webnovel

KINCIR KEHIDUPAN

Setelah panen pertama padi darat dari kebun hasil perluasan, mereka bergotong royong membangun kincir air di hilir tepian pemandian. Mereka lebih dahulu membuat sebuah kolam dengan luas kira-kira sehektar.

Tanahnya berupa rawa-rawa. Mereka membuat pematang-pematang mengelilingi rawa-rawa itu sehingga terbentuklah sebuah kolam raksasa.

Di hilir kolam itu, tanahnya lebih rendah. Mereka bikin saluran air dari kolam ke bawah. Karena perbedaan tinggi yang cukup, kira-kira 4 m. Air dapat mendorong dan memutar roda kincir. Melihat besarnya air dan perbedaan tinggi, Kuris memperkirakan, mereka dapat membikin kincir penumbuk padi berantan sepuluh. Sebuah kincir kehidupan.

Kuris mengerahkan sepuluh orang yang ahli menukang untuk mencari kayu-kayu yang diperlukan. 

Bahan kayu untuk membuat kincir air bukan sembarang kayu. Dipilih kayu yang kuat untuk sumbu dan antan. 

Untuk roda kincir yang akan selalu basah kena air juga perlu kayu khusus.

Para lelaki yang lain dikerahkan mengerjakan kolam. Tanah-tanah untuk pematang diambil dari dasar kolam. 

Pekerjaan ini tidak memerlukan keahlian, cukup dengan mencangkul dan mengangkatnya guna pembuatan pematang.

Selain mengawasi, Kuris ikut bekerja seperti yang lain. 

Pematang- pematang untuk kolam dapat mereka selesaikan dalam tempo sepuluh hari. Untuk mendirikan bangunan pabrik kincir air butuh waktu sebulan lebih.

Sepuluh batang antan dibuat dengan ujungnya menggunakan besi khusus. Besi tersebut mereka pesan dan beli di Talang Padang. Di Talang Padang ada yang menyediakan untuk melayani pesanan.

Kuris memilih dan menunjuk dua pemuda ke 

Talangpadang untuk memesan besi itu. Keduanya harus menunggu sampai pesanan selesai dibuat.

Sementara pesanan mereka dibuat, kedua pemuda itu dipersilahkan berkunjung ke kampung mereka di Dusun Lampar. Keduanya diminta menceritakan keadaan mereka di Bukit Balai.

Mereka juga diharapkan dapat pula membawa kabar-kabar dari kampung. Selama ini hubungan mereka dapat dikatakan putus sama sekali. Kabar dari dusun tak ada dan sebaliknya kabar dari dataran Bukit Balai juga tak ada.

Setelah tujuh hari dua pemuda yang diutus ke 

Talangpadang itu telah kembali. Besi untuk antan-antan mereka bawa, dan juga berita-berita dari dusun.

Tak ada hal-hal penting semenjak keberangkaan mereka, selain bahwa ada beberapa berita kelahiran, serta ada pula beberapa surat.

Kuris menerima surat dari adik istri-nya yang menceritakan, bahwa hasil kebun kopi di belakang dusun, terakhir sebanyak tiga pikul yang disimpan secara baik dan masih utuh.

Sekarang kebunnya sedang berbunga lebat dan diharapkan panen yang akan datang memberikan hasil yang lebih banyak lagi. Sapi sudah bertambah menjadi empat ekor, betina tiga ekor dan seekor jantan.

Senang sekali Kuris dan istrinya mendapat berita yang menyenangkan tersebut.

Kedua pemuda yang diutus ke Dusun Lampar, tak lupa menyampaikan pesan Kuris agar apabila sungai Musi banjir nanti supaya menjaring anak- anak ikan semah dari sungai Musi.

Pada musim sungai Musi banjir, banyak anak ikan semah berenang di pinggir sungai. Penduduk Dusun Lampar biasanya menjaring ikan-ikan yang masih kecil-kecil itu. Anak-anak ikan itu mereka pelihara di kolam-kolam.

