webnovel

Azkia El Meira

"Di manapun kalian berada. Tetaplah berusaha tenang meski ketakutan datang menyerang."

***

Meira Pov

Ini aku. Meira.

Malam ini, tepatnya pukul sembilan malam tengah menghadiri acara reuni SMA. Aku baru datang ketika acara sudah dimulai. Rada malu sih tapi aku berusaha setenang mungkin kayak orang nggak punya dosa. Tabiat burukku.

"Udah ayo masuk, Ra." Kata Nawal temanku. Ia memegang lenganku tapi aku menahan diri. Sebelum berangkat kami sudah ada janji buat jalan bareng. Walaupun pengennya aku pergi sama Iqbal, kekasihku. Tapi kuurungkan niatku ketika tahu Iqbal masih ada tugas kantor. Numpuk banget malahan, hingga ia minta maaf padaku nggak bisa jalan bareng. Sejujurnya aku sedih. Tapi tak apalah, lebih baik fokus kerja tanpa beban. Daripada repot-repot jemput dan anterin sedangkan kerjaan numpuk, aku sendiri ngerasa nggak enak.

"Lo jangan sedih gitu dong. Iqbal pasti dateng Ra, lo udah ngomong kan kalau malam ini ada acara kumpul alumni?" tanya Nawal. Matanya sipit, melihatku seperti ada yang kurang.

"Udah. Katanya nyusul." Kataku.

"Nah, udah aman tuh. Terus ngapain cemberut gitu?"

Aku tidak menjawab. Ada alasan tertentu dan aku tidak bisa mengutarakannya pada Nawal.

Dari dalam kafe terdengar suara riuh.

Gelak tawa yang menggelegar, sesekali ada suara tepuk tangan satu dua orang. Aku melihat barisan mobil dan motor yang terparkir. Kuharap malam ini sejenak aku melupakan sedikit kegundahan dalam diriku.

"Hei, Meira Nawal? Kenapa nggak masuk?" kata seseorang keluar dari kafe. Ia mendapati kami berdua tengah mengobrol, tidak lekas masuk. Aku dan Nawal menatapnya. Itu Citra, ia menyapa kami dengan ramah.

Aku tersenyum. Balik menyapanya.

"Ehh, malam cit. Nggak, ini mau masuk, tapi elu keburu keluar. " Rada kikuk. Astaga. Aku menyalaminya. Begitu juga dengan Nawal, sedari tadi ia tersenyum simpul.

Citra menyadarinya. "Biasa aja kali. Udah lama nggak ketemu harus canggung kan." Citra terkekeh. Aku hanya membalasnya dengan senyuman.

"Udah dari tadi?" tanya Nawal.

"Nggak juga. Baru sepuluh menitan lah. Baru pulang dari kerja langsung ke sini. Lagian jarak dari tempat kerja juga deket." Kata Citra. Memang benar, ia kelihatan habis pulang kerja, masker yang ia kenakan dan jas putih ia bawa di tangan kanan tandanya. Ia bekerja di salah satu rumah sakit ternama kota ini. Menjadi dokter muda. Sejak SMA memang ia pandai sekali dalam berbagai mata pelajaran, nggak kaget sih kedua orang tuanya juga berprofesi sama.

"Kalian tambah cantik." Kata Citra mengagetkanku. Citra malam ini juga kelihatan cantik sekali. Cocok memakai kemeja biru dengan rambut hitam terjuntai se bahu. Senyum tipisnya membuat siapa saja berpikir sama sepertiku.

"Bisa aja lo. Tapi seharusnya pujian itu cocok tuh buat si Meira." Sikut Nawal.

Aku menoleh tidak paham.

"Emang kenapa?" tanya Citra ingin tahu. Matanya berbinar-binar. Nawal menunjukkan ekspresi aneh dengan menaikkan dan mengerutkan alis tipisnya. Aku bengong melihat tingkah satu anak ini.

Nawal terkekeh.

"Meira mau nikah." Cepat, padat, jelas dan langsung membuat wajahku merah seketika. Jadi salah tingkah.

Kucubit Nawal sedikit keras. Hingga ia terkejut, aw!

Citra terlihat antusias. "Eh beneran? Wahhh!! Selamat Ra. Astaga, kabar gembira banget nih. Ciee." Kata Citra. Ia menepuk pundakku.

Aku membalasnya dengan senyuman.

"Maskasih."

"Ehh btw sama siapa?"

"Nanyain gue?" kata Nawal cepat.

"Bukan. Kalau elu sih masih lama. Wkwkwk." Kekeh Citra. Kocak juga nih anak.

