Beberapa lama mereka berpelukan, sampai akhirnya Miranti terlihat mendorong tubuh si pemuda untuk sedikit menjauh darinya. Dengan tatapan nanar yang sedemikian tak berdaya, dipandanginya wajah pemuda belia yang kini telah berubah menjadi seorang lelaki pemberani didalam kenakalan yang mendadak hadir di antara mereka.
Karena itulah, iapun jadi tergerak untuk mulai balas menggoda. Sambil tersenyum penuh arti, wanita itu kembali mencondongkan tubuh untuk memberi kecupan pada bibir Indra. Lalu tanpa melepaskan pagutannya, ia mendesak tubuh pemuda tersebut agar berbaring diatas kasur.
"Makasih, Mas …" bisik Miranti saat ia menelungkupkan tubuh diatas sosok liat yang ada dibawahnya.
"Sama-sama, Mbak … eh, ma-af … aku, aku sudah berani kurang ajar pada …"
"Ssstt … aku istrimu. Jangan sekali-kali kau katakan itu lagi," dengan cepat, Miranti langsung saja menyentuhkan jari ke bibir Indra untuk menghentikan kata-katanya.
"Eh, iya … kadang, aku masih saja terbawa masa lalu."
"Kamu bukan lagi karyawanku …"
"Iya, Mbak … maaf."
"Sekarang, kamu suamiku …" terdengar tegas, Miranti langsung saja menunjukkan eksisitensinya di mata hukum terkait hubungan mereka.
"Iya, sampai tiba waktunya Chaca merayakan ulang tahun pertamanya." Si pemuda yang masih saja terpaku pada pemikiran tentang perjanjian, nampaknya tak bisa memungkiri apa yang selama ini menjadi penghalang di antara mereka.
"Jangan ungkit itu sekarang." Namun, sepertinya Miranti malah tidak senang saat diingatkan dengan hal itu.
"Bukankah perjanjiannya seperti itu?" tak menyerah, si pemuda kembali mengingatkan.
"Lupakan perjanjian itu. Karena dengan merayu diriku seperti tadi, itu juga sama artinya dengan melakukan sebuah butir pelanggaran yang tertulis." Langsung saja, Miranti menggunakan kecerdasannya untuk mulai menekan suaminya.
"Eh, bukankah Mbak Mira yang meminta?"
"Nggak penting siapa yang meminta. Karena senyatanya, kamulah yang sudah melakukan pelanggaran dengan menyentuhku. Dan bukan hanya yang baru saja kamu lakukan. Karena tadi, Mas Indra juga sudah berani peluk tubuh telanjangku di dalam kamar mandi. Lupa?" mendadak menjadi jahat, wanita tersebut langsung saja menyudutkan 'suaminya'.
"Eh, aku kan …"
"Ssshhh … Mas Indra juga gendong aku dalam keadaan yang belum sepenuhnya tertutup. Mau mungkir? Terus waktu liatin payudaraku saat mau nenenin adek?" tanpa belas kasih, wanita tersebut semakin memberi tekanan mental pada Indra.
"Mbak … jangan begitu …"
"Mas Indra yang jangan begitu. Aku sendiri sebenarnya nggak akan mempermasalahkan hal tersebut. tapi …"
"Tapi?"
"Tapi kalau Mas Indra mengungkit perjanjian itu, akupun akan mengungkit balik dengan mengatakan bahwa Mas Indra sudah jelas-jelas banyak melakukan pelanggaran. Paham?" dengan serta merta, tertumpahlah apa yang telah tersimpan dalam rencana sang wanita. Karena sejujurnya saja, ia memang sudah berniat untuk menjebak pemuda tersebut agar masuk dalam perangkap rumahtangga untuk selamanya.
"Mbak … kenapa jadi begini?"
"Karena, sedikitpun aku belum pernah melakukan pelanggaran dengan melihat bagian intim Mas Indra. Sedangkan kamu sendiri … hhhmm, apakah masih mau menyangkal?" langsung saja, wanita yang demikian ahli bernegosiasi telah dengan telak kembali menyudutkan lawan hingga tak bisa berkutik lagi.
---
Beberapa saat setelah terdiam, kembali terdengar Miranti berbicara dalam bisikan yang sedemikian penuh hasrat.
"Namaku Miranti, dan kamu sudah berucap untuk bersedia menerima nikahku di depan penghulu dan juga ibumu," demikian kata wanita tersebut setelah mengetahui jika suaminya sudah terlihat menyerah dan pasrah dengan keadaan.
Dengan manisnya, senyum sang wanita merekah seiring kecupan pada kening dari pemuda yang dengan spontan ia peluk dalam dekapannya. Kemudian, ia pun menyasar bibir Indra yang kini sedang berbaring terlentang diatas pembaringan. Karena akibat hasrat yang telah digelorakan dalam pijatan tadi, nampaknya Miranti sudah tak lagi memperdulikan sikap suaminya yang masih saja terlihat ragu.
"Mbak, jangan …!" desah Indra dengan geli saat kecupan tersebut berpindah pada dua pipi dan terus saja merambat untuk menyasar lehernya.
"Diamlah. Selama beberapa hari ini, aku sudah cukup menahan diri untuk menuruti semua maumu. Sampai-sampai, kau kerjain juga biar hatiku jadi panas karena mendamba … Hhh …" bagai si pemangsa yang tak mau melepaskan korbannya, Miranti terus saja berusaha menciumi si pemuda yang selama beberapa bulan ini telah saja membuat dirinya jatuh hati.
