Rara. Begitu orang memanggilnya. Kiara Wijaya, anak pertama di keluarga Wijaya. Lahir dari seorang ibu bernama Maria Yasanti dan seorang ayah yang bernama Karan Wijayanto. Kiara, atau lebih akrab dipanggil Rara, mempunyai dua orang adik: Darian Wijaya dan Razik Wijaya. Saat itu, Rara berusia 5 tahun, Darian berusia 4 tahun, dan sang adik bungsunya baru berusia 3 tahun.
Sejak kecil, Rara dikenal sebagai anak yang periang dan ramah, meski hidup dalam keterbatasan. Ia pandai bergaul dan memiliki banyak bakat. Ibunya selalu mengatakan bahwa jika Rara tidak memiliki harta, maka ia harus memiliki banyak hal lain yang bisa membuatnya berguna dan diterima. Keyakinan ini mendorong Rara untuk mati-matian berusaha menjadi pribadi yang menyenangkan dan belajar banyak hal.
Namun, sebuah tragedi terjadi ketika Rara masih sangat kecil. Kehidupan ekonomi yang sulit, serta penghasilan ayahnya yang kurang mencukupi, membuat ibunya terjebak dalam hutang dan menemui jalan buntu untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Akhirnya, ibunya memutuskan untuk bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri.
Sore itu, saat Rara asyik bermain bersama adik-adiknya dan beberapa temannya, ibunya berpamitan ingin pergi ke rumah nenek sebentar. Rara hanya mengangguk tanpa bertanya apa-apa dan melanjutkan bermain. Beberapa menit kemudian, Rara mendengar suara mobil berhenti di depan rumahnya. Lagi-lagi, ia tidak menghiraukannya. Sesaat setelahnya, ibunya berlari memeluknya dan juga adik-adiknya, lalu pergi meninggalkannya.
Semula, Rara tidak begitu memperhatikan. Ia melanjutkan bermain, sambil banyak pertanyaan yang berkecamuk di pikirannya. Akhirnya, ia memutuskan untuk menyusul ibunya. "Ke rumah nenek kan?" gumamnya dalam hati. "De… kalian tunggu di rumah ya, kak. Rara mau susul ibu sebentar," pamitnya.
Setengah berlari, Rara keluar rumah. Ia melihat ibunya pergi menaiki mobil yang baru pertama kali dilihatnya. Ia berteriak, "Tunggu, ibu! Aku ikut…" Namun mobil itu terus melaju, sementara ibunya hanya menatapnya sendu dari kejauhan. Kaki-kaki kecilnya berlari tanpa alas kaki, di atas jalan beraspal yang panas tersengat matahari. Sesekali, ia berhenti, tertatih, menarik nafas seolah-olah tak mampu lagi bernafas. Air mata membanjiri wajahnya, membuat pandangannya kabur. Namun, ia pantang menyerah dan terus berlari mengejar mobil yang mengantar ibunya pergi. Terlihat dari kejauhan, ibunya menangis namun berpaling tanpa menoleh padanya.