webnovel

"Kecocokan"

"Om Tirto sama Tante Monica beneran pergi selama sebulan ninggalin lo berdua aja sama Bi Ida?"

"Iya. Makanya gue rasa sekarang waktu yang tepat buat bikin rencana langkah apa yang harus kita susun dari awal."

"Gue punya rencana."

"Apa?"

"Mulai dari besok, lo ikut kemanapun gue pergi. Anggap aja kita hanya punya waktu satu bulan buat ngungkap siapa pelakunya. Jadi kita pergunakan waktu ini dengan serius."

"Satu bulan ya, artinya selama satu bulan itu juga lo bakal tinggal di rumah gue kan?"

"Maksud lo?"

"Iya, lo tinggal di rumah gue lah. Masa iya lo mau bulak balik dari rumah lo ke rumah gue terus-terusan? Gak sekalian aja selama misi kita dijalankan dalam sebulan itu lo tinggal disini dulu?"

"Ide gila tapi masuk akal."

"Jadi lo setuju dengan omongan gue?"

Raka mengangguk membenarkan.

"Besok masih hari sekolah, gue tidur sekarang."

Setelah berpamitan Raka langsung berdiri dan bergegas menuju ke kamar tamu yang akan menjadi kamar sementaranya selama satu bulan itu..

Begitu juga dengan Alanna yang ikut pergi meninggakan ruang makannya untuk bergegas tidur.

~¤~

"Lah? Kok lo yang masak menu sarapannya? Bibi mana?"

"Dia ngurus hal lain."

"Emangnya lo bisa masak?"

"Lo pikir selama gue di rumah sendiri gue gak pernah makan?"

"Ya siapa tau aja, karena jaman sekarang kalo lapar gampang tinggal pesen online."

"Nggak lah. Junkfood bukan opsi utama."

Alanna membentu mulutnya menjadi huruf O. Sembari menarik kursi untuk ia duduki, Alanna menyiapkan gelas berisi susu yang sudah Raka keluarkan dari dalam kulkas.

"Gue tadi mimpi lagi."

"..."

"Mimpi gue soal.. cowok itu."

"Pembunuhnya maksud lo?" tanya Raka to the point.

Alanna mengangguk pelan. "Iya, ada dua orang kan, tapi yang gue liat jelas cuman satu, gue.. agak samar buat ngingat yang satunya."

Raka yang tengah menuangkan makanan ke atas piringnya dan piring Alanna sempat terhenti beberapa detik.

"Nih, makan dulu biar gak pingsan karena kebanyakan mikirin mimpi lo itu."

"Makasih. Gue minta maaf karena jadi lo yang direpotin, padahal gue tuan rumahnya," Alanna terus menatap Raka yang sudah mulai menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.

"..."

Ia tahu, meskipun Raka tidak menjawab apa-apa tapi cowok itu terlihat sama sekali tidak keberatan.

10 menit berlalu.

"Kita berangkat sekarang."

"Pamit dulu sama Bibi biar dia yang kunci pintu rumah," Ujar Raka mengingatkan.

Alanna segera mencari keberadaan asisten rumah tangganya tersebut dan ia menemukan Bi Ida tengah berada di ruang cuci pakaian.

"Bi, aku sama Raka mau berangkat dulu ke sekolah, tolong kunci pintunya ya."

"Baik Non. Nanti Bibi kunci."

Alanna membalikkan badannya dan kembali menuju ke arah pintu utama, tepat dimana Raka sudah berada disana.

"Udah pamitnya?"

"Udah, nanti dia kunci pintunya."

"Mana kunci mobil lo?"

Alanna mengerjap, 'Bukannya bakal berangkat ke sekolah pakai motor lagi?'

"Lo gak punya helm kan? Gue gak mau nanggung resiko, jadi kasih gue kunci mobil lo," terang Raka lagi dengan agak kesal.

"Emangnya lo gak punya helm cadangan buat orang yang bisa aja numpang sama lo?"

"Kebanyakan omong lo, ya udah gue pergi duluan aja."

"Eh tunggu dulu sebentar! Apaan sih lo maen ancam-ancam aja? Kuncinya ada di atas meja nakas gue, gue bawa dulu ke kamar, gak usah ngomel-ngomel deh," balas Alanna yang ikut kesal.

Hanya beberapa menit saja, Alanna sudah kembali dengan membawa kunci mobilnya yang ia sodorkan ke tangan Raka.

"Bawa yang bener, gue cuman punya satu mobil, ini pun gue dapet karena ngerengek dua tahun sama Bokap gue, jangan nyampe kebaduk, awas aja lo kalo lo bawanya gak bener! Nyampe mobil gue lecet, gue giling lo ntar."

"Berisik."

Alanna mengepalkan tangannya dan seolah memukul Raka yang tengah membelakangi. Tapi bagaimanapun mereka akan tetap pergi bersama ke sekolah jadi Alanna harus mencoba berdamai dengan situasi menyebalkan ini.

"Raka, lo punya temen yang anggota geng motor kah?"

"Nggak."

"Terus kenapa -"

"Bego, kalo dia temen gue pasti dia gak akan bunuh kita. Jangan-jangan antara temen sama musuh, lo samain ya?"

"Ya nggak lah. Btw omongan lo ada benernya juga," Alanna tertawa geli mengetahui kebodohannya menanyakan hal demikian pada seorang Raka yang sering nalar dan menggunakan logikanya.