"Huhuhu. Gini amat nasib gue. Dideketin doang tapi ujung-ujungnya kena ghosting. Kan jadi pengen." Rengek Nawal. Aku, citra tertawa.

"Eh, siapa?" tanya Citra sekali lagi.

Aku ragu untuk menjawab. Pipiku semakin merah. Antara malu atau seneng. Memang begitu kenyatannya. Aku tidak bisa mendiskripsikan dengan baik momen ini.

"Iqbal." Singkatku.

"Aiihhh!!! Ngapain bahas ini sih." Tambahku. Sekarang aku malu.

"Wahhh!!! Selamat ya Meir. Moga lancar. Amin." Doa Citra. Aku juga mengamini. Nawal juga tersenyum dan menyikutku berkali-kali karena saking saltingnya aku untuk menyembunyikan kebahagiaanku. Aku tidak membalas dan hanya tersenyum.

Bicara tentang lamaran Iqbal.

Iqbal melamarku seminggu yang lalu. Di hadapan Papa Mamaku ia terus terang memohon izin untuk menggandengku dalam satu ikrar suci. Tentu saja kaget. Aku yang saat itu hendak pergi bekerja dikejutkan dengan panggilan Mama menyuruhku datang ke ruang tamu. Katanya ada tamu penting. Aku tidak curiga. Toh Iqbal tidak memberitahuku sebelumnya kalau ia datang pagi itu.

Tepat sekali. Papa tengah berbincang-bincang dengan Iqbal di depannya. Ketika aku datang ia melihatku dan tersenyum. Papa juga melakukan hal yang sama. Aku duduk di samping Papa dan mendengar semua penjelasan singkat dari Iqbal atas maksud kedatangannya.

"Kata Papamu semua tergantung keputusanmu."

Iqbal mengeluarkan kotak merah dari sakunya. Ambil napas terlebih dahulu seperti di film-film romantis. Drama abis dan bikin baper.

Aku tahu kotak itu. Iqbal membukanya dan 'ya'.

Isinya cincin.

Aku terkejut dan tidak bisa berkata-kata. Dagup jantungku berpacu sangat cepat, hanya enggangan napas yang bisa kurasakan. Waktu terasa melambat, deru angin terasa menyenangkan. Satu tarikan napas aku berkata, "ya, aku mau."

Hari itu. Aku merasa bahagia.

***

Acara inti sudah selesai. Kami hanya makan-makan dan ada sedikit ucapan terima kasih oleh ketua angkatan SMA kami dulu. Setelah itu diadakan permainan kecil-kecilan hingga akhirnya kami tertawa bersama-sama. Acara ini berakhir dengan menonton video pendek rahasia yang diam-diam memutar kembali kenangan semasa SMA dahulu. Bersamaan dengan itu, kami pun bernostalgia.

Tepuk tangan.

Acara pun berakhir.

Kulirik jam tanganku. Pukul sepuluh lewat lima belas malam. Satu dua kali kucek layar ponselku berharap ada notif dari Iqbal. Ia sudah janji untuk datang tapi tidak ada kabar hingga saat ini. Padahal barusan aku sudah menghubunginya untuk segera datang.

Suasana masih ramai. Teman-teman masih belum pulang, malah asik bercengkrama dengan sesama. Berberapa memang ada yang sudah pulang, berpikir acara sudah selesai dan juga udah malam alangkah baiknya pulang.

"Sendirian?" kata seseorang dari belakang. Aku menoleh ke sumber suara. Haniyah Rupanya. Awal aku masuk memang sudah melihatnya. Semua orang yang hadir hanya sekitar dua puluh lima persen dari total jumlah angkatan kami. Menurutku itu udah lumayan banyak. Kebanyakan tidak bisa hadir karena alasan pekerjaan. Sisanya tidak ada kejelasan.

"Nggak, itu sama Nawal." Aku menunjuknya.

"Maksud gue sekarang." kata Haniyah dengan nada kurang menyenangkan.

Aku tidak menjawab. Jujur, hubunganku dengan Haniyah tidak terlalu baik. Aku nggak cocok sama orang ini sejak awal masuk SMA. Setiap kali berurusan dengannya aku akan selalu mengalah dan tidak memperpanjang masalah. Bertemu di jalan pun aku hanya bisa sok cuek. Begitu juga sebaliknya.

"Iqbal mana?" tanya Haniyah. Kenapa wanita ini tiba-tiba menanyakan soal Iqbal. Aku terlebih dahulu mengangkat tangan dan memesan secangkir kopi pada pelayan kafe. Pelayan itu mengangguk dan kembali ke dapur untuk membuat.

"Lo tanya apa tadi?" ulangku. Pura-pura tuli.

"Cowok lo, Iqbal. Kemana dia?"