"Mbak … nggak mau. Nanti kita malah semakin membuat banyak pelanggaran," malu-malu, Indra menolak gerakan agresif sang istri yang sepertinya sudah begitu gemas padanya.
"Sudah kubilang, jangan pikirkan semua itu …"
"Kalau begini kejadiannya, bukan akan berarti jika Mbak Miranti yang melakukan pelanggaran perjanjian?"
"Aku tak perduli. Karena dimata agama dan hukum, kita ini masih merupakan suami dan istri yang sah." Tak menghiraukan segala peringatan, wanita itu terus saja menggemasi si pemuda yang semakin terlihat putus asa.
Sesaat setelah mendengarkan ucapan itu, Indra pun memejamkan matanya karena merasa sudah tak memiliki jalan keluar lagi. Lalu saat angannya mengembara untuk menemukan sosok Vanessa yang sedang kecewa pada dirinya, mendadak saja ia tersentak karena sebuah getaran yang terus saja menggoda dirinya. Hingga tanpa sadar, si pemuda pun semakin memejamkan mata untuk menikmati pagutan Miranti yang seakan dipenuhi oleh berjuta bahasa kasih tak terucap. Karena dalam sikap pasrahnya itu, seketika saja sebuah keinginan telah bangkit dari dalam jiwanya. Lalu secara perlahan tapi pasti, Indra pun jadi larut dan hanyut dalam gelombang hasrat yang sengaja diciptakan oleh Miranti.
Tubuh gagah dan liat yang sedemikian tegapnya, terlihat begitu pasrah dalam dekapan sang wanita yang selama ini dikenalnya sebagai sang bos besar. Lalu kecupan demi kecupan yang ia coba resapi, terasalah begitu lembutnya saat wanita tersebut dengan penuh mesra mengusap anak rambut yang berjatuhan keatas kening Indra.
Begitu pula ketika dengan perlahan dua bibir itu jadi saling berpadu. Karena kesemuanya itu, seakan telah cukup untuk menggantikan setiap kata yang tak mampu diungkapkan oleh dua orang asing yang mencoba untuk menjaga jarak tanpa menyadari kodrat alaminya.
Hingga entah mengapa, kali ini Indra merasa begitu terhanyut dalam buai kecup dan belai lembut Miranti. Karena meskipun jiwanya yang dengan serta merta telah serasa terbang melayang, namun itu bukanlah sebentuk hasrat badani dalam diri. Sebab yang sedang ia hayati sesunggguhnya, adalah suatu perasaan lembut yang begitu menyentuh hati dalam nuansa simpati bagi sang wanita.
Ia cukup bisa membedakan, jika ciuman itu sangatlah berbeda dari semua kemesraan yang pernah Ia terima selama ini. Dan tentu saja, Indra pun dengan mudahnya bisa membaca setiap getar ungkapan kasih tulus dari tangan yang kini membelai lembut semua bagian wajah hingga sampai bahunya.
Sejujurnya, hal seperti itulah yang benar-benar ia rindukan selama ini. Karena bersama seseorang yang mengawali dengan tak pernah berharap apapun padanya, damai yang diberikannya telah saja dapat membuat diri terlena dalam sebuah alam khayal yang begitu menakjubkan. Dan apa yang ia rasakan saat itu, bukanlah sebab nikmat yang Ia dapatkan dalam raga. Akan tetapi, lebih kepada rasa kalbu yang sangat mengharu biru.
---
Tanpa disadari oleh keduanya yang sedang begitu terbuai dalam bisikan rindu, naluri purba telah membimbing mereka untuk semakin menuju pada kemesraan yang lebih dalam lagi. Karena dalam kecup mesra yang semakin memabukkan jiwa, satu persatu kancing baju depan Indra pun mulai terlepas satu persatu. Hingga tak lama kemudian, sebuah tangan yang hangat dan lembut telah saja menelusup mencari jalan di antara lembaran kain yang terbuka di bagian dadanya.
Hanyut dan larut, punggung Indra bagai melenting ketika ia menggelinjang nikmat dalam belai dan remas lembut tangan sang istri dadakannya. Hingga seolah, sensasi yang ia rasakan saat ini seperti layaknya ungkapan bagi sebuah pemujaan. Dimana, mungkin akan lebih tepat bila diartikan sebagai suatu bentuk kekaguman seseorang akan sebuah maha karya keindahan yang terukir dalam tubuh seorang lelaki sejati.
Karena dalam pelampiasan kasih dan rindunya pada Indra, Miranti benar-benar mendambakan untuk bisa menyentuh apapun yang dapat diraihnya. Dan segalanya itu, semata hanya akan dipergunakan sebagai perwujudan rasa kasihnya terhadap si pemuda yang tak pernah berhenti membuat dirinya kagum.
Begitu pula dengan Indra. Jiwanya pun telah sedemikian tinggi melambung dalam setiap belai mesra yang ia rasakan. Lalu seakan tak mau kalah, Iapun mengimbangi setiap sentuhan itu dalam kecup pasrah penuh kelembutan dan pemujaan yang setimpal.
---
Hingga suatu ketika,
Terdengarlah lengking suara bayi menangis.
"Mbak … adek …"
"Eh, Chaca bangun." Dengan gugup, Miranti segera saja bangkit dari posisinya yang sedang berada diatas Indra. Lalu setelah membenahi baju dengan ala kadarnya saja, wanita itupun segera turun dari peraduan.
***