webnovel

PSYCHOPATH LOVE

WARNING 21+ Update Sabtu-Minggu Apa kah menurutmu seorang Pscyo mempunyai hati tulus untuk mencintai....? Johan dengan segala kesempurnaanya, menyimpan sakit akan jiwa dan pikirannya. Mencintai diam-diam Adik tirinya, setitik cahaya dalam hati nya yang gelap. Tapi bagaiman jika si Adik mencintai orang lain..??

Hd_birulangit · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
24 Chs

9.PAPA

Saat Johan dan Lira sampai di ruang tengah yang luas dengan kursi-kursi besarnya yang terbuat dari akar pohon dengan lapisan empuk di dudukannya dan bantal-bantal kursi dengan cover nya yang bergaya bohemian.

Di situ telah duduk Seorang laki-laki berusia sekitar setengah abad yang tampak begitu berwibawa dengan kaos polos biru berkerah nya.

Di kursi lainnya duduk pula seorang wanita seusianya,dengan rambut panjangnya yang tergelung rapi tengah tersenyum ke arah mereka.

"Mamah...??" Wajah Lira seperti tak percaya.

Wanita yang ternyata adalah Ibu nya itu bangkit dari duduknya dan merentangkan kedua tangannya sambil tersenyum.

"Apa kabar Lir...?" ucap Liana dari kejauhan.

Senyum di wajah Lira langsung merekah. Ia berlari menghambur ke arah wanita itu dan memelukny erat.

"Kangen banget aku..." ucap nya sambil memandangi wajah wanita yang telah melahirkannya itu.

"Mama juga kangen padamu Sayang..." di kecup nya pipi kanan dan kiri putri nya dengan sayang.

"Bagimana pekerjaanya apa lancar...?" tanya Lira sambil memandangi wajah Ibu nya yang selalu terlihat cantik di matanya.

"Semua berjalan lancar berkat kerja keras Papamu." jawab Liana sambil membelai-belai rambut panjang anak gadisnya.

Sebelum kemudian wanita berusia sekitar 47 tahunan itu sadar jika ada Johan juga berdiri di belakang putrinya.

"Kemari lah Sayang..." Liana gantian merentangkan kedua tangannya dan berjalan ke arah Johan dan memeluknya. "Apa kabar President BEM kita..?" ia tersenyum sambil melepas pelukannya dan tersenyum memandangnya.

"Sangat baik Ma." Johan ikut tersenyum.

"Sepertinya hanya 1 bulan Mama tinggal, tapi kau semakin tinggi dan tampan saja." Wanita itu mengusap lembut pipi Johan yang masih menyungging senyum.

"Kak Johan di Kampus ternyata banyak yang suka Ma." Lira berkata sambil menyalami Papa nya yang tidak begitu peduli dengan adanya Johan di situ.

"Papa sehat...?" tanya Lira setelah mencium punggung tangan Papa tirinya.

"Sangat sehat Lir." Aji tersenyum hangat memandangnya, membuat wajah Lira tersenyum cerah.

"Apa Papa tahu kalau Kak Johan ternyata sangat terkenal di Kampus..?" Lira berkata setelah duduk di sebelahnya.

"Terkenal..??" Lelaki paruh baya itu menarik ujung bibirnya membentuk senyum meremehkan tanpa melihat ke arah anak lelakinya yang duduk tepat di seberang meja.

"Tentu saja terkenal." Liana yang akhirnya menimpali. Di pandagjya Johan dan di tepuk-tepuk pundak Johan yang duduk di sampingnya pelan.

Kini mereka berempat duduk berhadap-hadapan di ruang tengah bergaya etnic-bohemian dengan banyakny ornamen kayu yang di ukir dan warna-warni hiasan dinding yang saling bertabrakan warna.

"Anak Mama ini ganteng, pintar, baik lagi." Liana kembali berkata sambil memandangi wajah anak tiri nya itu dari samping. "Mama sangat beruntung punya anak Johan." ia tersenyum lebar.

"Jadi mama juga sudah tahu jika Kakak itu President BEM..??" mata Lira membulat.

"Tentu saja." Ucap Liana penuh kebanggan. "Hanya saja Kakak mu tidak banyak bicara, sama seperti Papamu." Liana melihat ke arah Suaminya. "Mereka hanya berbicara jika di tanya." ia terkekeh.

"Iya, Papa dan Kakak memamg mirip." Lira tertawa.

Ia menoleh ke arah Ayah tirinya yang duduk di sampingnya. "Papa tahu, saat mengetahui kalau Kakak adalah President BEM, Lira bangga sekali dan jadi sombong." Gadis berkuncir dengan rambut nya yang bergelombang itu tersenyum lebar. " Soalnya Lira jadi lebih di perhatikan baik Senior atau pun teman seangkatan." lanjutnya.

Lira sudah berkata dengan nada seceria mungkin, tapi respon dari orang tua itu hanya tersenyum tipis. Membuat Lira dan Ibu nya saling lirik.

Sesaat suasana hening dan hanya terdengar kicau merdu dari Burung Jalak Bali peliharaan Ayah nya yang sangkarnya ada di taman samping, yang berbatasan langsung dengan ruang tengah itu dan hanya di batasi oleh sekat dari ukiran kayu jati.