"Dia lagi kerja. Di kantor, bentar lagi jemput gue. Kenapa?"

"Cuman tanya doang. Aneh aja, cewenya ditinggal gitu aja. Dan sekarang dia nggak hadir di acara reuni ini. Solidaritasnya perlu dipertanyakan" Kata Haniyah ketus. Astaga ini orang, sudah berapa tahun sikapnya tidak berubah. Masih saja sama. Bikin emosi, suka cari gara-gara.

Aku mengontrol emosiku.

Lagi-lagi aku tidak menjawab pernyataan Haniyah yang kupikir nggak ada untungnya naik darah kepancing emosi wanita ini. Aku memilih sibuk memainkan ponselku.

"Gue denger-denger lo bakal nikah sama Iqbal. Emang Iqbal udah mapan? Buat ngidupin lo sama meluangkan waktu buat lo? Sekarang aja ngeluangin waktu buat hadir di acara langka ini dia nggak bisa. Apalagi buat hidup semati sama lo." Kata Haniyah spontan, meminum jus sirsaknya. Ia mengambil tisue dan membersihkan sisa busa di bibir merahnya. Berdeham sebentar. Kasar sekali omongannya. Mendengar hal itu, aku semakin tak acuh menanggapinya. Semakin panas hati ini mendengar orang yang kucintai dimaki di depan mata kepala sendiri. Tapi keadaan memaksaku untuk tidak memperburuk situasi. Untuk tidak merusak acara penting ini.

"Hey gue ini ngomong. Lo denger gak!?" nadanya sedikit tinggi untuk kudengar.

Aku benci momen ini. Momen dimana aku harus menepati janjiku pada Iqbal untuk bersabar menahan emosi.

Nawal menoleh. Ia tahu apa yang terjadi. Menghentikan obrolannya dengan Citra dan beranjak dari tempat duduk, menghampiriku. Memegang pundak Haniyah dan berkata.

"Bisa diam nggak? Suaranya ganggu banget." bisik Nawal tepat di telinga Haniyah. Suaranya mengancam sekali sambil tersenyum. Sykurlah ada Nawal. Aku berterimakasih kali ini.

Haniyah terdiam. Tidak berani membalas.

"Wahh, hawanya dingin ya Ra. Aku sampai menggigil berberapa kali. Pindah yuk ke perapian sebelah sana." Nawal tersenyum padaku. Aku menatapnya, membalas dengan senyuman. sebenarnya aku tidak kedinginan, maksud Nawal mengajakku pindah duduk untuk menjauhkanku dari Haniyah.

Kami pindah duduk di dekat perapian kafe. Pelayan kafe kembali dengan secangkir kopi hitam. Meletakkan dan kembali ke dalam lagi.

"Thanks." Kataku pada Nawal.

"Yup."

"Seperti biasa, nggak akur." Sambungku. Aku menyeruput kopi hangat ini.

Nawal menghembuskan napas. Sepertinya ia ikut kesal karena melihatku diserang Haniyah tadi. "Emang bener lu harus cepet-cepet nikah deh Meir." Kata Nawal asal.

Aku hampir saja tersedak kopi. Panas.

Mengambil tisue dan membersihkannya.

"Kenapa bahas itu lagi sih Wal." Kataku mengoreksi.

"Ya habisnya siapa lagi dong buat jagain lo selain Iqbal."

Aku terdiam. Tumpahan kopi masih terasa di bibirku.

"Kan ada elo." Jawabku singkat menatap lekat mata Nawal.

Ia cuman bisa ber-hah satu dua kali. Mungkin jawabanku tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. Ekspresi nawal memaklumi apa yang barusan kukatakan. Aku merapikan rambutku, kembali mengecek layar ponsel. Nihil. Iqbal tidak mengirim pesan atau chat sama sekali.

"Belum ada kabar?" tanya Nawal tahu tingkahku.

"Belum." Ekspresiku pasrah.

"Udah santai aja. Oiya gimana cutinya? lo jadi-"

Aku akhirnya ngobrol panjang lebar dengan Nawal. Tentang pekerjaan lah, hubungan kedekatan Nawal dengan seseorang lah, sesekali berbicara masalah harga tas di toko online lagi ada diskon atau hal-hal sepele seperti bangun kesiangan gara-gara lupa nyalain alarm ponsel. Kami tertawa lepas. Nawal pandai membuatku merasa lebih baik.

Hingga akhirnya aku menghabiskan tegukan terakhir kopi.

"Hey hey!! Mohon perhatiannya sebentar." Teriak seseorang memecah keramaian menjadi surut diam. Ia menuju ke tengah kerumunan. Dengan tegas ia melangkahkan kakinya naik ke atas meja. Itu Akmal.

