Hampir tujuh tahun mereka berada di Cogong Temedak, Bukit Balai. Hati Kuris dilanda gelisah memikirkan angan-angannya yang sudah tersimpan lama, yakni keinginannya mengunjungi satu tempat di puncak Bukit Balai. Keinginan yang dipendamnya di hati sejak pertama kali dia dan Mantap mencari Dataran untuk berkebun di lereng Bukit Balai, tujuh tahun lalu.
Kini, kerja besar Kuris boleh dikata sudah kelar semua. Mulai dari menemukan lahan baru, menebas hutan, membangun pemukiman, membuat hamparan kebun kopi, membuat kincir air, dan membangun jalan. Hasil kebun kopi sudah mereka nikmati pula.
Keinginan yang terpendam selama tujuh tahun itu, kini seakan terungkit kembali. Kuris ingin sekali mengunjungi tempat yang diceritakan oleh orang Talang Padang sangat menakjubkan.
Tujuh tahun lalu, ketika Kuris dan Mantap mendapat cerita dari orang Talangpadang bahwa di tempat mendekati puncak Bukit Balai ada satu hamparan yang menakjubkan.
Orang itu mendapat gambaran tentang tempat tersebut dari seorang yang pernah berkunjung ke sana beberapa tahun sebelumnya. Orang yang pernah ke sana menceritakan hal itu sebelum meninggal dunia karena sakit parah setelah turun dari Bukit Balai.
Orang tersebut bercerita bahwa dia naik ke Bukit Balai bersama dua temannya. Tujuan mereka mencari Dataran yang bisa dijadikan kebun kopi.
Dua temannya hilang dalam perjalanan pulang, sedang dia sendiri selamat tapi dalam keadaan sakit parah.
Orang tersebut masih sempat menceritakan perjalanan mereka, dapat menemukan lahan untuk perkebunan kopi.
Setelah menemukan kawasan yang baik untuk berkebun kopi---tempat yang di kemudian hari ditemukan pula oleh Kuris dan Mantap---ketiga orang tadi terus mendaki ke arah puncak. Perjalanan ke arah puncak itu tanpa mereka rencanakan. Hal itu yang akhirnya membawa malapetaka bagi mereka.
Diceritakan bahwa pada malam sebelum mereka akan pulang setelah menemukan tempat yang mereka tuju, mereka bertiga bermimpi. Anehnya mereka bertiga mengalami mimpi yang sama.
Dalam mimpi tersebut mereka didatangi seseorang yang sudah sangat tua, berambut putih panjang terurai batas bahu, tidak berbaju, sehingga biarpun sudah tua tapi masih kelihatan kuat dan gagah.
Orang tua itu memerintahkan mereka agar terus mendaki arah puncak. Dikatakannya pula setelah berjalan selama dua hari mereka akan menemukan suatu tempat yang sangat mengesankan. Turuti jalan ke arah matahari
condong ke barat. Tidak ada pembicaraan lain selain mendapat perintah seperti tersebut.
Besok paginya mereka saling menceritakan mimpi masing-masing, yang ternyata ketiganya mengalami mimpi yang sama. Mereka bertiga kemudian bersepakat mengikuti petunjuk dalam mimpi tersebut walau pun seorang diantara mereka semula menolak.
Akhirnya mereka bertiga berangkat ke puncak Bukit Balai yang senantiasa berkabut. Memang benar setelah mereka berjalan mendaki selama dua hari mereka menemukan tempat seperti yang tergambar dalam mimpi.
Di sana mereka menemukan suatu lapangan terbuka, yang tidak ditumbuhi pohon-pohon lebat seperti yang ditempuh mereka berhari-hari. Memang ada beberapa pohon-pohon besar tinggi, selebihnya rumput-rumput pendek seperti di lapangan sepak bola.
Luas lapangan terbuka ini adalah kira-kira sepuluh hektar. Yang menakjubkan ialah pohon-pohon kayu yang besar tinggi berwarna keputih-putihan. Pohon-pohon itu hanya satu jenis. Mereka belum pernah melihat sebelumnya.
Di tengah-tengah lapangan yang luas, berdiri dari satu bangunan yang memanjang terbuat dari batu, tidak berdinding. Semuanya dari batu termasuk atapnya dengan tiang-tiang tinggi kira-kira tiga meter, panjang kira-kira 40 meter dan lebar 25 meter.
Lebih tercengang dan takjub mereka, ketika mendekat dan melihat apa yang ada di bangunan yang beralaskan tanah. Lantai tanahnya bersih seperti baru disapu, tidak terlihat selembar daun dan sebatang rumputpun. Tambah heran lagi mereka ketika melihat apa yang ada dalam bangsal batu tersebut, berpuluh-puluh patung manusia dari batu berada di sana, seperti pemandangan di sebuah desa, kampung.
Mereka melihat ada patung-patung laki-laki berjongkok melingkar melihat perkelahian adu dua ayam jago. Diantara yang berjongkok ada yang mengapit ayam dan ada pula yang ayamnya kelihatan sedang berkokok. Ada pula terlihat beberapa perempuan sedang mengangkat antan di lesung yang kelihatannya sedang menumbuk padi.
Tampak pula patung perempuan yang sedang menari, perempuan yang sedang menenun, dan berpuluh-puluh anak yang sedang bermain-main. Dua laki-laki yang sedang mengangkat kayu dan yang lain sedang menukang.
Patung seorang ibu yang sedang memasak juga tak ketinggalan berpuluh-puluh yang lain dalam berbagai macam pekerjaan/kegiatan. Ada juga patung seorang anak yang bermain dengan anjing. Dari jauh patung- patung ini tampak seperti manusia yang masih hidup, setelah didekati baru kelihatan bahwa semuanya patung batu.