Setelah beberapa tahun, empat hingga lima tahun kemudian, ikan-ikan dari benih-benih tersebut sudah cukup besar untuk dikonsumsi. Ikan semah adalah jenis ikan sungai Musi yang paling lezat.

Sementara itu, pekerjaan-pekerjaan membuat roda kincir besar, sumbu besar, dan antan baru selesai dalam dua bulan. Kalau kolam dan saluran air, serta bangunan sudah lama siap.

Untuk atap bangunan mereka pakai papan-papan yang dibikin dari kayu. Kayu ini dipotong dengan kira-kira satu hasta, lalu dibelah-belah setebal papan-papan yang ada, akan dijadikan atap yang cukup bagus dan cukup tahan lama.

Membelahnya tidak perlu pakai gergaji, cukup pakai pisau yang tajam. Dengan sekali ayunan membelah, akan terbelah dengan bagus. Kayu yang sudah dibelah tipis itu disusun menjadi atap menyerupai sirip ikan. Mereka menyebutnya atap sirap. Bagi orang yang sudah biasa mengerjakannya, pekerjaan ini gampang sekali.

Setelah semua pekerjaan kelar dan siap digunakan, maka mereka mengadakan acara doa syukuran dan kemudian pintu air di atas dibuka.

Air mengalir dengan derasnya melalui saluran dan menendang kotak-kotak air di roda, yang membuat roda-roda berputar. Mula-mula pelan dan setelah itu berputar dengan kencang. Sumbu yang besar dan beratpun ikut berputar bersama roda.

Semburan air ke sirip-sirip roda kincir, akan juga memutar sumbu yang mengangkat antan-antan secara bergantian dan teratur. Suara antan menimpa lesung pun bertalu-talu dengan irama teratur dan mengasyikkan.

Semua warga yang mendengar terpesona. Mereka semuanya, terutama ibu-ibu berteriak memekik kegirangan.

Akhirnya mereka memiliki pabrik kincir air berantan sepuluh. Kebutuhan mereka dalam menumbuk untuk padi menjadi beras lebih mudah. Para wanita tidak perlu mengeluarkan tenaga menumbuk di lesung biasa. Cara bekerjanya juga mudah, hanya dengan membuka saluran air di atas, maka pabrik pun bekerja. Ibu-ibu dapat mengerjakannya tanpa perlu dibantu laki- laki. Buka pintu air dan kalau telah selesai, tutup kembali.

Kuris juga memutuskan agar penduduk yang menggunakan kincir menyisihkan secupak beras untuk tiap kaleng hasil tumbukan. Secupak beras itu dikumpulkan untuk keperluan warga sesuai hasil kesepakatan.

Di pabrik disediakan kotak untuk tempat penyimpanan hasil sisihan beras. Warga yang menumbuk padi, dapat memasukkan sendiri kewajibannya.

Kunci kotak dipegang oleh Kuris. Bertambah lagi wibawa Kuris.

Beliau telah membuktikan dirinya sebagai pemimpin tanpa cela, sehingga kepatuhan warga sangat tinggi terhadapnya. Perintah Kuris diikuti secara mutlak oleh warga.

Dengan pikiran-pikiran dan gagasan-gagasannya yang begitu maju, membuat semua warga mengaguminya. 

Mereka bersyukur mendapat pimpinan seperti Kuris. Disamping itu, istrinya, Majedah, juga dihormati karena sikapnya yang ramah dan suka menolong. Cocok sekali mereka berdua.

Bibit Ikan

Suatu hari, dua bulan setelah pabrik kincir air selesai dibangun dan mulai beroperasi, warga Cogong Temedak, Bukit Balai, kedatangan lima orang lelaki dari Dusun Lampar.

Seorang diantaranya ialah adik ipar Kuris, yang menjaga rumah, kebun serta sapi-sapi Kuris di dusun. 

