki yang pernah ia kencani lantaran diselingkuhi berulang kali. Penyesalannya pun menyelimuti diri Savira ketika dulu pernah menolak lamaran Riko. Dan ketika dia datang untuk mengemis cinta lelaki itu, ternyata dirinya sudah terluka untuk menerima Savira kembali. Orang tua Savira semakin menekannya untuk segera menikah. Lantaran gunjingan keluarga besar yang mengatakan bahwa Savira tidak normal. Kemudian pertemuannya dengan Raga, lelaki yang sepuluh tahun lebih muda darinya membuat pikiran dan hati Savira terbuka. Raga datang dan mengetuk Savira yang sudah membeku dan penuh luka. Namun cinta mereka harus terhalang restu orang tua lantaran perbedaan usia. Bagaimanakah Savira menghadapinya? Apakah cinta mereka bisa bersatu karena perbedaan usia yang terpaut satu dasawarsa?

Sr_Intan · Urban
Not enough ratings
371 Chs

Dokter Cinta

Malamnya, ketika Savira menghadiri acara makan malam dengan karyawan satu departemennya. Dia melihat Rafael memasuki restoran tak lama setelah mereka duduk.

Ratna dan Savira saling berpandangan karena mereka sudah bertemu tadi sore. Hanya saja mereka penasaran dengan apa yang akan dilakukan Rafael di sana.

Masih dengan rasa penasarannya, manajer lama Savira berdiri kemudian melambaikan tangannya pada Rafael.

Lelaki itu dengan senyum yang menampakkan deretan gigi putihnya yang rapi menghampiri meja di mana Savira dan teman-temannya berada.

"Jangan-jangan," desis Savira.

"Kamu kenal sama dia kan?" tanya Ratna juga dengan mode berbisik.

"Iya kenal, tapi kok—"

Suara Savia terputus ketika manajer mereka mengenalkan Rafael di depan bawahannya.

Semuanya fokus pada bayangan Rafael yang kini tengah berdiri, pandangannya mengitari lalu berhenti pada Savira.

Savira menelan ludahnya sendiri. Dia sendiri menjadi patung ketika Rafael menatapnya seperti itu. Masa lalunya—bukan, maksudnya teman masa lalunya kini berada tak jauh di depannya dengan pakaian rapi.

"Perkenalkan, namanya adalah Pak Rafael, dan beliau yang akan menggantikan saya mulai lusa," ucap manajer lama Savira.

Kedua lulut Savira melemas, rasanya ia ingin terjatuh tapi tangannya berpegangan pada gagang kursi di belakangnya.

"Gila," desis Savira.

Kembali ketika masa SMA Savira.

Savira dengan poninya yang menutupi jidatnya yang sedikit jenong mulai memasuki gerbang sekolah pagi itu. Masih ada setengah jam untuk ia berjalan berleha-leha sampai ke kelasnya. Sebelum akhirnya ada seorang lelaki yang menubruknya dengan serampangan.

Bukannya meminta maaf lelaki itu hanya meringis kemudian mengangguk pada Savira.

"Sok ganteng," desis Savira sambil memungut tasnya yang terjatuh ke atas aspal.

"Emang ganteng kok," sahut Dera yang ada di belakang Savira. "Namanya Rafael—pasti baru tau," ledek Savira teman satu bangku Savira.

"Anak baru ya?"

"Bukan, udah pindah satu bulan yang lalu. Makanya kalau istirahat jalan-jalan dong jangan di kelas doang," ledek Dera lagi. Dia menggamit lengan Savira kemudian berjalan bersama sampai ke kelas.

Tak ada yang mencurigakan sampai saat itu. Namun Savira mulai menaruh curiga ketika Rafael sering datang ke kelasnya. Padahal kelas mereka lumayan jauh.

Kalau Rafael berada di kelas XII-A maka Savira berada di kelas XII-G cukup jauh, bukan?

Sampai pada akhirnya Savira mulai berpikir kalau Rafael menyukainya. Ya, bagaimana mungkin Savira tidak berpikir hal seperti itu kalau setiap hari saja Rafael datang ke kelas Savira lalu memakan bekal yang dibuatkan oleh ibunya.

"Enak," puji Dera.

"Iya kan?" sahut Rafael.

"Kamu kenapa jadi sering main ke kelas ini sih," gerutu Savira. Tapi dia diam-diam menyukainya.

Setiap hari Savira menghabiskan waktunya untuk berdandan sebelum berangkat ke sekolah karena ingin tampil oke di depan Rafael.

Poninya yang awalnya biasa saja kini sejak ada Rafael di dalam kehidupannya berubah menjadi poni cetar yang membahana.

Dera sampai geleng-geleng kepala karena dia melihat perubahan Savira seperti itu.

"Ada cowok yang kamu suka? Tumben dandan, pakai lipglosss segala," tanya Dera.

"Gak kok, kan cewek harus tampil cantik," jawab Savira.

Dan Savira mulai merasakan semakin hari, Rafael jadi semakin rajin main ke kelasnya dan mengobrol di bangkunya.

