Pembicaraan mengenai darah murni membuat Leo ingin bersantai. Ia akhirnya memilih untuk pergi ke balkon atas.
"Kau ingin ke mana?"
Leo berdiri memandang luasnya area perkebunan miliknya di atas balkon. Di belakangnya ada Alfred yang sedang meminta izin untuk pergi keluar.
"Aku ingin ke rumah sakit, sepertinya kita butuh beberapa kantong darah lagi untuk stok selama seminggu ke depan. Aku ingin bertemu dengan dokter itu."
Setelah pembicaraan mengenai darah murni tadi siang, Leo terus memikirkan bagaimana bila ia yang mendapatkan darah murni itu. Kepalanya diisi oleh berbagai macam kemungkinan kehidupan di masa depan bila ia berhasil menjadi manusia.
"Aku ikut, terasa membosankan bila terus berada di mansion besar ini."
Leo dan Alfred akhirnya turun ke lantai bawah. Mereka segera menuju ke mobil hitam yang ia gunakan tadi siang.
"Kau sudah menentukan pilihan tentang rencana darah murni?" Alfred menyinggung sedikit.
"Aku masih bingung, bisa kita membicarakannya nanti saja." Leo menatap ke arah luar jendela.
Di malam hari, ia menggunakan setelan jaket bomber berwarna navy blue dan celana denim biru navy. Leo terlihat lebih santai tanpa menggunakan topi untuk menutupi wajahnya. Gaya rambutnya pun juga terlihat lebih natural dan tidak terlalu tertata rapi seperti saat ia di kampus.
Namun kecanggungannya untuk bersosialisasi dengan orang lain masih menjadi penyakit psikis dirinya. Sang socially awkward, sebuah gelar yang cukup mengganggu, namun kenyataan tidak bisa di ditutupi.
"Kenapa memilih diploma, disaat kau bisa mengambil S1, S2 atau pun S3?" Kau sudah menyelesaikan beberapa program perkuliahan selama kurang lebih 500 tahun terakhir. Untuk apa lagi kau berkuliah? Apalagi jurusan yang kau ambil kali ini adalah konstruksi sipil." Alfred merasa heran dengan keputusan Leo.
"Aku hanya bosan, ingin rasanya beraktivitas seperti para manusia. Lagi pula, bila tidak berkuliah, apa yang harus aku lakukan, Alfred? Hanya duduk memandang kebun kosong di belakang mansion? Harta yang kita punya juga tidak akan habis selama 500 tahun ke depan, jadi aku tidak perlu duduk di belakang meja kantor berpangkat CEO, bukan?" Leo merasa hidupnya begitu monoton.
"Kau masih bisa keliling dunia dan bertamu ke mansion keluarga royal blood lainnya? Terakhir kali kau mengunjungi mereka adalah sekitar 400 tahun yang lalu, setelah itu kau hanya tahu kabar mereka dari diriku." Alfred merasa Leo terlalu menutup diri.
"Mereka hanya pemabuk, perampok, dan para aristokrat bodoh penggila pesta dan penuh dengan kebohongan. Aku tidak ingin bergaul dengan para badut bermuka dua itu." Sarkas yang kejam dari Leo.
Mereka sampai di rumah sakit. Alfred segera memarkir mobil di parkiran samping gedung IGD. Leo dan Alfred segera turun dari mobil. Terasa sekali bau darah menyengat dari dalam gedung rumah sakit. Bau darah ini membuat insting vampir Leo menyala-nyala.
"Apa kau bisa menahan nafsu haus darahmu?" Alfred mengkhawatirkan Leo.
"Diamlah, sebaiknya kita cepat segera menemui dokter itu." Leo jalan terlebih dahulu yang diikuti oleh Alfred.
Mereka memasuki pintu samping dan berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Alfred memandu Leo menuju ke ruangan dokter yang ia tuju.
Leo melihat beberapa orang yang sedang tertidur di kursi panjang ruang tunggu. Dan beberapa lagi sedang mengantri obat dan administrasi. Masih banyak kegiatan yang terjadi di rumah sakit, padahal jam sudah menunjukkan pukul 10 malam.
Mereka berdua bertanya ke resepsionis di lantai satu, dari info yang mereka dapat, si dokter sedang melakukan visit ke kamar semua pasien di lantai dua. Mereka diminta menunggu si dokter di ruangannya atau di ruang tunggu.
"Berapa lama kita harus menunggu?" Leo mulai merasa bosan.
"Kita baru menunggunya sekitar satu menit, apa kau sudah bosan?" Alfred harus mengambil tindakan segera.
