webnovel

Bersama Arash

"Sasya." Arash membuka suara setelah keheningan cukup lama mendera di antara keduanya.

Kini, kakak beradik itu berdiri berhadapan di parkiran sekolah dengan rasa canggung. Sasya sendiri juga tidak tahu harus bereaksi bagaimana lagi.

"Kenapa, Kak?" tanya Sasya dengan pelan. Mata sembab gadis itu terlihat begitu kentara sekali.

Arash menepuk pelan bahu sang adik, "Ini terakhir kali kamu buat masalah sama anak Papa. Jangan berurusan sama mereka lagi."

Sasya berdehem, lantas menganggukkan kepalanya dengan pelan. Ingin semuanya selesai sampai di sana. Setidaknya sampai di rumah nanti, Sasya tidak akan mendengar tentang hal itu lagi.

"Sya, jangan diem aja." Arash kembali berkata lagi.

Sasya mendongakkan kepalanya pelan, "Aku harus bilang kaya gimana, Bang?" tanyanya lirih.

"Aku harus buat pembelaan diri lagi? Toh kayanya Abang juga nggak percaya sama Sasya tadi. Jadi percuma mau aku jelasin kefrustasian aku selama ini." Sasya berkata begitu.

Arash menghembuskan napasnya lelah, lelaki yang tingginya jauh di atas Sasya itu menarik sang adik ke dalam pelukannya, "Abang cuma nggak mau memperpanjang masalahnya, Dek. Biar berhenti aja sampai di sana, bukannya Abang nggak percaya sama kamu. Dan toh Papa nggak percaya sama kamu kan?" katanya.

Sasya tak tahan lagi, gadis itu kembali menangis keras di dekapan sang kakak. Untung saja parkiran sepi karena semua murid sedang sibuk di kelasnya masing-masing untuk kegiatan belajar mengajar.

"Tapi Abang harusnya belain aku biar aku nggak kaya orang yang lagi dipojokin karena paling salah di sana!" seru Sasya terisak kencang.

Arash mengusap wajahnya kasar, ia menepuk-nepuk punggung sang adik, "Ssst ... udah ya, lupain hal ini. Kita ke cafe tempat Abang kerja ya? Nanti Abang traktir makanan yang paling enak di sana."

Arash mengurai pelukannya, lelaki itu lantas mengusap air mata yang mengalir di pipi Sasya, "Hapus air matanya, adek gue bukan orang yang lemah. Tunjukin ke Papa kalau kita baik-baik aja tanpa dia. Oke?" tanya Arash dengan suara yang tampak bergetar.

Dan dari sana, Sasya tahu Arash sedang mati-matian menahan tangisannya sendiri. Tak mau Arash ikut menangis bersamanya di sini, Sasya segera mengulas senyum lebar.

"Ayo kita ke cafe Abang!" seru Sasya.

Arash memaksakan senyumnya terulas, lantas menganggukkan kepalanya. Lelaki itu memberikan satu helm-nya pada Sasya, dan satunya lagi ia pakai sendiri.

"Naik," pinta Arash tatkala lelaki itu sudah berada lebih dulu di atas motor.

Sasya menganggukkan kepalanya dan segera memakai helm. Hanya saja, tatkala gadis itu hendak naik, suara yang kedua saudara itu kenali membuat Sasya mengurungkan niatnya untuk naik ke motor.

"Sasya, Arash."

Kedua kakak beradik itu menolehkan kepalanya. Dan mendapati sosok Saga, ayah mereka.

Sasya memilih memalingkan muka, lantas memilih untuk hendak naik ke motor saja. Hanya saja, Saga menahan tangannya.

"Gimana kabar kalian?" tanya Saga begitu. Seolah di ruangan tadi tidak terjadi apa-apa di antara mereka.

Arash mencengkranm kuat setang motornya. Ia menatap Saga dengan tatapan datarnya.

"Anggap kita nggak kenal dan bukan keluarga. Jadi nggak perlu untuk bertanya kabar satu sama lain. Apalagi setelah anda bentak bentak adik saya tadi."

Saga menghela napasnya berat, "Sasya salah, Arash. Sebagai seorang ayah saya harus menegurnya."

Sasya mengepalkan tangannya kuat. Ia segera melepas paksa tangan Saga dan segera naik ke atas motor Arash. Gadis itu menepuk pelan punggung sang kakak.