Rupanya kelima orang ini membawa bibit- bibit ikan yang dipesan Kuris beberapa waktu lalu.

Membawa anak-anak ikan ke tempat yang jauh memerlukan kecermatan yang tinggi, agar anak ikan tidak mati dalam perjalanan ataupun kalau ada yang mati, tidak terlalu banyak. Untuk membawanya anak ikan dimasukan dalam gerigik-gerigik bambu yang airnya tidak penuh.

Gerigik dibuat dari dua atau tiga ruas batang bambu besar, yang ruas atas dan tengahnya dilubangi dan disisakan ruas paling bawah. Gerigik biasa dipakai untuk mengambi / membawa air. Gerigik dibawa dengan cara disandang pakai tali yang dipakai di kedua sisi mulutnya.

Guncangan-guncangan air selama dalam perjalanan, menimbulkan sirkulasi udara di dalam gerigik. Hal ini sangat baik bagi kebutuhan oksigen anak-anak ikan.

Dalam perjalanan itu, bila mereka menemukan air mengalir, maka anak- anak ikan dituang ke dalam keranjang, lalu direndam dalam air. Anak-anak ikan dibiarkan bebas berenang dalam keranjang. Setelah beberapa saat ikan-ikan akan segar kembali. Perjalanan diteruskan.

Dari lebih kurang seribu ekor anak ikan Semah ini, setelah sampai di Dataran, hanya 25 ekor yang mati. Itu bukti kehati-hatian dari pengantar anak-anak ikan. Dengan disaksikan oleh segenap warga, semua bibit-bibit ikan dimasukan ke kolam.

Kelima pembawa bibit-bibit sangat senang dan penuh keharuan melihat keadaan perkampungan di dataran.

Mereka menyaksikan pondok-pondok yang berdiri rapi, pekarangan yang bersih, sayuran yang memang telah lama tumbuh dan tampak subur. Juga betapa kagumnya mereka melihat tanaman kopi yang tumbuh dengan bagusnya, sedang berbunga yang menyebarkan bau harum yang sangat menyenangkan.

Kalau di dusun, mereka harus berjalan agak jauh ke pinggir sungai Musi untuk mandi dan lain-lain dan kalau air sedang banjir airnya keruh. Tapi di sini tepian mandi yang bersih, air jernih yang memancur dari pancuran dan dekat dengan pondok-pondok. Sungguh sangat menyenangkan.

Sebelum mereka berlima pulang ke dusun, Kuris berpesan pada adiknya, agar kopi yang ada, dijual sebanyak lima puluh kilo, uangnya dibagi rata dengan pembawa-pembawa bibit ikan. Cukup mahal juga, tapi karena senang dapat menerima bibit-bibit ikan Semah, serta ketelitian mereka, Kuris dengan ikhlas memberi mereka upah sebesar itu.

Kuris dan Majedah merasa sangat senang melihat perkembangan pemukiman mereka yang begitu bagus. 

Tanaman kopi sangat subur, sedang berbunga untuk buah pelajaran. Kebun kopi yang baru juga sudah ditanami dan telah ditugali pula dengan padi darat.

Persediaan padi mereka yang cukup, kolam ikan, warga yang rukun dan bekerja keras, serta pabrik kincir air yang telah selesai dan sangat membantu. Bunyi antan pabrik terdengar hingga ke pondok dan kebun apabila ada warga yang sedang menumbuk padi. Bunyi antan-antan ini terdengar laksana musik yang merdu di telinga mereka.

Sungguh suasana yang sangat menyenangkan hati.

Satu tahun sesudah pabrik selesai mereka panen kopi yang pertama, masih buah pelajaran. Memang hasil tiap-tiap kebun belum begitu banyak. Rata-rata menghasilkan 200 hingga 300 kilogram. Kuris sendiri dapat hasil 500 kg. Kebunnya memang lebih luas.