"Papa dan Mama ada di rumah sampai berapa hari...?" Johan akhirnya bersuara setelah tadi hanya diam dan saling tatap dengan Ayahnya.

"Ah kami..."

"Apa kau ingin kami cepat-cepat pergi lagi Jo..?" Aji memotong kalimat Istrinya sambil menatap Johan tajam.

Johan yang duduk di seberang dan hanya di pisahkan oleh meja kayu besar dari akar pohon yang bagian bawahnya masih membentuk akar itu tersenyum. "Aku hanya bertanya Pah..." ia berkata santai sambil menyandarkan punggungnya.

"Ah, iya !" Cepat-cepat Liana menengahi. "Jadwal kita memang tidak menentu, jadi wajar Johan bertanya.." ia berkata sambil melirik ke arah Lira, meminta bantuan.

"I, iya Pah." Lira berkata cepat begitu mendapat kode dari Ibu nya. "Se, sejak..." mata Lira berputar, berusaha mencari alasan yang tepat sebelum berkata. "Sejak Kak James dan Kak Jasmine menikah, hanya ada aku dan kak Johan di rumah ini jika Papa dan Mama berangkat ke Luar Negeri untuk bisnis. Jadi...Jadi...wajar kan kalau kita ingin tahu berapa hari Papa dan Mama di rumah, supaya kita lebih banyak waktu bersama." Akhirnya Lira berhasil menyelesaikan kalimatnya.

"Jo tahu pasti jadwal kami." Lelaki paruh baya dengan kulit wajahnya yang telah berkerut dan rambutnya yang telah memutih itu memandang Johan dingin.

"...Ah, benarkah...??" Lira pura-pura tak tahu, ia melirik ke arah Ibu nya dengan wajah panik.

"Dari mana Papa tahu jika aku mengetahui jadwal Papa...?" Di tatap dengan dingin oleh Ayahnya sendiri tak membuat Johan gentar. Sebaliknya ia tetap menunjukkan sikap santai dengan senyum tersunging di bibir nya.

"Bagaimana jika kita makan dulu ?" kembali Liana mencoba menengahi pembicaraan Ayah dan Anak tersebut.

"Bukankah kau jenius ?" Mengabaikan kata-kata Istrinya, Aji berkata dengan nada meremehkan meskipun kalimatnya pujian.

Mata hitam Johan menyorot tajam ke arah Ayah kandungnya tersebut.

"Jenius tapi tidak bisa mengungguli nilai Jasmine yang seorang wanita ??" Aji kembali berkata.

Lira dan ibunnya saling pandang tanpa berkata apa pun lagi. Mereka menunduk dan sesekali saling lirik dengan wajah gusar.

"Hanya seorang President BEM saja kau sudah sesombong ini." kembali Aji berkata meremehkan.

Johan tersenyum mendengarnya. Semua yang di situ tahu jika Johan tidak pernah menyombongkan apa-apa, termasuk jabatannya sebagai President BEM.

Tapi entah kebiasaan atau apa, Aji sering kali seperti itu. Memarahi, mengatai yang bukan-bukan, bahkan memukul anak lelaki bungsu nya tanpa sebab.

Dan itu di lakukan tiap kali ia berada di rumah setelah pulang dari pekerjaan yang mengharuskannya harus bolak-balik Jakarta-Beijing.

"Kakak." panggil Lira saat Johan akan memasuki kamarnya.

"Ada apa Lir...?" tanya Lelaki itu sambil tersenyum.

Tapi Lira tak menjawab dan secara tiba-tiba malah memeluknya, membuat Johan tertegun.

"Aku nggak tega sama Kakak..." ucap Lira setelah melepas pelukannya.

Di pandanginya Kakak tirinya tersebut dengan wajah muram.

"Kenapa Papa selalu berkata ketus seperti itu dengan Kakak..." Lira berkata sambil menunduk sedih. "Padahal Kakak selalu membuat Papa bangga..." lanjutnya.

Di raihnya kedua pundak Lira, membuat gadis itu mendongkak ke arahnya. "Kenapa kau sedih...?" tanyanya. "Papa seperti itu hal yang biasa buatku." ia tersenyum.

"Tapi Papa seperti itu karena menggangap Kakak lahpenyebab Istri nya meninggal." kening Lira berkerut dengan mata yang berkaca-kaca menatap Johan. "Padahal...Kakak juga pasti ingin Ibu kandung Kakak itu hidup..." lanjutnya. "Siapa sih yang mau ibu nya meninggal saat melahirkannya...??" Lira sudah terisak.

Wajah Johan berkerut sedih. "Lir, jangan menangis..." ucapnya sambil menghapus air mata di pipi Adik tirinya tersebut.

"Papa itu jahat sekali sama Kakak, padahal sudah bertahun-tahun...tapi sikapnya pada Kakak nggak berubah..." Air mata Lira terus meleleh mengingat dulu ketika masih kecil, sering sekali Ayahnya itu memukul Johan sampai berdarah-darah. Padahal saat itu usia Johan masih 10 tahun.

"Jangan menangis Lir..." Johan memeluk Adiknya sambil mengelus puncak kepalanya. " Selama ada kau di sini, aku akan baik-baik saja..." matanya terpejam dengan senyum damai yang menghiasi wajah tampannya.