Arwan mengajakku berkeliling. Ia mengendarai motor dengan santai, jalanan pun tidak begitu ramai karena beberapa orang memilih kembali ke rumah untuk beristirahat. Saat ini kami tengah menikmati wedang jahe yang dijual di pinggir jalan. Wedang jahe ini menghangatkan tubuhku, rasanya separuh energiku kembali.
"Gimana, suka?" tanya Arwan.
"Suka banget! Badanku juga jadi hangat," jawabku.
Arwan tersenyum, lagi-lagi aku belum terbiasa melihat senyumnya. "Syukurlah ...."
Aku bersyukur bertemu dengan Arwan lagi. Aku sangat ingin bertanya tentang masa lalu kami, salah satunya penyebab aku hilang ingatan. Tetapi melihat dia mau menemaniku begini membuat tidak enak hati.
"Arwan tahu ngga? Kamu udah kaya pemeran utama laki-laki yang selalu ada untuk pemeran utama perempuan. Rasanya kamu selalu ada disaat aku sedih. Entah kamu sadar atau tidak, kamu sudah menghiburku meski aku bukan pemeran utama perempuan dalam hidupmu," ucapku seraya meminum wedang jahe.
Arwan melihatku dengan senyumnya. "Padahal emang kamu pemeran utama perempuan dalam hidupku."
Aku membelalakan mata sembari melihat Arwan. Tatapan mata kami bertemu, dari matanya aku sama sekali tidak terlihat kebohongan. Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa yang pada akhirnya Arwan mengelus pucuk kepalaku.
"Ucapanku barusan ngga usah dipikirin. Itu hanya urusan perasaanku saja, kamu ngga udah terbebani. Ok?!"
"T—"
"Yuk kita jalan lagi, udah habiskan wedang jahenya?" Arwan mengambil gelas ditanganku dan menaiki motornya.
Lalu, Arwan kembali mengajakku berkeliling. Aku begitu menikmati suasana yang dimana kanan dan kiri dipenuhi rerumputan atau pepohonan serta rasa sejuk menyelimuti kami sedari tadi.
Arwan menepikan motornya. Ia mengeluarkan ponsel untuk mengabadikan pemandangan indah ini. Dari sini kami dapat melihat pemukiman penduduk, langit yang mulai bersinar terang. Meski kami tidak dapat melihat matahari terbit, tetapi kamu sudah puas dengan pemandangan dan suasana yang luar biasa kita dapatkan saat di Kota.
Arwan membiarkan aku duduk dimotornya sedangkan ia berdiri disampingku. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku memikirkan seandainya saat ini waktu berhenti, aku tidak harus menghadapi mereka atau kemungkinan yang terburuk teman sekelas. Selain itu, adanya Arwan dalam ingatanku membuatku yakin bahwa kami dekat. Maka dari itu, Arwan mendekatiku kembali dan aku tidak merasa asing maupun canggung.
Sebaliknya, Arwan tengah menyesal telah mengungkapkan perasaannya padaku. Ia hanya berharap aku tidak terganggu karena Arwan tidak ingin hubungannya menjadi canggung.
"Arwan …" panggilku memecah keheningan.
Arwan diam seraya meliriku sebentar.
"Makasih udah menghiburku, walaupun kamu tidak bermaksud demikian tetapi izinkan aku menganggapnya seperti itu. Aku harap kita bisa terus berteman," ucapku melayangkan senyum untuk Arwan.
Selama seperkian detik Arwan terpesona oleh senyumanku, lalu ia juga memperlihatkan senyumnya. "Tanpa kamu ucapkan pun kita akan terus menjadi teman kok. Aku minta kamu jangan pernah sungkan untuk meminta tolong padaku."
"Akan aku ingat itu," kataku pada Arwan.
Arwan senang aku tidak terganggu dengan ucapannya dan aku senang dengan Arwan yang ada disisiku. Terima kasih, Arwan sudah membuat kenangan pahitku menjadi manis.
***
Tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul 9 pagi. Arwan dengan senang hati mengantarkan aku pulang.
"Sekali lagi makasih ya Arwan …" ucapku setelah turun dari motor dan memberikan helmnya.
Arwan menerima helm seraya berkata, "sama-sama, inget ya ngga usah sungkan buat minta tolong sama aku," Ingatnya lagi.
"Hahaha iya … kamu hati-hati ya, kalau udah sampai rumah kabari," kataku.
"Ok! Udah sana masuk."
