Ammara seketika beringsut mundur dan berdiri menjauh dari Arnold. Napasnya memburu dan perasaanya merasa sangat bersalah karena sesaat ia tergoda dengan rayuan maut dari Arnold.
"Jaga bicara kamu, Ar. Kenapa kamu bisa mengatakan hal itu padaku?!" ujar Ammara, ketus. Menyembunyikan rona merah di wajahnya.
Mendengar ucapan Ammara, mau tidak mau Arnold tergelak.
Hahahha!
Ammara memicingkan mata dan mengerutkan alisnya. Ia tidak mengerti dengan jalan pikiran Arnold. Bisa-bisanya pria itu mengajak dia untuk bercinta.
Kalau saja Ammara tidak segera tersadar dari napsunya yang hampir saja menggelora, mungkin saja ia sudah menarik tangan Arnold untuk masuk ke dalam rumahnya dan bercinta dengan pria itu.
Ammara tidak memungkiri, jika Arnold adalah lelaki yang bisa saja akan mampu menuntaskan hasratnya yang tidak lagi tercapai saat bersama Devan--suaminya.
"Apa yang membuatmu tertawa? Apa itu hal yang lucu?" tanya Ammara, kesal. Ia merasa di permainkan oleh Arnold.
"Hahahah, tidak. Aku hanya merasa jika kamu semakin menarik setiap waktunya," ucap Arnold, jujur.
Ammara menautkan alisnya, bingung. Ia tidak mengerti dengan maksud dari Arnold.
"Apa maksudmu?" tanya Ammara, akhirnya.
Arnold menghentikkan tawanya. Kemudian menatap netra Ammara dengan intens.
"Aku hanya bercanda. Karena aku lihat, kamu sepertinya tidak terpuaskan dengan suamimu," tebak Arnold.
Itu bukan tebakan, Arnold sengaja mengatakan hal itu pada Ammara agar wanita itu mau mengakui jika dirinya sedang butuh belaian dari pria selain suaminya.
Ammara memalingkan wajah. Ia tidak ingin jika Arnold mampu menebak segala perasaan yang sudah ia pendam selama ini. Perasaan yang tidak pernah puas terhadap Devan.
"Jangan sok tahu! Aku selalu terpuaskan dengan suamiku. Sebaiknya kamu segera pergi dari sini. Sebentar lagi Devan akan pulang. Dan aku tidak ingin dia melihat kita sedang berduaan. Aku tidak ingin dia berpikiran macam-macam," ujar Ammara, ketus. Seraya mengusir Arnold pergi.
"Baiklah. Aku akan pulang," sahut Arnold, mengalah. Sambil melangkahkan kakinya beranjak dari sana.
Namun langkah Arnold terhenti sejenak. Membalik badannya dan melihat ke arah Ammara yang masih berdiri membelakangi dirinya.
"Tapi Ammara ... Jika kamu membutuhkanku untuk memuaskanmu, just call me. Aku akan selalu datang setiap kamu butuh," ujarnya, kemudian sukses melangkah pergi dari rumah Ammara.
Ammara membuang napasnya kasar. Ia tidak menyangka jika kedatangan Arnold mampu mengguncang hatinya. Membuatnya berpikiran kembali tentang hasrat terpendamnya.
"Ah, sial! Arnold brengsek!!" umpat Ammara, kesal.
Di saat Ammara sedang frustasi memikirkan kehadiran Arnold. Devan berjalan-jalan di luar kantornya. Demi mencari suasana sejuk dan nyaman.
Devan melihat-lihat ke sekeliling dan akhirnya memilih untuk nongkrong di sebuah kafe yang suasananya terlihat sangat akrab.
"Mas ... espresso satu," ucap Devan, mengangkat tangannya pada salah satu pria pelayan kafe yang sedang berdiri di tempat kasir.
"Baik, Pak," sahut pelayan pria itu.
Devan duduk dengan santai. Sambil menunggu pesanannya sampai, Devan memilih membaca majalah yang memang di siapkan untuk penunjung itu.
Dari arah pintu kafe, Jeana berjalan mendekat dan masuk ke dalam tempat tersebut.
Senyumannya mengembang saat tanpa sengaja netranya menangkap ada pria yang sangat ia inginkan sejak pertemuan pertama mereka.
"Devan Jacob ...," gumam Jeana, seraya tersenyum. Dan berjalan mendekat ke arah Devan yang masih serius membaca majalah di tangannya.
"Permisi, saya boleh duduk disini?" tanya Jeana, basa-basi.
Devan tidak menjawab karena ia begitu fokus dengan bacaanya saat ini.
Jeana semakin tersenyum lebar. Lalu ia memberanikan diri untuk duduk di kursi yang ada di hadapan pria itu.
Hingga akhirnya, pelayan kafe membawakan pesanan Devan. Barulah ia menghentikkan kegiatannya.