Dan yang anehnya lagi di tempat tersebut tak terdengar suara binatang apapun. Suara burung yang banyak di hutan tak terdengar, bahkan suara jangkrik pun tidak ada. Sepi hening. Suasana itu menimbulkan kesan yang sangat angker. Mereka merasa seolah-olah berada di dunia lain yang asing. Tak seekor burungpun terbang melintas di lapangan terbuka tempat bangunan batu barada.
Kalau ditilik-tilik bangunan tersebut merupakan suatu balai, tempat pertemuan seperti yang dulu terdapat di desa-desa. Mereka bertiga terdiam tak mampu berkata apa-apa.
Ada perasaan takut, heran bercampur kagum meliputi hati mereka. Mereka takut masuk ke balai dan hanya memperhatikan dari luar.
Hampir satu jam mereka berada di sana dengan diam dan tak berkata apa- apa, mereka diliputi rasa takut dan heran. Mereka menyadari ada sesuatu kekuatan gaib yang berada di balai yang penuh patung-patung batu ini.
Setelah berunding, mereka bergegas keluar dari lapangan terbuka tersebut, segera menempuh jalan pulang.
Sepanjang jalan pulang mereka tidak berkata-kata. Hati mereka masih diliputi perasaan ngeri bercampur takjub.
Dalam perjalanan mereka bermalam.
Mereka mimpi kembali bertemu dengan orang tua yang memerintahkan mereka mencari balai batu. Yang membuat hati mereka kecut dan takut, orang tua itu dengan berang mengatakan mengapa mereka tidak masuk ke balai dan mendoakan agar arwah yang telah menjadi batu dapat keselamatan di akhirat.
Rupanya patung-patung tersebut, dahulunya adalah manusia-manusia yang entah oleh dan karena apa telah menjadi batu.
Dengan perasaan takut dan bersalah mereka meneruskan perjalanan pulang. Dalam perjalanan pulang itu, dua orang diantaranya hilang, seorang jatuh sakit kemudian meninggal setelah di dusun. Sebelum meninggal dia sempat menceritakan pengalaman perjalanan mereka bertiga.
Tempat itulah yang ingin dikunjungi dan dilihat oleh Kuris. Sebetulnya dia sendiri heran keinginan tersebut semakin lama bertambah bergejolak. Hal itu hanya diceritakan pada istrinya, Majedah. Mendengar ungkapan gejolak perasaan suaminya tersebut, Majedah justru mendorong agar keinginan tersebut segera diwujudkan.
"Berangkatlah. Carilah tempat itu. Mungkin Allah akan menunjukkan kebesarannya di sana," kata Majedah kepada suaminya.
Dia mengingatkan bahwa Allah pernah menunjukkan bukti kebesarannya kepada mereka berdua ketika baru bermukim di Cogong Temedak. Bahkan, Kuris sendiri mengalami keajaiban ketika baru merintis jalan ke Bukit Balai, yakni nasi bekal makan siangnya berubah menjadi ulat.
Dengan keyakinan dan dorongan semangat dari istrinya, berangkatlah Kuris, Mantap, dan beberapa orang lain menuju ke puncak Bukit Balai guna mencari dan menemukan tempat menakjubkan yang pernah diceritakan orang Talang Padang.
Perjalanan mereka tidak mengalami rintangan. Tetapi, jalan yang mereka tempuh berat. Mereka terus berjalan berpedoman pada matahari yang condong ke Barat. Pada hari ke dua tempat yang dituju telah mereka temukan. Dari ketinggian, mereka melihat ke lembah dataran yang cukup luas, seperti yang diceritakan orang Talangpadang.
Dari kejauhan, mereka melihat sebuah bangunan di tengah-tengah dataran yang hanya ditumbuhi rumput-rumput pendek. Terlihat pula kaya-kayu aneh yang tinggi tinggi dan besar-besar, yang batangnya dari jauh tampak berwarna putih perak. Menakjubkan sekali.
Benar seperti dalam cerita, keadaan di sana hening sunyi, tak ada bunyi seekor binatangpun. Tak seekor burungpun kelihatan terbang melintasi di atas dataran itu.
Sebelum turun ke dataran, Kuris mengajak mereka sembahyang sunat dua rakaat, dan Kuris menjadi Imam.
Setelah selesai berdoa, mereka menuruni ketinggian menuju dataran padang rumput. Seperti pendahulunya, merekapun terkesan sekali pada apa yang mereka lihat di Balai Batu.
Dengan ucapan Assalamualaikum mereka dengan hikmat memasuki Balai yang lantainya bersih tak berdebu.
Lantai tanah ini kelihatan seperti dipadatkan dan keras. Kagum mereka semuanya melihat patung-patung manusia dan binatang dari batu ini. Dari agak jauh kelihatan seolah-olah manusia hidup, baru setelah diperlihatkan dari dekat rupanya batu-batu berbentuk manusia dan binatang.
Kembali Kuris mengajak sembahyang Ashar berjamaah dan setelah itu mengadakan doa khusus, untuk keselamatan arwah- arwah mereka yang telah menjadi batu.
Mereka membaca Surat Yasin dan dilanjutkan pula dengan tahlil.
Malamnya mereka tidur di balai. Tak seorangpun bermimpi. Hanya Kuris dalam tidurnya mendengar beberapa kata bisikan terima kasih. Dengan hati yang merasa puas, mereka besoknya kembali ke pemukiman
mereka, dan seluruh warga mendapat cerita tentang penemuan dan pengalaman mereka.
Dari pengalaman itulah, barulah dapat diketahui oleh mereka, asal-mulanya pegunungan tempat mereka ini dinamakan Bukit Balai, ialah berasal dari suatu keanehan, yaitu Balai yang terbuat dari batu.