Aku melambaikan tangan terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam rumah. Arwan membalas lambaian tanganku, lalu pergi dengan motornya.
Aku memasuki rumah, menengok kesana kemari mencari ibu dan ayah.
"Kamu ngapain celingak celinguk gitu? Udah kaya maling," ucap ibuku dari arah dapur.
"Syukurlah … Ibu ada, aku khawatir Bu. Habis pintu ngga dikunci tapi kok sepi, biasanya ayah udah asik nonton tv," jelasku.
Ibu mengangguk-ngangguk mengerti. "Ayahmu lagi ke warung sebentar, ibu minta tolong beliin minyak sama gula. Tapi sampe sekarang belum pulang-pulang."
Kali ini aku yang mengangguk mengerti.
"Udah sana kamu mandi, ganti baju istirahat. Kalau mah makan, makan dulu aja. Nanti Ibu buatun roti bakar," titah ibu.
"Aku mau langsung istirahat aja Bu … masih kenyang juga hehehe."
Ibu mengangguk seraya kembali ke dapur. Sedangkan aku, sesuai perkataan ibu, pergi mandi, ganti baju, istirahat.
Lega rasanya bisa membaringkan tubuh di kasur. Aku sangat mengerti dengan istilah sebaik-baiknya tempat, rumah adalah tempat paling nyaman.
Drrtt … drttt … drtt!
Getaran ponsel mengalihkan perhatianku. Aku langsung mengambil dan memeriksa siapa yang mengirim pesan.
Arwan (2)
"Ah ternyata dari Arwan," gumamku.
'Keisha!!'
'Aku udah sampai rumah ya.'
Aku bernapas lega ketika membaca pesan Arwan. Aku selalu merasa bertanggung jawab ketika seseorang mengantarkan aku ke rumah, oleh karen itu aku selalu minta agar mengabari jika sudah sampai di rumah tanpa kecuali Farel.
Aku termenung sesaat sesudah membalas pesan Arwan. Farel apa kabar? Apa hubungan dengan Mia berjalan dengan baik? Mengapa aku tidak mendengar apapun baik dari Farel atau Mia? Aku ingin sekali pergi ke rumahnya, namun rasanya tubuhku tidak ingin meninggalkan kasur.
Aku meletakan ponselku kembali sebelum mataku terpejam.
***
Sebenarnya Arwan berbohong ketika ia sudah sampai rumah, nyatanya ia sudah sampai ke tempat pemakaman Devan. Arwan menceritakan semua pada Devan, ia juga sempat meminta maaf karena tidak membawa apapun.
"Devan … kamu ingatkan janjiku saat pertama kali aku mengunjungimu? Aku berjanji apapun yang terjadi aku akan selalu disisinya terlepas dari perasaan pribadiku."
Arwan diam beberapa saat, lalu ia merasakan hawa kehadiran seseorang. Arwan menengok dan mendapati Farel dengan secarik kertas digenggamannya.
"Kebetulan banget ketemu disini," ucap Arwan.
Farel mendiamkan Arwan. Arwan memperhatikan Farel melipat kertas dan menimpanya dengan batu kecil agar tidak terbang. Arwan dapat menebak kalau isi kertas tersebut adalah puisi.
"Aku lega ketika kamu masih ingat dengan Devan. Aku kira kamu tidak pernah mengunjunginya," sindir Arwan.
"Aku tidak akan sekejam itu," balas Farel berdiri disamping Arwan.
"Oh ya? Lalu gimana hubunganmu dengan Mia lancar?"
Ucapan Arwan membuat Farel terheran-heran. Bagaimana ia tahu?
"Ngga usah kaget gitu … aku pernah liat kamu bergandengan tangan, ah lebih tepatnya Mia menggandeng tanganmu. Kalau bukan pacar lalu siapa?" jelas Arwan menjawab rasa penasaran Farel.
"Kamu ngga perlu tahu," balas Farel hendak meninggalkan Arwan.
"Oh ya? Kalau gitu pikirkanlah dampak dari perbuatanmu. Akibat perbuatanmu, kamu sudah membuat seseorang terluka," kata Arwan membuat langkah Farel terhentu.
"Seseorang? Maksudmu Kei?" balasnya terkejut.
"Pikirmu siapa lagi?"
Farel langsung berlari sekuat tenaga ke motornya. Ia sangat tidak memikirkan dampak akibat perbuatannya, berkat Arwan ia sadar bahwa Farel hanya memikirkan diri sendiri.
***