webnovel

Lara

"Kena kan, Sya." Naka menggumam pelan pada gadis di sampingnya. Sasya.

Gadis itu tampak menghela napasnya dengan penuh berat, "Ya gue pikir cuma masuk ruang bk aja, Naka, nggak sampe manggil walinya juga. Orang gue ributnya cuma narik rambut kok." Sasya mengeluarkan pembelaannya seperti biasa.

Sastra yang berdiri di depan keduanya geleng-geleng kepala, "Lo hubungin siapa? Bang Arash atau Bunda?" tanyanya pada sang sahabat.

Sasya melengkungkan bibirnya ke bawah, "Bang Arash, gue nggak mau nyusahin Bunda."

Sastra menghela napasnya berat, "Ya udah sana masuk, udah ditungguin guru bk."

Sasya menarik napas panjang, kemudian mengangguk dan berdiri dari tempatnya duduk. Gadis itu melangkah masuk ke ruang bk dengan langkah gontai. Meskipun begitu, ia sudah menyiapkan hati kalau-kalau dengar ceramah guru bk nanti dan juga Bang Arash. Tidak apa-apa, salah Sasya sendiri yang tidak bisa menahan emosi.

"Duduk di sebelah Tere, Sasya." Suara wanita paruh baya terdengar. Tentunya Sasya segera mematuhinya.

Tak lupa gadis itu melayangkan tatapan sinis kepada Tere yang tersenyum tipis ke arahnya. Dasar titisan setan.

"Bisa jelaskan kronologi nya seperti apa? Sembari menunggu wali kalian datang. Sudah berkali-kali kalian bertengkar, kenapa tidak bisa akur sebagai saudara?" sosok wanita paruh baya itu berkata begitu.

Sasya bersidekap dada, "Bu Ana pasti bosan denger kronologi nya. Ya intinya seperti biasanya, Tere yang mancing saya emosi."

Bu Ana geleng-geleng kepala, "Seperti pertanyaan-pertanyaan saya sebelumnya yang nggak pernah kamu jawab dengan jelas, Tere. Kenapa kamu gemar sekali memancing emosi adik kamu?" tanyanya.

Tere terkekeh pelan, "Saya cuma bicarain fakta selama ini, Bu. Nggak ada di hati saya niat buat mancing emosi dia. Dia nya aja yang kepancing emosi dikit langsung main tangan. Saya tuh apa ya, Bu, selama ini perhatian banget sebagai kak-"

Sasya mendelik sebal, gemas sekali rasanya melihat wajah menor itu.

"Lo selama ini gangguin gue padahal gue nggak pernah sama sekali pengen ketemu lo! Gue udah sabar buat enggak bunuh lo ya, Tere! Tapi lo tuh emang minta dibunuh ya?!" Sasya mengangkat tangannya, saking kelasnya, gadis itu mendorong-dorong tubuh Tere dengan brutal.

Bu Ana bangkit melerai, namun Sasya seperti orang kesetanan yang terus saja mendorong-dorong tubuh Tere.

"Sasya!"

Gerakan Sasya terhenti, gadis itu menolehkan kepalanya dan mendapati sosok Saga, ayah mereka. Lelaki itu tampak menatapnya penuh amarah, membuat Sasya sedikit tersentak.

Gadis itu menarik diri, dan kembali duduk dengan tenang di tempatnya.

"Sopan kamu bertingkah kaya gitu ke kakakmu?" tanya Saga dengan nada dinginnya.

Sedikit membuat Sasya bergetar, namun sebisa mungkin gadis itu tak memperlihatkannya, "Dia bukan kakakku, jadi nggak perlu sopan sama orang kaya dia," jawabnya.

Bu Ana yang memahami situasi ayah dan anak itu segera mempersilahkan Saga untuk duduk. Wanita paruh baya itu pun kembali duduk di tempatnya.

"Permisi," ujar seseorang disusul dengan pintu yang terbuka.

Arash. Sasya kembali dibuat bergetar karena Arash menatapnya setajam laser sebelum akhirnya duduk di samping Saga.

"Jadi begini, Sasya dan Tere ini sebenarnya sering sekali bertengkar dan sudah sering masuk ke ruang bk karena itu. Dan karena saya rasa mereka tidak jera juga, dan juga sudah terlalu sering, akhirnya saya memutuskan untuk memanggil kalian."

Saga mengernyit dahi, "Mereka sering bertengkar? kenapa baru beritahu saya sekarang?" tanyanya tegas.

Bu Ana menghela napasnya berat, "Mereka selalu menolak dan memilih hukuman saja."

