webnovel

Ritual Permainan Dimulai

"Aman? jangan senang dulu karena ini sudah dimulai."

***

Tak perlu waktu lama kami tiba di area asrama. Suasana yang sepi membuat angin berhembus cukup kencang saat kami datang. Ayunan rerumputan dan pepohonan menjadi paket lengkap alasan aku mengabari Iqbal untuk segera datang.

Aku memperbaiki tatanan rambutku.

"Nggak ada signal." Kataku pada Nawal di depan. Ia sibuk melepaskan sabuk pengaman. "Mungkin cuacanya kali." Kata Nawal.

Aku melihat keluar jendela mobil. Memang sedikit mendung, terdapat rintik-rintik hujan. Lengkap sudah malam ini.

"Bentar lagi turun hujan." Kataku.

"Tenang, gue bawa payung Ra." Nawal menatapku memperlihatkan payung yang ia bawa, Aku memegang kedua tangan, tampak gelisah sekali.

"Santai kale." Nawal tertawa.

Kami keluar mobil. Teman-teman sudah berkumpul di depan gerbang. Aku melihat jalanan kanan kiri. Hanya hutan dan sawah. Gelap sekali karena sumber pencahayaan satu satunya hanya lampu jalan yang berjarak berberapa meter dari sini.

Benar kata Adlan. Di sini jauh dari perkampungan.

Akmal tengah mengotak atik gembok yang melingkar menutup pintu gerbang.

Yang lain sibuk bercengkrama sesekali melihat ke dalam gerbang. Gedung Arama yang terbengkalai.

"Kalau lo nyongkel-nyongkel nggak jelas, gimana mau kebuka tuh pintu." Celetuk Zakky.

Akmal mencoba memotong mata rantai dengan alat pemotong gembok yang dibeli sebelumnya dari supermarket. Nggak berhasil sama sekali padahal ia mengerahkan seluruh tenaganya hingga otot-otot di pergelangan tangannya terlihat. Raut wajahnya tampak merah ngosngosan seperti habis makan seblak.

Parah.

"Bacot lo. Nggak bantuin ngoceh mulu." Geram Akmal.

Aku yang melihat kegaduhan itu akhirnya turun tangan melihat pagar tersebut. Mengamati sekilas dan menyimpulkan.

"Coba potong besi ini kemudian tendang kuat-kuat di bagian ini." Kataku menunjuk salah satu titik tumpu antara rantai yang mengikat dengan pagar.

Setelah motong Akmal berdiri. Berancang-ancang.

Brak!!

Brak!!

Brak!!

Dipercobaan ketiga baru bisa terlepas mata rantainya. Gerbang sukses dibuka. Kami memasuki area asrama. Berjalan beriringan. Karena gelap kami menggunakan cahaya senter dari ponsel untuk menerangi sekitar agar tidak terjelembab batu.

Kami melewati gedung satu ke gedung berikutnya. Cahaya senter menyorot bangunan kusam retak di berberapa sisi, rumput raksasa di bagian bawah dan tanaman yang rambat di bagian atas membuat suasana mulai mencekam. Terlebih lagi kegelapan di berbagai tempat seakan-akan menyimpan sosok menyeramkan tengah memandangi kami dengan tatapan senang. Seperti melihat mangsa.

Aku tidak berani menengok. Hanya berjalan lurus ke depan.

"Main di mana?" tanya Haniyah memecah keheningan.

Akmal memimpin di depan. Kami berjalan cukup jauh dari gerbang masuk dan saat ini berada di sekitar area gedung 5.

"Kita main agak jauhan aja. Biar seru," jawabnya.

"Nggak ngundang keributan kan?" tanya Adlan tepat di belakang Akmal.

"Aman. Jauh kita." Kata Zakky menjawab.

Teman-teman yang lain hanya diam mengekor. Tidak bertanya apapun. Entah karena percaya semua akan baik-baik saja atau takut sehingga tidak bisa berkata apa-apa.

Dua menit berjalan. Kami tiba di suatu tempat.

"Tepat." Akmal mengomando.

Kami berhenti di depan pintu belakang gedung sepuluh lantai pertama. Dirasa sangat jauh dan memang sangat jauh. Akmal mengeluarkan bungkusan yang ia bawa. Lalu membagikannya pada setiap orang. Satu orang dapat dua buah barang.

Ini lilin dan korek api. Aku menerimanya.

Akmal menjelaskan permainan yang akan kami lakukan. Namanya Midnight Man. Samar-samar aku mulai menyimak aturan mainnya. Juga larangan-larang permaianan yang dikatakan Akmal.

"Permainan ini berhantu Wal." Bisiku di sela-sela yang lain antusias menyimak.

"Kan udah dijelasin di kafe ra." Jawab Nawal enteng.

"Tapi ini menurutku sedikit berbahaya." Bisiku lagi.

Nawal tidak mendengarkanku. Ia hanya menggelengkan kepalanya dan kembali menyimak arahan Akmal. Aku tidak percaya Nawal akan seantusias ini.