"Ayo, Bang, jalan aja."

Maka Arash menganggukkan kepalanya, dan segera berlalu pergi dari sana. Tanpa kata atau perpisahan apa pun itu. Meninggalkan Saga yang terdiam di tempatnya. Namun, Sasya sama sekali tak peduli. Ia lebih memilih untuk tetap menatap lurus ke depan.

***

Sasya berjalan mengikuti langkah kaki Arash dengan kepala yang menunduk dalam. Ingatan gadis itu masih menetap pada kejadian menyakitkan tadi. Bentakan Saga juga masih terdengar di telinganya. Terngiang-ngiang di otaknya terus menerus. Tidak sama sekali teralih. Dadanya juga masih terasa begitu sangat sesak.

Dug.

Sasya tersentak tatkala dahinya membentur punggung Arash. Maka gadis itu langsung mendongakkan kepala dan mendapati Arash yang menatapnya.

"Fokus, Sya," ujarnya begitu.

Maka Sasya menghela napasnya dengan berat dan melontarkan permintaan maafnya pada sang kakak.

"Duduk," ujar Arash.

Sasya menganggukkan kepalanya, gadis itu segera mendudukkan diri di bangku yang Arash persilahkan. Saat menatap ke depan, ia tersentak kaget tatkala mendapati sosok sosok itu di depannya. Alias teman-teman Arash. Termasuk El juga berada di sana. Makanya Sasya sedikit terkejut.

"Hai, Sya? Apa kabar?" Bumi yang membuka suara lebih dulu entah itu hanya sekedar basa basi.

"Ah, Baik, kok, Kak." Sasya berkata begitu, menjawab basa basi dari Bumi.

Arash sendiri menghela napasnya berat dan mendudukkan diri di samping Sasya. Lelaki itu mengusap wajahnya kasar.

"Gue nitip Sasya di sini bentar ya sama kalian. Gue mau kerja dulu."

Maka setelah teman-temannya menganggukkan kepalanya, Arash segera bangkit dari duduknya. Lelaki itu berjalan ke bagian dapur, meninggalkan sang adik yang tak tahu harus bicara apa. Ia pun sedang tidak dalam keadaan mood untuk berbicara.

"Ada masalah apa, Sya?" tanya Diko setelah merasa ada kecanggungan di sekitarnya.

Sasya berdehem pelan, ia mengulas senyum tipisnya, "Cuma masalah kecil aja, kok, Kak," jawabnya dengan nada yang tampak tak minat begitu.

El yang peka segera menyenggol lengan Diko, memberi kode lelaki itu agar tidak membahas tentang apa pun yang berada di sekolah Sasya.

"Eh ... mau makan apa, Sya?" Bumi kembali buka suara.

Sasya berdehem dan menggelengkan kepalanya pelan. Nafsu makannya tampaknya jadi menurun. Ia benar-benar malas berbicara atau apa pun itu. Dan untungnya teman-teman kakaknya peka sebab setelah itu tidak mengajak bicara lagi. Hanya saling berbicara satu sama lain dengan topik yang Sasya sendiri tak mengerti. Dan setidaknya menurut Sasya itu lebih baik karena dirinya ingin diam sejenak.

"Sya, ikut gue bentar." Namun suara El membuatnya mendongakkan kepalanya.

Diko dan Bumi sendiri saling tatap dengan tatapan kebingungannya.

"Mau ngapain lo, El?" Diko menatap sosok El dengan wajah yang tampak begitu penasaran.

El menatap Diko tajam, meminta lelaki itu untuk diam sebentar. Dan saat Sasya bangkit dari duduknya, El segera menarik Sasya keluar dari sana. Dari cafe tanpa menghiraukan teriakan teman-temannya.

"Kenapa, El?" tanya Sasya menatap El dengan penasaran.

El menggelengkan kepalanya dengan pelan. Lelaki itu hendak menyentuh pipi Sasya namun ia urungkan. Lantas menarik tangannya kembali.

"Ada yang bisa gue bantu?" tanya El menatap adik temannya yang bermata sembab itu.

Sasya menatap El bingung, lantas menggelengkan kepalanya dengan lemah, "Gue nggak apa-apa, El. Oh iya, gue boleh izin nggak untuh hari ini?"