webnovel

Keluarga

"Emang benar kata orang, memori tentang keluarga adalah momen paling membahagiakan."

***

Flashback 10 Tahun Lalu.

Ini kenangan masa kecil di tengah keluarga yang menurutku sempurna. Kami tinggal di sebuah rumah yang cukup besar daerah perkotaan. Semua serba ada dan bisa dibeli, ketika pengen sesuatu kita dengan mudah bisa mendapatkan barangnya. Berbeda saat dulu tinggal di pedesaan, agak sulit untuk mencari barang terlebih lagi kalau emang lagi butuh banget dan barang itu bisanya beli di kota.

Sulit. Itu yang kami rasakan sebelum akhirnya pindah ke kota. Keputusan yang tepat membuat hidup kami lebih baik.

Ayah adalah seorang dokter di sebuah rumah sakit swasta. Sedangkan ibu adalah guru di sebuah Sekolah Menengah Negeri. Apa namanya itu? PNS? Ya, Ibuku seorang PNS. Kalau boleh jujur ya, alasan sebenarnya kepindahan kami bukan tentang barang sulit dibeli atau tidak. Tapi pemindahan tugas mengajar Ibu serta jarak rumah sakit Ayah relatif jauh memaksa kami pindah ke kota. Hanya itu saja. Mau nggak mau semua setuju, terlebih lagi itu bukan keputusan yang buruk.

Saat itu umurku 13 tahun. Masih seorang bocah ingusan yang kerjaannya bermain selepas sekolah belajar sebelum setelah makan malam. Kadang berantem sama temen satu sekolah. Aku tahu karakterku di sini memang lumayan frontal atau temperamental. Suka marah karena hal yang tidak jelas dan melakukan hal aneh lainnya. Mungkin ini efek pubertasku kali, namun di kemudian hari aku mengerti bahwa sifatku juga dipengaruhi hal lain. Tapi cukuplah untuk menggambarkan bagaimana backstory ceritaku. Setidaknya kalian sudah menemukan jawaban mengapa aku selalu duduk di taman sore hari.

"Mas wayae mangan (Kak saatnya makan)" tegur adikku. Vivi.

Saat ini aku tengah mengerjakan tugas sekolah di meja belajar. Sudah malam dan saatnya makan malam bersama keluarga. Hampir saja aku lupa karena begitu seriusnya mengerjakan PR tersebut.

"Ya. Entenono nang ndisor wae. Tak susul. (Ya. Tunggu di bawah aja. Nanti kususul)"

"Oke." Adikku tersenyum berbalik meninggalkanku.

"Eh. Ayah sek tas muleh opo wes mulai maeng? (Ayah baru pulang apa udah dari tadi?)" Tanyaku menyela. Menghentikan langkah adikku.

"Sek tas. Mangkane pengen langsung mangan. (Baru aja. Makanya pengen langsung makan.)"

"Tumben. Biasanya agak telat." Aku berhenti mengerjakan PR. Kutaruh pensilku di kotak pensil dan menutup buku yang kutandai terlebih dahulu. Bergegas turun tangga menyusul adik bergabung dengan yang lain. Ayah lagi minum segelas air putih, Ibu yang tengah meletakkan beberapa piring berisi lauk makan tampak masih menggunakan celemek warna putih terikat di tubuhnya. Kelihatannya makanan baru selesai digoreng.

"Udah. Siap!" kata Adikku bersemangat.

"Duduk dulu sayang. Kakak mau minum apa?" tanya Ibu melihatku.

"Air putih aja. Cukup."

Ayah melihatku bergabung. Menarik kursi dan duduk bersama. "Gimana sekolahnya?" tanya ayah.

"Oh. Ayolah, emang harus ya setiap makan malam ditanya pertanyaan yang sama." Aku agak jengkel. Pasalnya Ayah selalu bertanya hal demikian, gimana sekolahnya? Ada masalah? Udah berantem berapa kali hari ini? udah dihukum apa aja hari ini? seriously?, jawaban apalagi yang harus kuberikan untuk menutup mulut Ayah. Ayah orangnya khawatir banget tentang tingkah laku diriku saat di sekolah. Sejak pertama kalinya pemanggilan orang tua dari sekolah karena aku terlibat perkelahian, saat itulah sikap Ayah agak berubah. Aku dipantau terus. Hasilnya tiap jam makan malam aku ditodong pertanyaan membosankan.

"Ya, siapa tau diem-diem kamu buat masalah lagi di sekolah."

"Kalau buat masalah Ayah pasti dipanggil lah. Baru Ayah tau kalau aku buat masalah. Lagian ini bukan pertama kalinya Ayah dipanggil lagi kan."

"Kalau kamu sembunyiin?" ledek Ayah,

"Sejak kapan Yahhh??" nadaku melas.