"Espresso ...," ucap pelayan kafe itu.
Devan menurunkan majalahnya. Hendak mengucapkan terima kasih pada pelayan tersebut. Namun ucapannya terhenti kala melihat wanita cantik yang duduk di depannya.
"Terima kas~"
"Anda!" seru Devan.
Jeana tersenyum manis menanggapi seruan dari Devan. Sementara pelayan kafe itu pun beranjak pergi dari sana.
"Hai!" sapa Jeana, ramah.
Devan membalas senyum Jeana. Wanita di hadapannya ini sangat seksi. Dan sungguh, itu membuat bagian bawah tubuhnya bereaksi lagi.
'Shit!!' umpat Devan dalam hati.
Harus Devan akui, jika tubuh Jeana begitu seksi. Dengan tubuh bagian atasnya yang melebihi rata-rata. Mungkin jika Devan meletakkan tangannya disana, itu tidak akan muat sama sekali saking besarnya. Belum lagi pinggulnya yang terlihat padat dan berisi sekali.
Devan meneguk salivanya kasar. Demi meredam hasratnya yang menggelora. Jujur saja, tubuh Ammara tidak ada apa-apanya di bandingkan dengan tubuh Jeana saat ini.
'Sadar Devan!' suara hati Devan memintanya untuk berhenti menatap Jeana.
"Halo!!!" sapa Jeana lagi. Karena sapaan pertamanya tidak di gubris oleh Devan.
"Ah i-iya. Hallo," sahut Devan, membalas sapaan ramah dari Jeana.
Jeana tersenyum. Ia sangat yakin sekarang jika Devan mulai tergoda dengannya.
"Saya Jeana Hunter, anda?" ucap Jeana, seraya mengulurkan tangannya.
Devan membalas uluran tangan Jeana. Seraya menyebutkan namanya.
"Devan Jacob," balas Devan.
Keduanya kembali hening. Jeana mulia bingung harus membuka percakapan apa. Devan tidak terlalu melayani dirinya. Pria itu sibuk memalingkan wajahnya dari dia.
"Sendiri atau menunggu seseorang?" tanya Jeana, basa-basi.
"Sendiri," jawab Devan, tak acuh.
Jeana jadi kebingungan sendiri menghadapi sikap Devan. Namun ide liarnya mulai muncul ke permukaan.
Tatapan mata Jeana mengarah pada bagian bawah tubuh Devan. Ia pun mengambil inisiatif untuk menggoda Devan. Mulai dari menyentuh kaki Devan dengan manja.
Devan melotot pada Jeana karena berani menggodanya terang-terangan. Ia semakin tidak karuan menahan hawa napsunya.
"Nona Jeana ...," desis Devan, seraya berusaha menahan hasratnya.
"Kenapa tuan Devan? Apa anda tidak akan mengabaikan saya lagi sekarang?" tanya Jeana dengan suara yang terdengar sangat menggoda.
Oh, Shit!!
Devan benar-benar mengumpat dalam hatinya. Ia merasa tidak sanggup lagi sekarang. Tubuh bagian bawahnya semakin menegang. Sementara kini, kaki Jeana dengan lancang semakin naik ke bagian yang sudah menjulang itu.
Akhirnya, tanpa peduli lagi dengan apa yang akan terjadi. Devan bangkit dari duduknya dan menarik Jeana untuk ikut dengannya setelah meletakkan bill untuk membayar espresso yang bahkan belum ia habiskan.
Jeana tersenyum puas tatkala Devan menarik tanganya keluar dari kafe tersebut. Ia yakin jika Devan akan membawanya ke hotel atau ke tempat tertutup sekarang.
Devan menarik Jeana dengan cepat. Membawanya masuk ke dalam sebuah toilet umum yang ada di sebelah kafe tersebut.
Brakkk!!
Devan menutup pintu toilet umum tersebut, lalu melepaskan tangan Jeana. Sedangkan tubuhnya semakin mendekat ke arah wanita itu.
Jeana tersenyum dengan menggoda. Ia tidak pasif sama sekali. Ia berinisiatif untuk membuka permainan. Karena ia tahu, jika pria yang tidak lagi merasakan kenikmatan saat bercinta dengan istrinya saat ini, sangat butuh dengan sikap wanita yang agresif dan proaktif.
Jeana merasa menang, tatkala bibirnya sudah menyatu dengan bibir Devan. Ia merasa melayang ke angkasa karena bibir pria itu begitu manis, sangat berbeda dengan bibir-bibir pria yang pernah ia rasakan selama ini.
Devan mulai mengikuti ritme permainan Jeana. Ia hendak melucuti pakaian yang membungkus tubuh bagian atas wanita itu. Namun suara telepon dari ponselnya, menghentikkan inginnya.
'My Wife'