"Lagian, gue gak pernah nanya personal orang, setiap gue punya teman, ya gue akrab sama dia saat bahas tentang hal umum aja, gak jadi ke hal privasi."

"Karena lo tipikal orang yang gak bisa cerita masalah lo sendiri kan?"

Raka menganggukan kepalanya membenarkan.

"Tapi kenapa lo bisa cerita soal masalah lo itu sama gue?"

"Karena lo tanya."

"Kalo ada orang lain yang nanya sama lo, lo bakal jelasin juga?"

"Selagi mereka bisa menyelamatkan nyawa gue, gue rasa iya."

"Keputusan yang bener. Di luar sana, gak ada orang yang benar-benar bisa kita percaya. Lo harus percaya sama diri lo sendiri sebelum lo ngasih kepercayaan sama orang lain. Kadang lo berusaha menyimpan rahasia sementara orang yang lo percayain itu justru sibuk mencari kelemahan lo."

"Tumben lo bijak," celetuk Raka dengan diiiringi tawa geli. "Bukannya kejiwaan lo terganggu ya."

"Lo! Bisa banget deh buat bikin mood gue rusak! Bukannya ngedengerin omongan gue baik-baik, malah ngejekin gue. Mau lo apa sih Ka? Nyebelin banget sumpah," cerocos Alanna tidak berhenti sampai satu tarikan nafasnya habis.

"Gue cuman heran, gak usah marah. Kadang idup juga butuh kritikan."

Alanna memalingkan wajahnya dan menatap ke arah luar jendela.

"Gue paham sekarang. Ternyata, tetangga gue yang cerewet ini adalah salah satu korban yang pernah dikhianati orang kepercayaannya juga ya."

"Menurut lo gue gak akan dapat kesialan kayak gitu juga?"

"Gue gak pernah mendalami otak cewek."

Alanna menarik nafas panjang. "Gue pernah dikhianati, bahkan di depan mata kepala gue sendiri gue harus nerima kenyataan kalo teman gue ternyata cuman memanfaatkan gue aja."

"Wow."

"Btw, lo suka ya sama temen gue?" tanya Alanna seperti teringat sesuatu.

"Temen lo? Siapa? Kok lebih tau lo daripada gue?"

"Thea, yang kemaren gue bawa ke meja lo pas di kantin."

Raka mengangkat kedua alisnya, entah ekspresi apa yang sedang ia tunjukkan, tapi yang jelas Alanna tidak bisa menebak.

"Lo beneran suka kan sama dia?"

"Gak lah."

"Bohong."

"Apa untungnya gue bohong sama lo? Lo pikir jawaban gue barusan cuman karena gue pengen ngejaga perasaan lo gitu? Emang lo siapa gue? Tetangga doang kan?"

Deg.

Benar juga, 'Sial, si Raka ini kalo ngomong suka bener deh! Tunggu, apa gue mulai berharap sama si Raka?! Ya ampun gila aja! Jangan sampai Lan jangan nyampe lo suka sama orang kayak gini! Dangerous!'

"Malah ngelamun. Kerasukan, mampus lo."

"Iya gue emang bukan siapa-siapa lo, tapi justru karena bukan siapa-siapa lo jadi kalo emang lo suka sama temen gue si Thea itu, gue bisa comblangin lo berdua."

"Gak usah. Gue gak butuh perantara buat suka sama orang."

"Sejauh ini lo pernah suka sama berapa banyak cewek?"

"Ratusan, kayak lapisan oreo."

"Gila lo," rutuk Alanna dengan mengembungkan pipinya. 'Kenapa juga sih gue gak bisa nahan diri gue buat gak kepo sama dia?!'

Tidak terasa ternyata mereka sudah sampai di halaman sekolah, namun tidak seperti sebelumnya, Alanna dibawa pergi menuju ke parkiran khusus kendaraan siswa oleh Raka tanpa persetujuannya.

"Padahal gue lagi males jalan."

"Ya udah lo diem aja di mobil, nanti gue kasih info sama Guru mapel lo kalo lo masih sakit. Sakit jiwa."

Alanna menatap Raka jengkel tapi objek yang ditatap begitu justru tertawa geli.

"Buruan turun, lo bukan orang berkebutuhan khusus, bukannya bersyukur ya," cecar Raka.

"Iya bawel! Lagian tumben banget lo ngomelin gue seharian ini. Gue kira lo orang yang gak suka banyak omong, taunya dugaan gue yang salah."

Raka tidak lagi merespon, ia tidak ambil pusing dan lekas keluar lebih dulu dari dalam mobil dengan menekan tombol mengunci pintu sementara Alanna masih berada di dalam sana.

Sontak saja Alanna yang panik menggedor-gedor jendela mobilnya sendiri, hingga sebelum benar-benar menghilang di balik tembok lorong sekolah, Raka baru menekan tombol untuk membuka kembali mobil Alanna.

"Padahal gue bisa aja buka pintunya dari dalem, tapi si Raka sialan emang sengaja ngejebak gue biar alarm nya nyala! Nyebelin!"

Entahlah, meskipun mereka bisa akrab karena sebuah alasan dan itu baru terjadi dalam beberapa jam saja. Tapi Alanna merasa ia dan Raka memiliki banyak kesamaan. Raka tidak seseram dan secuek yang orang pikir.

●●●