Awalnya Savira mengira kalau Rafael adalah cowok sombong, tetapi bukan. Dia sangat ramah dan asik. Bahkan ia mau menraktir Dera dan dirinya ke kantin.

"Sering-sering ya traktir kita," goda Savira.

Rafael mengacungkan jempolnya tanda mengiyakan.

"Mau nonton gak?" tanya Rafael.

"Bertiga?" tanya Savira.

Rafael mengangguk. "Kalau berdua doang nanti ada yang iri," candanya.

"Gimana, Der?" tanya Savira.

"Ya udah nonton bareng aja, bertiga lebih enak," jawabnya.

**

Savira sedang menunggu Raga malam itu setelah acara makan malam selesai. Dia sama sekali tidak konsen dengan acara tersebut karena ada Rafael di dalam sana.

Ia sungguh tak ingin bertemu dengan Rafael lagi. Ya, Savira ingin melupakan lelaki itu karena ada sesuatu hal yang membuatnya malu jika dipikirkan kembali saat ini.

Mobil sedan berwarna putih metallic melintas di depannya, lalu beberapa saat dia mundurkan lagi hingga tepat berhenti di depan Savira.

"Mau aku antar pulang?" tanya Rafael.

"Gak usah," jawab Savira canggung. "Lagi otw yang jemput."

"Pacar?" Senyum milik Rafael masih sama seperti dulu, manis.

"Iya," jawab Savira. Lebih baik dia menjawab seperti itu pada Rafael.

"Ya udah kalau gitu, sampai jumpa besok ya, Vir."

Savira hanya mengulum senyumnya. Kalau bisa dia tak ingin bertemu dengan Rafael lagi bagaimanapun caranya. Mungkin dia akan mengajukan kerja di lapangan saja alih-alih di kantor dan bertemu dengan Rafael setiap hari.

Sepuluh menit kemudian Raga tiba di restoran tersebut. Melihat wajah Savira yang cemberut membuatnya merasa tidak enak.

"Maaf, tadi ada urusan sebentar," kata Raga. Ia mengulurkan helm pada Savira.

"Iya gak apa-apa," sahut Savira.

Ia naik ke atas motor tanpa mengatakan apa-apa. Dia diam sejak tadi dan membuat Raga menjadi penasaran.

Savira yang bawel kali ini menjadi sangat pendiam.

"Kenapa? Apa ada masalah?" tanya Raga ketika mereka sampai di rumah.

"Gak ada," jawab Savira singkat.

"Terus kenapa diem aja?"

"Lagi pengen."

Raga akhirnya menyerah dan membiarkan Savira masuk ke dalam rumah tanpa pernyataan lagi. Wanita itu sepertinya sedang sensitif.

Namun—ketika Raga hendak naik ke atas kamarnya, Savira keluar lagi.

"Ga," panggilnya.

Raga hanya menoleh.

"Jangan tidur dulu, aku mau ngobrol bisa?"

Raga mengangguk.

"Aku mandi dulu."

Savira masuk ke dalam kamarnya untuk membersihkan dirinya. Bayangan Rafael yang selama ini ingin ia lupakan terpaksa muncul dalam kepalanya lagi.

Potongan-potongan adegan yang sudah ia hapus kini seakan ter—restore setelah pertemuan tadi.

"Kenapa dia begitu? Kenapa dia ngerasa kayak gak ada apa-apa? Apa dia lupa?" tanya Savira pada dirinya sendiri.

Rambutnya yang basah ia sisir asal-asalan karena kesal. Alhasil beberapa rambutnya menyangkut di sisir.

Savira meremat tangannya sendiri, lalu ia longgarkan tangan itu lagi.

Jika dipikir lagi mungkin Rafael tidak sepenuhnya salah, yang salah dirinya yang terlalu berharap pada Rafael waktu itu.

Savira keluar dari kamarnya kemudian naik ke atas atap. Namun ketika ia naik, ia menemukan bayangan Dina sudah duduk di samping Raga.

Benar dugaannya kalau Dina memang menyukai Raga.

Savira hendak memundurkan langkahnya, tapi tanpa sengaja tubuhnya menyenggol sebuah jemuran dan membuatnya terjatuh.

Raga menoleh ke arah suara dan mendapati Savira tengah mengembalikan jemuran tersebut. Ia berdiri kemudian menghampiri Savira.

"Jadi ngobrolnya?" tanya Raga.

"Udah ada Dina, gak enak," jawab Savira.

Raga langsung mengerti kalau pembicaraan Savira mungkin terlalu pribadi sampai tak ingin ada Dina di sana.

"Ya udah gantian, Dina udah selesai kok." Raga menarik lengan Savira dan menyuruh Dina untuk turun dari sana.

"Din, gantian ya," kata Raga tanpa merasa bersalah.

Dina pun pergi tanpa mengatakan apa-apa pada keduanya. Sementara itu Raga melirik aneh pada Savira.

"Kenapa? Kamu lagi ada masalah?"

Savira mengangguk dan Raga pun tersenyum memaklumi.