Kopi hasil panen kebun mereka ditumbuk selagi masih basah, lalu dijemur dan setelah kering ditampi hingga bersih, setelah itu disimpan. Tapi ada juga yang kopi bulatnya yang dijemur sehingga kering dan setelah itu disimpan.

Membuka Jalan

Sementara menunggu panen kopi, Kuris mengajak beberapa warga, termasuk Mantap untuk mencari dan merintis jalan baru. Jalan baru ini nantinya untuk mempermudah mereka mengangkut hasil panen menggunakan sapi dan kerbau penarik "pasangan" menujuTalang Padang.

Di Talangpadang mereka akan menjual hasil kopi panen. Jika jalan baru itu sudah jadi, maka tiap "pasangan" akan dapat mengangkut 300 kg kopi.

Jika menggunakan tenaga manusia kemampuan tiap orang hanya bisa memikul 50 kg.

Selama tiga hari mereka menuruni dan mendaki jurang, dan akhirnya didapatlah bakal rintisan jalan lain yang lebih cocok. Mereka merintis jalan yang akan dilalui walaupun akan lebih panjang dari jalan setapak semula.

Menurut perhitungan mereka, temuan rintisan ini adalah sangat cocok. Hanya saja di beberapa tempat ada tanah yang harus diratakan dan harus menebang kayu-kayu yang besar. Setelah diamati lebih cermat, ternyata rintisan ini dipandang yang paling cocok.

Beberapa hari setelah mereka menemukan rintisan bakal jalan baru itu, seluruh laki-laki dikerahkan bergotong-royong membuat jalan baru. Mereka menggunakan berbagai peralatan, seperti: cangkul, kapak, pisau, kelewang. Tak lupa masing-masing membawa "ibatan" (bekal nasi bungkus). 

Mereka dibagi beberapa kelompok dan masing-masing punya tanggung jawab mengerjakan bagian-bagian jalan yang telah ditentukan.

Hampir selama satu minggu jalan baru dapat diselesaikan. Mereka senang sekali melihat hasil dari kerja keras yang dilakukan bersama. Dengan selesainya pembuatan jalan baru itu, mereka dapat mengangkut hasil panen menggunakan "pasangan" langsung sampai ke Talang Padang. Dan perjalanan dapat mereka tempuh lebih cepat dari sebelumnya.

Sejak jalan baru selesai mereka buat, pedagang-pedagang kopi mulai berdatangan ke pemukiman di Cogong Temedak, Bukit Balai. Rupanya sudah tersiar kabar sampai ke Tebing Tinggi tentang kebun-kebun kopi yang luas sekali yang berada di Bukit Balai dan telah mulai menghasilkan.

Pedagang-pedagang berdatangan naik ke Dataran Bukit Balai. Setelah melihat kebun-kebun yang luas dan subur mereka dapat memperhitungkan hasil mencapai puluhan ton kopi. Suatu jumlah yang sangat besar pada waktu itu.

Setelah kedatangan pedagang-pedagang itu, Kuris mengajak warga mengadakan pertemuan. Pertemuan dilakukan di mushola setelah sembahyang maghrib. Seluruh warga hadir. Kuris menyampaikan pendapatnya mengenai rencana penjualan hasil kopi. Dikatakannya bahwa menurut pikirannya warga jangan dulu menjual kopi-kopi mereka.

"Kita belum tahu berapa sebetulnya harga kopi pada waktu itu. Memang harga yang ditawarkan calon-calon pembeli cukup tinggi dan bahwa kita setelah bertahun-tahun bekerja begitu keras, telah ingin sekali mengecap/merasakan hasilnya," kata Kuris kepada warga Cogong 

Temedak.

"Tetapi tahanlah dulu keinginan tersebut", nasihatnya.

"Saya akan mengutus Mantap dan seorang lagi ke Talangpadang dan terus ke Tebing Tinggi, untuk mencari tahu harga sebenarnya. Juga agar mencari pedagang besar di Tebing Tinggi untuk berunding mengenai pembelian kopi di Bukit Balai", papar Kuris yang didengarkan dengan takzim oleh warganya.