Alfred memilih menuju ke lantai dua. Melihat Alfred kembali jalan, Leo segera mengikutinya. Kedua tangan tersemat di dalam saku celana denimnya, saat Leo lewat, beberapa wanita muda di lantai dua terus memandanginya dengan rasa kagum dan takjub. Ketampanan pewaris keluarga Constantine memang tidak bisa diragukan lagi.
Saat sedang menyusuri lorong di lantai dua, tiba-tiba Leo melihat seorang wanita keluar dari salah satu kamar di sebelah kanan. Leo sadar, ternyata wanita yang keluar itu adalah Fana. Dengan gerak cepat, Leo langsung putar balik dan jalan cepat menuju ke arah tangga kembali.
"Kau!"
Satu sapaan dari Fana membuat Leo berhenti sejenak. Saat dirasa tidak ada perkataan lagi, Leo kembali jalan.
Fana merasa ada yang aneh dengan laki-laki yang berjalan sangat cepat di depannya. Ia segera menghampirinya dan menepuk bahunya.
"Woy!" Fana menarik bahu Leo.
Leo langsung berhenti. Namun ia tidak mau balik badan.
"Leo?" Fana terkejut, ia baru pertama kali melihat Leo tanpa mengenakan topi.
Leo melirik Fana. Mata mereka berdua saling bertemu. Sebuah kecanggungan terjadi di antara keduanya, namun yang paling merasakan efek canggung itu adalah Leo.
"Ha-hai?" Leo meringis.
Fana tiba-tiba mendekatkan wajahnya ke wajah Leo. Ia melihat warna mata Leo yang berwarna biru tua.
"Warna matamu itu indah sekali." Fana tidak habis-habisnya merasa takjub.
Leo langsung memalingkan wajahnya ke arah lain. Ia tidak ingin Fana melihatnya lebih lama lagi. Leo juga mundur ke belakang dan memberikan jarak pada keduanya.
"Kenapa? Malu?" Fana merasa bingung dengan tingkah Leo.
Tanpa membalas perkataan Fana, Leo segera putar balik dan berjalan ke arah Alfred berada. Ia meninggalkan Fana yang sedang diam berdiri penuh dengan kebingungan.
"Aku baru lihat ada laki-laki good looking yang malu-malu seperti itu." Fana menggelengkan kepalanya.
Fana kembali melanjutkan jalannya. Ia menuruni tangga dan menuju ke minimarket dekat koperasi.
"Kau pergi ke mana?" Alfred sempat bingung mencari Leo.
"Maaf, tadi hanya ada masalah sedikit." Leo hanya tersenyum kecil.
"Tolong jangan menghilang seperti anak bocah lagi." Alfred menyindir halus.
Klek!
Pintu kamar di depan mereka berdua terbuka. Keluar seseorang dengan mengenakan seragam jas putih ala dokter.
"Alfred? Tu-tuan muda?" Daniel begitu terkejut dengan kehadiran mereka berdua.
"Halo, Daniel …." Alfred menyapa.
"Yo …." Satu sapaan pendek dari Leo.
Daniel hanya bisa tersenyum, seakan-akan ia tahu dengan maksud kedatangan mereka berdua.
"Ikut aku." Daniel menuntun mereka berdua.
Mereka segera menaiki tangga emergency ke rooftop atas. Terlihat di langit, bulan purnama begitu cantik dengan warna putih terang benderangnya. Dipadukan dengan titik-titik cahaya kecil dari semua bintang, terasa langit malam itu begitu indah seperti lukisan.
"Apa kau kemari untuk menanyakan tentang stok darah?" Daniel langsung menebak maksud kedatangan Alfred dan Leo.
"Yah, itu benar." Alfred mengeluarkan sebuah kertas berisi perjanjian pengambilan darah.
"Tapi kenapa kali ini tuan muda ikut?" Daniel merasa bingung.
"Ia merasa bosan, jadi aku membawanya." Alfred melihat Leo sedang berdiri di atas dinding pembatas rooftop.
"500 tahun berlalu, dan hari ini ia merasa bosan? Itu sebuah pencapaian yang luar biasa." Daniel menyindir halus.
"Lebih baik ia bosan dengan caranya sendiri, bukan dengan menghisap darah seluruh manusia di ibukota." Alfred mulai merasa takut bila Leo mulai hilang kendali.
"Apa ia bisa melakukan itu? Setahuku, tuan muda tidak seperti para pewaris royal blood lainnya. Ia sedikit unik, khususnya dalam persoalan bersosialisasi." Daniel melirik Alfred.
"Itu benar, tapi kecerdasannya, bila dibandingkan dengan 12 pewaris lainnya, ia jauh di atas mereka." Alfred tersenyum.
"Ia ingin ke mana?" Leo melihat Fana keluar gedung dan menuju ke arah jalan raya.