"Gue ada usul pendapat ni guys." Katanya lantang

"Nggak masalah kan?" tanya Akmal melihat kami.

"Mumpung ini hari sabtu malam minggu dan bertepatan dengan acara reuni SMA yang udah kelar mumpung kita masih disini. Gue mau ngusulin gimana kita nostalgia lagi balik ke zaman SMA dengan datengin sekolah kita malam-malam gini." Jelasnya.

Teman-teman mulai berbicara satu sama lain. Usulan apaan dah itu.

"Untuk sekedar melihat-lihat saja. Nggak masalah bukan. Lagian kalian malam minggu pasti nggak ngantuk, oleh karena itu kita manfaatkan momen kebersamaan ini untuk malam ini. Gimana?"

Selesai dengan usulannya. Aku sedikit kurang setuju gagasan Akmal saat ini. Pergi ke sekolah malam-malam dan berkerumun akan menjadi masalah serius jika ketahuan. Lagian kita sudah alumni, bukan siswa. Pasti ada larangan dong.

Seseorang mengangkat tangan.

"Malam-malam gini kesekolah? Untuk melihat-lihat doang. Gue kurang setuju."

"Bagaimana kalau kita main sesuatu." Sahut Akmal langsung.

"Main? Kita udah bukan anak kecil" sahut seseorang.

"Bukan permainan biasa. Mungkin permainan horror, berani?" kata Akmal sukses membuat kami berpikir dua kali. Antara setuju atau khawatir.

"Beresiko nggak?" tanya perempuan di pojokan. Ia mengangkat tangan. Itu Eugine.

"Sepengalamanku si enggak. Gue pernah main dan berhasil menang. Itu kalau permainannya berhasil aktif tapi itu jarang. Gue lebih sering gagal ngaktifin permainan itu dan alhasil permainannya jadi biasa aja. Bagaimana kalau kita coba malam ini?"

Temen-temen laki mengangguk-anggukan kepala. Sepertinya mereka setuju. Aku dan Nawal hanya diam saja. Aku mulai merasa takut.

Nawal mengacungkan tangannya.

"Tapi tempatnya gimana? Kita bakal ngelakuin di sekolah? kita udah lulus, udah nggak sekolah di sana. Tentu bakal dilarang." Aku mengerutkan alis. Tidak percaya kalau Nawal ingin melakukan permainan ini

"Lo mau ikut? Gila. Ini serem Wal. Lebih baik kita pulang aja sekarang." Kataku berbisik pada Nawal. Mencubit tangannya.

"Udah tenang aja. Nggak bahaya kok."

"Nggak bahaya gimana. Ini udah malam, jangan cari masalah deh Wal." Kataku

"Nggak akan ada masalah Ra. Yakin aja, permainan ini katanya sering gagal dimainin. Jadi aman. Takut banget sih lo Meir." Nawal malah tertawa. Aku menepuk jidat.

"Kalau aktif?" tanyaku

"Gue bakal jagain lo. Tenang aja. Lagian ini kesempatan buat Iqbal ikut acara reuni. Masih sempat. Lo bakal ketemu dia di sana."

Aku semakin bingung. Semakin takut dan berpikir yang aneh-aneh.

Ingin sekali aku tidak ikut permainan ini, menunggu dan pulang bersama Iqbal. Di sisi lain aku juga tidak tega kalau meninggalkan Nawal sendirian sementara ia ingin bermain permainan itu.

Astaga. Apa yang harus kulakukan.

Haniyah mengacungkan tangan juga.

"Dan juga, masalah satpam. Tentu sangat beresiko kalau lapor polisi. Atau kalau kita diperbolehkan dan dapet izin, tentu bakal diberi batas waktu ngunjungin sekolahnya."

Akmal berpikir sebentar.

Suasana Hening.

"Gimana kalau gedung Asrama? gedung itu terbengkalai, aman dari siapapun yang tau cuman kita." Sahut Adlan dari kursi dekat Akmal.

"Aduh, bukankah itu angker. Ya ampun." Bisiku pada Nawal.

"Buset Ra, lo udah gede masih aja percaya gitu-gituan." Jawab Nawal enteng.

Semua orang setuju. Aku yang tengah ketakutan mau nggak mau mengabari Iqbal lewat sms bahwa kami akan pergi menuju gedung asrama. Dengan cepat aku meminta Iqbal untuk datang.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi berikutnya. Semoga saja perkataan Akmal benar. Permainan ini jarang berhasil hingga kami bisa melewati malam dengan tenang.

Yang jelas, aku ingin Iqbal secepatnya datang dan berada di sampingku.

Saat ini. Tanganku bergetar.

***