"Eh, eh, eh. Pura-pura nggak tau dia Bu. Lihat, anakmu ini lagi banyak alibi malam ini."

Ibu tertawa. Menarik kursi, duduk di depanku.

"Yang kamu lompat pagar sekolah. Ayah tahu setelah satpam sekolah ngomong. Untungnya saat itu pak satpamnya lagi baik, jadi nggak dilaporin ke sekolah." Kata Ibu.

"Soalnya Pak Satpam temannya Ayah, jadi nggak mau Ayah dipanggil terus-terusan. Nah orang lain aja kasian ama Ayah, masak kamu nggak kasian ama Ayah." terus Ayah.

Aihhhh. Ternyata Ayah tahu juga tentang kejadian itu. Kupikir semua baik-baik. Tanpa ketahuan siapapun. Apalagi satpam itu. tapi ternyata, aihhh.... Malu mukaku sekarang. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Cengar-cengir seperti nggak ada dosa. Atau lebih tepatnya pura-pura nggak punya dosa.

"Emang lompat pagar mau kemana sih kak?" tanya adikku tiba-tiba.

"Eh. Anu itu lagi mau-"

"Mau bolos bareng pacar ya?" tebak Adikku langsung. Aku yang mendengarnya langsung memasang tampang bego. Apa-apaan sih, kok malah bahas pacar. Lagian, pacaran model gimana cowok ceweknya aja masih duduk di bangku SMP. Nembak pake penggaris? Ingus benerin dulu. Ingus masih minta tolong bersihin mama papa sok pacaran. Ah elah.

"Hah!!?? Kakak udah punya pacar?" Ayah heboh. Lalu tertawa. Ibu hanya geleng-geleng kepala saja. Tahu kalau tebakan adik mulai ngelantur.

"Ndakk!! Ndakk Yah!! Suer. Aku nggak punya pacar." Belaku.

"Oh. Syukurlah kak. Kirain punya. Dugaanku benar berarti." Sahut adik.

"Hah maksudnya?"

"Ya. Soalnya, kakak buriq. Mana ada yang suka sama kakak."

Satu meja makan tertawa terbahak-bahak mendengar ocehan adikku. Ibu yang sedari tadi diam nggak bicara sekarang malah ikut tertawa bersama Ayah. Kata-kata barusan menusuk tepat di perasaanku. Sakit. Apalagi yang ngucapin adalah adik sendiri. Apalagi adiknya cewe.

Kurang ajar!! akibat perkataan adik, aku malu semalu-malunya.

Sehabis makan malam. Adik adalah orang yang pengen kujitak kepalanya. Sungguh.

***

Pukul 10 Malam.

Aku terbangun dari tidurku. Mataku perih entah kenapa. Kucoba mengedipkan beberapa kali tapi rasanya tambah menyulut panas. Keringatku bercucuran membasahi kaos yang kukenakan. Karena tak tahan aku bangun dan pergi ke kamar mandi. Membasuh wajah agar agak mendingan.

"Iki lapo seh? (Ini kenapa sih)" Gerutuku dalam hati.

Kubasuh beberapa kali dan syukurlah agak mendingan. Tiba-tiba saja malam ini, Astaga. Masalah belum selesai, kali ini tenggorokanku kering kehausan. Aku menelan ludah karena saking keringnya. Kuusap dahiku.

Aku menuju lantai bawah untuk minum.

Pelan-pelan turun tangga yang gelap membuatku harus menyalakan lampu terlebih dahulu. Setelah terang baru bisa tenang turun tangga dan minum air di dapur. Di sela keheningan dapur, telingaku menangkap suara orang yang tengah ngobrol. Terdengar lumayan keras untuk sampai ke telinga. Aku mencari sumber suara tersebut dan ternyata suara berasal dari kamar ayah ibu.

"Masih bangun."

Kenapa mereka masih bangun? Bukannya besok mereka harus pergi bekerja. Yah, walau nggak masalah sih jika Ayah yang ngajak ngobrol dulu. Toh palingan juga bahas pekerjaan. Keluh kesah alias ghibah sejenak. Kalian jangan salah paham, bukan hanya perempuan saja yang terkenal suka ghibah sana sini. Laki-laki juga bisa. Kenyataannya memang demikian, justru malahan Ibu yang lebih suka diam mendengar keluhan Ayah. Kebalik bukan? Aku juga berpikir demikian.

"Aku nggak tau maksud perkataannya. Yang jelas orang itu udah mengancam. Awalnya aku anggap enteng, nggak kugubris. Tapi lama kelamaan sikapnya makin jelas kalau nggak suka."

Aku mendengarnya. Itu suara Ayah.

"Bukankah naik jabatan adalah keputusan atasan? Kamu lolos kan?" Suara Ibu

"Iya aku lolos. Tinggal tes terakhirnya saja."