Dibalik kebingunganku, sorot mataku tanpa sengaja melihat lebih jelas gedung sepuluh. Dari bawah sini semua tampak besar. Hingga di jendela lantai tiga ada bayangan hitam melihat ke arahku. Samar-samar kulihat bentuknya menyerupai seseorang yang mengintip. Tapi instingku mengatakan bisa saja itu hanyalah refleksi pantulan kaca.

Ah, rupanya ketakutanku membuat pikiran sedikit kacau. Mana ada seseorang tinggal di sini. Jauh dari perkampungan, jauh dari gerbang depan.

"Jika permainan ini dimulai, kunci menyelesaikannya hanya dua. Bertahan hidup sampai jam tiga, atau mengelilingi area permainan secara runtun tanpa menunggu jam tiga." terang Akmal.

Aku menggigit bibir. Keringat dingin mendengar perkataan Akmal.

Betahan hidup?

Apakah aku salah dengar? ini uji nyali kan. Nggak ada sangkut pautnya dengan nyawa. Tapi kenapa Akmal berbicara tentang bertahan hidup? menyiratkan permainan ini berbeda dengan permainan uji nyali lainnya.

"Lilin yang lo semua pegang adalah benteng terakhir dari gangguan arwah yang sebentar lagi kita panggil. Jangan biarin lilin itu mati selama sepuluh detik tanpa dinyalakan, atau hal yang buruk bakal terjadi menimpa kita. Gue nggak menyaranin pake ponsel sebagai penerangan lainnya. Itu akan ngebuat arwah cepat mengetahui posisi lo. Jangan panik, tetap tenang. Semua akan aman-aman aja."

Suasana semakin mencekam. Tidak ada komentar. Semua sudah mengerti cara bermain.

Mendadak terdengar Suara geluduk awan hitam . Membuat kami seketika kaget bukan kepalang. Ditambah lagi angin kencang menerpa kami, tanda-tanda hujan akan segera turun.

Rayyan mengangkat tangannya. Hendak bertanya.

"Mainnya sendiri-sendiri atau barsama-sama? Kurasa lebih baik kita jalan bareng-bareng."

Bagus.

"Gue setuju sama pendapat Rayyan." Sahut Eugine. "Kalau terjadi apa-apa nanti bisa saling bantu. Yah, gue harap nggak terjadi hal-hal aneh sih." Tambahnya.

Semua orang mengangguk. Aku menghela napas. Syukurlah, aku bisa tenang sekarang.

Semua setuju.

Akmal melakukan ritual permainannya. Ia mengeluarkan selembar kertas dan menyuruh kami menuliskan nama masing-masing menggunakan tinta merah yang ia siapkan sebelumnya. Setelah menulis diwajibkan mencap namanya dengan darah setelah menyilet ujung jari. Kata Akmal agar lebih memikat arwah datang ke tempat ini. Kami mengantri bergilir untuk menuliskan nama.

Kok tinta merah?

Kok darah?

Kuamati lebih teliti tinta yang digunakan. Sedikit kental warna merahnya. Dari mana Akmal mendapatkan tinta sekental ini. Atau jangan-jangan. Aku langsung menyalakan ponselku sebelum permainan ini dimulai.

"Ahh, untunglah." Kataku. Ada sedikit signal di sini. Itu sudah lebih dari cukup untuk lekas mengabari Iqbal lewat sms panjang. Pesanku sebelumnya juga sudah ia baca, kemungkinan saat ini Iqbal dalam perjalanan kemari.

Permainan dimulai.

Pukul 00.00 tepat Akmal mengetuk pintu gedung sebanyak 22x. Peraturan awal permainan tertulis harus mengetuk pintu sebanyak 22x. Setelah selesai kami masuk ke dalam gedung dan pintu ditutup kembali. Gelap. Sejauh cahaya lilin menerpa lorong masih ada kegelapan yang tidak bisa kami lihat.

"Namanya Joe." Kata Akmal menyalakan lilin. Itu nama arwahnya. Arwah tersebut akan mengganggu kami dalam permainan ini. Semua tampak siap.

Kami sekarang mirip perkumpulan pemuja setan atau kelompok uji nyali yang akan menggerebek salah satu bangunan. Lihatlah sekarang, kami memenuhi lorong sambil membawa lilin. Sesekali berbisik untuk menenangkan diri sendiri.

"Kita jalan sekarang-" Pimpin Akmal melangkah ke depan.

Grep!

Pintu tadi tiba-tiba terbuka. Persis di belakangku. Ku palingkan wajahku perlahan untuk melihatnya. Pintu itu sepenuhnya terbuka lebar seperti ada orang dari luar yang mencoba masuk. Padahal tidak ada seseorang. Kosong.

Semua orang menoleh ke arahku. Kenapa malah menatapku?

Diam. Tidak ada yang gerak sama sekali. Bahkan Akmal yang tengah berjalan ke depan untuk memimpin barisan terhenti dan menoleh ke belakang untuk melihat siapa yang berani-beraninya membuka pintu setelah ia tutup.