"Mereka yang datang ini adalah pedagang-pedagang perantara, pedagang- pedagang kecil. Tentu dengan pedagang besar di Tebing Tinggi kita akan dapat menawarkan harga lebih tinggi. Dengan cara begini, berhubungan langsung, kita akan dapat hasil yang lebih besar," tutur Kuris. Semuanya setuju dengan pemikiran pemimpinnya tersebut.

Seminggu setelah keberangkatan mencari pedagang besar di Tebing Tinggi, Mantap kembali disertai dua orang yang diperkenalkan pada Kuris sebagai pedagang kopi dari Tebing Tinggi. Mereka berada di dataran Cogong Temedak selama dua hari.

Waktu dua hari mereka pergunakan untuk memeriksa kopi-kopi yang sudah kering disimpan, maupun yang baru dipetik, yang ditumbuk di kincir air, yang sedang dijemur maupun yang masih di pohon. Kuris sendiri sependapat dengan hitungan mereka, bahwa dari keseluruhan kebun di dataran ini paling tidak akan menghasilkan sepuluh sampai duabelas ton.

Setelah memeriksa dengan cermat buah-buah kopi di Cogong Temedak, para pedagang itu menyepakati harga. 

Harga yang disepakati berselisih cukup besar dengan harga yang ditawarkan pedagang-pedagang perantara dari Talangpadang.

Mereka meminta agar kopi-kopi ditampi dengan lebih bersih. Mereka juga berpesan agar tidak ada pedagang lain yang dibolehkan membeli kopi-kopi hasil panen mereka. 

Kuris atas nama warga bersepakat kepada para pedagang itu bahwa kopi-kopi akan diterima di Talangpadang.

Semuanya bergembira atas hasil perundingan dengan pedagang dari Tebing Tinggi tersebut. Kedua bela pihak masing-masing sudah dapat memperkirakan beberapa hasil mereka.

Seperti yang telah dijanjikan, dua bulan setelah kesepakatan itu dibuat, maka kopi-kopi dari Cogong Temedak, Bukit Balai mulai dikirim ke Talang Padang. 

Setiap hari ada saja warga yang mengantar kopi menggunakan sapi dan kerbau penarik "pasangan" tiba di Talangpadang.

Untuk mengejar waktu yang disepakati, mereka juga menyewa "pasangan"-"pasangan" orang Talangpadang, untuk ikut mengangkut kopi- kopi.

Hidup Makmur

Sekarang semuanya dapat dikatakan telah hidup dengan makmur. Uang hasil kopi, biarpun masih dari hasil buah pelajaran, cukup banyak, padi cukup, malahan berlebihan untuk permakanan, ternak yang berkembang biak, baik sapi, kerbau maupun ayam-ayam.Kehidupan mereka, rukun, damai dan tenteram. 

Selama mereka bermukim di Bukit Balai, tidak pernah ada percekcokan, apalagi keributan antara mereka. Semuamya berkat kepemimpinan Kuris yang dapat dikatakan tak ada celanya. Sifat-sifat Kuris jujur, adil, bijaksana tegas dan pemberani membuat semuanya patuh secara mutlak.

Selanjutnya, pada panen agung tahun kelima mereka berkebun, kembali lagi mereka menerima hasilnya yang lebih banyak dari panen sebelumnya. Disusul pula dengan hasil panen dari kebun perluasan yang dimiliki masing-masing.

Dari hasil kopi mereka banyak yang membikin rumah-rumah baru di desa Lampar, atau pun memperbaiki rumah-rumah mereka yang lama. Ada juga yang membeli ternak sapi yang dipelihara di kampungnya. Kuris sendiri memberi uang kepada mertuanya, untuk perbaikan rumah dan juga sapi-sapi untuk mereka.