"Papa, Tere cuma pengen deket sama adik Tere aja, Pa. Nggak ada maksud lain, tapi Sasya selalu nolak dan jambak Ter--"

"Lo gangguin gue, sialan! Lo yang mancing emosi gue! Lo selalu aja bilang ini itu tentang bokap lo itu! Demi apa pun gue nggak peduli mau lo liburan sama bokap lo atau lo mati sekali pun!" Sasya menyela dengan emosi.

"Sasya, jaga bicara kamu!" seru Saga tegas.

Sasya terpaku, gadis itu menatap Saga sebentar sebelum akhirnya memilih untuk memalingkan muka.

"Kaya gitu cara bicara kamu ke kakakmu? Papa nggak pernah nyangka kamu bakal seurakan ini!" ujar Saga begitu.

Sasya mengepalkan tangannya, matanya memerah menahan tangis. Ia menoleh ke arah sang kakak.

"Abang, aku beneran enggak bakal jambak dia kalau dia nggak ganggu Sasya terus, Bang. Dia tadi jelek-jelekin Bunda padahal nyokapnya yang jalang!"

"Sasya, jaga bicara kamu!" Saga berteriak marah.

"Sasya, diem." Nyatanya, Arash malah berbicara seperti itu. Bukannya melakukan pembelaan.

Menyadari situasi yang tidak lagi stabil, Bu Ana segera mengeluarkan suara, "Maaf, tolong jangan terlalu ribut. Begini, saya pikir ini masalah internal keluarga, dan saya nggak berhak untuk menyaksikan. Jadi saya harap kalian bisa menyelesaikannya secara baik-baik di rumah."

Saga menganggukkan kepala, walau matanya tertuju pada anak gadisnya, Sasya.

"Udah kan, Bu? Kalau gitu saya permisi." Sasya segera bangkit, ia lirik Tere dengan air mata buayanya.

Gadis itu terkekeh dengan hambar, "Lanjutin aja nangisnya sampe nangis darah." Ia tendang kursi Tere pelan sebelum akhirnya segera keluar dari sana dengan mata memerah.

Sasya tak peduli, biar saja Arash dan Saga menatapnya sebagai 'anak nakal'. Gadis itu sudah terlalu lelah. Respon Saga dan Arash benar-benar di luar ekspektasi nya.

"Sasya, lo nggak apa-apa kan?" Sastra dan Naka bertanya begitu tatkala Sasya keluar dari ruangan itu.

Sasya menggigit bibir bawahnya, menatap kedua sahabatnya dengan pandangan berkaca. Tidak bisa ditahan lagi, tangisnya tumpah di sana. Tak mau dilihat Arash dan Saga, maka Sasya segera menarik kedua sahabatnya pergi dari sana.

"Sya," panggil Naka sendu.

***

Sasya tersedu di tempatnya, membuat Naka dan Sastra saling tatap. Keduanya duduk mengapit Sasya yang masih menenggelamkan wajahnya. Mereka sendiri kini berada di rooftoop sekolah.

Sastra menghela napasnya berat, lelaki itu menarik tubuh Sasya untuk bersandar di tubuhnya. Ia usap bahu Sasya berulang kali.

"Lanjutin aja nangisnya, baru cerita," ujar Sastra tatkala melihat Sasya yang menatap ke arahnya.

Sasya berdehem, lantas segera menegakkan tubuhnya, ia mengusap air matanya kasar, "Tere lakuin pembelaan, dan kayanya bokapnya lebih percaya sama dia. Ya wajar sih, kan anaknya, ya kan?" tanyanya dengan suara serak.

Naka mengusap punggung Sasya pelan, "Mau gue bilang ke Om Saga yang sebenernya? Mau gue lakuin pembelaan di depan Om Saga, Sya? Ayo, kita susul Om Saga biar nggak salah paham."

Sasya menggelengkan kepalanya dengan pelan, "Nggak perlu, biarin aja dia pandang gue sebagai anak nakal."

Sastra sendiri diam-diam mengepalkan tangannya, tak pernah satu pun ia terima seseorang menyakiti Sasya.

"Sasya."

Suara itu membuat ketiganya menoleh, dan mendapati sosok Arash yang berdiri menatap Sasya dengan tatapan yang sulit diartikan.

Sasya menarik napasnya, ia mengusap air matanya kasar dan segera bangkit dari duduknya, diikuti oleh kedua sahabatnya.

"Kenapa, Bang?" tanya Sasya dengan suara yang serak itu.

Arash berdehem pelan, "Ayo pulang, abang udah izin sama guru kamu."

Sasya mengernyit dahi, namun meskipun begitu gadis itu menganggukkan kepala dan segera mengikuti langkah kaki Arash yang lebih dulu pergi. Ia menoleh ke arah kedua sahabatnya sebentar dengan mengulas senyum tipis.

Next chapter