"Ra. Lo buka pintu?." Tanya Nawal pelan.

Wajahku berubah drastis atas pertanyaan Nawal. Jelas-jelas itu bukan aku. Aku menggelengkan kepala dengan capat. Bulu kudukku mulai berdiri.

"Sumpah, bukan gue." Jawabku.

"Tenang. Semua tenang. Tetap jaga lilinnya nyala." Kata Akmal mencoba menenangkan situasi yang mendadak tegang ini. Bulu kudukku masih berdiri. Aku tidak bisa lagi menoleh kebelakang.

Akmal kembali menutup pintu.

Kami masih diam membisu.

"Santai guys kita lanjutkan perja-"

Ssst!

Nyala lilin Zakky tiba-tiba padam. Kami semua menoleh. Situasi tambah tegang. Padahal baru dimulai tapi hal-hal aneh mulai bermunculan.

"Zak, nyalain." Pinta Akmal.

Zakky menyalakan lilinnya kembali. "Sorry-sorry. Mungkin ini kena angin. Gue nggak fokus." Kata Zakky.

"Nggak lucu Zak." sikut Adlan ikut panik.

"Siapa juga yang ngelucu."

Aku mendekati Nawal. Tidak ingin jauh-jauh darinya kali ini. "Tenang Ra, tenang. Cuman kebetulan." Kata Nawal mendekapku.

Ssstt!!

Lilin kami mati total. Semua lilin. Tanpa terkecuali.

Refleks semua orang ketakutan. Satu dua menjerit. Tergesa-gesa menyalakan lilin. Tanganku bergetar hebat memegangi korek api. Napasku tersenggal berat hingga berpacu layaknya pompa. Gelap gulita dan semua orang sibuk menyalakan lilinnya masing-masing. Waktu semakin terasa cepat.

Suasana gaduh.

Sepuluh detik. Atau hal buruk terjadi.

Tenang, tenang Ra. Tenangkan dirimu dan nyalakan lilinnya secepat mungkin. Di keramaian ini aku berkali-kalai menggesek pemantik korek apinya. Tidak berhasil. Kucoba lagi dan lagi.

Nyala! Tanpa buang waktu langsung kuarahkan ke sumbu lilin.

Lilinku kembali menyala.

Aku tenang. Tapi napasku masih tidak karuan.

Drapp!! Duk!

Suara orang terjatuh.

"Tolong!!! Tolong!!!" aku melihat sumber suara. Dari depan. Seseorang terjatuh. Cahaya remang-remang lilin juga ikut terjatuh dan mati. Teman-teman yang lain juga panik melihat apa yang terjadi. Mengerikan sekali, seseorang terjatuh terseret kekuatan tak kasat mata.

"Yah!!!" teriak Rachel. Ia mengejar tubuh yang terseret itu. Disusul Abid, Citra, dan Kholqi merasa sesuatu yang berbahaya akan terjadi pada temannya, ia pergi menyusul.

Haniyah. Ia terseret oleh bayangan misterius. Dibawa menuju kegelapan. Haniyah meronta-ronta, tangannya bergerak sana sini mencoba memberontak terhadap sesuatu yang menyeret tubuhnya. Namun sayang, Ia sudah hilang terlebih dahulu ditelan kegelapan

"Jangan!! Jangan berpencar!!" Teriak Akmal ketika melihat teman-teman mengejar Haniyah. Suasana semakin panik tidak terkendali.

Akmal hendak memperingatkan lagi. Tapi cahaya lilin mereka sudah melesat pergi meninggalkan kerumunan.

"Jangan pergi!! Tetap disini!! Tenang!!" teriak Akmal sekali lagi.

"Ini semua gara-gara lo Mal!!!" teriak Zakky marah. Tak menyangka kalau permainan ini berhasil dimulai.

"Tenang dulu. Jangan gegabah. Kita cari mereka sama-sama!!." Pinta Akmal. Berharap permintaannya disetujui, berberapa teman yang sudah ketakutan memilih melarikan diri lewat pintu belakang. Ingin meninggalkan permainan.

Semuanya kacau balau. Lilin berceceran di lantai. Banyak yang membuangnya dan lansung pergi begitu saja.

"Lo harus tanggung jawab Mal!!. Haniyah hilang barusan dan lo malah nyuruh tenang?. Itu temen lu hilang bodoh!! "Zakky panik sekali, wajahnya merah padam. Ia kemudian pergi meninggalkan kami ikut mancari Haniyah.

Sisa Aku, Nawal, Rayyan, Akmal.

Aku merinding. Memegang tangan Nawal. Ia juga tampak ketakutan.

Astaga, mengapa semua ini terjadi. Tidak ada yang menyangka permainan berhasil diaktifkan.

Dalam gelap. Sunyi dan, sepi. Semua sudah terlanjur. Jalan satu-satunya adalah dengan menyelesaikan permainan bagaimanapun caranya.

"Tetap bareng. Kita cari mereka." Kata Rayyan buka mulut sambil memegang lilin di tangan kanannya.

***