"Berarti Pak Andi nggak punya wewenang dong buat nyuruh kamu seenaknya mundur." Ibu mulai menjelaskan.

"Bu. Masalahnya bukan tentang wewenang orangnya. Ancaman Andi itu loh yang bikin masalah. Kepala staf rumah sakit berharap aku yang akan naik jabatan, bukan Andi. Dan kalau sampai aku lolos berhasil, aku takutnya ancaman itu semakin menjadi-jadi. Kamu tahu sendiri apa yang Andi lakukan terakhir kali."

"Kayaknya Aku memang harus mundur. Biarlah dia dapat apa yang dia mau. Selama keluarga aman jabatan itu nggak berarti buatku." Kata Ayah dengan nada sedih.

Aku yang akhirnya berdiri menguping dari balik pintu hanya bisa menelan ludah berpikir apa yang menjadi masalah Ayah adalah masalah serius. Ayah mengatakan keluarga akan aman jika ia tidak mengambil kesempatan tersebut. Masalah pekerjaan. Rupanya ada orang yang benci Ayah sampai-sampai mengancam agar Ayah mundur kalau tidak akan terjadi sesuatu pada dirinya.

Pertanyaannya. Siapa Pak Andi? Aku masih belum tau saat ini.

"Sayang, Sudah lima tahun kamu nunggu kesempatan ini. Dari awal kamu bilang mau ambil jabatan itu karena itu mimpi kamu dari dulu. Semua akan menilai siapa yang layak dan siapa yang enggak. Jika memang kamu layak maka majulah, jangan biarkan orang yang salah duduk mengambil alih, Jangan pesimis. Ancaman pasti datang pada orang yang memang layak memimpin demi kebaikan. Untuk keamanan keluarga, biar aku yang melapor ke polisi. Semua akan baik-baik saja. Tenanglah. Jangan jadikan alasan apapun menghambatmu dalam melangkah. Tuhan pasti melindungi hambanya yang lemah. Aku percaya itu."

Aku kagum mendengar perkataan Ibu. Ibu bijak sekali. Baru kali ini aku mendengar Ibu berbicara seperti itu. Sepertinya aku memahami apa arti pasangan yang sesungguhnya. Saling melengkapi.

Kelak suatu saat. Aku ingin pasanganku persis seperti ibu. Bagaimanapun caranya kelak akan kujaga dia sepenuh hati.

Aneh.

Usiaku saat itu nggak lazim buat mikirin hal ribet seperti itu,

"Aku akan coba pikirkan hal ini nanti. Untuk sekarang, keluarga harus aman. Itu yang terpenting." Tutup Ayah. Setelah itu lampu kamar dimatikan, sudah larut malam mereka sudah lelah. Aku pun demikian, besok harus bangun pagi. Akhirnya, Aku melangkah meninggalkan pintu kamar orang tua dan kembali ke atas.

Malam ini adalah awal dari sesuatu yang buruk. Kelak aku akan mengetahui kalau orang yang bernama Andi adalah orang yang harus mempertanggungjawabkan semuanya.

***

Pagi hari.

Aku sudah siap pergi ke sekolah. Semuanya sudah selesai. Udah mandi, udah sarapan, buku-buku pelajaran juga sudah tertata rapi dalam tas. Wajah udah bersih ganteng. Perfect. Hari mu baru saja dimulai.

Saat hendak menata tempat tidur untuk kesekian kalinya ada seseorang datang mengetuk pintu kamarku.

Tok! Tok!

"Mas, wes a? dienteni lho. (Kak. Udah belum? Ditunggu lho.)" Suara Vivi. Sudah saatnya. Aku melihat jam, astaga. Ternyata aku terlalu sibuk di kamar untuk hal-hal nggak jelas.

"Udah." Kataku. Kututup resleting tas. Keluar, berangkat naik mobil ke sekolah.

"Bekalnya udah dibawa semua kan?" kata Ibu. Duduk di depan. Sementara aku dan adik di tengah.

"Udah." Jawab Adik terdengar seneng banget. Dia membuka kota makanannya mencuil sedikit roti lalu dikunyah. Aku yakin dia masih laper. Padahal isinya udah double. Nasi, mie, telur, sisanya makanan penutup. Roti. Tapi aku yakin rotinya bakal habis duluan sebelum jam makan siang. Atau paling cepet saat jam pertama pelajaran dimulai.

Aku melirik adikku. Menggelengkan kepala. Lalu menutup kotak makannya.

"Jangan dimakan sekarang. Entar habis malah minta rotiku." Kataku.

Vivi malah mengerucutkan bibirnya. Tak Acuh.

"Vi... Masih laper sayang?" tanya Ibu.

"Ndak. Ndak bu. Vivi nggak laper. Cuma perut Vivi ngambek minta diisi lagi." Jawab Vivi cepat. Ibu tertawa. Ayah yang tengah mengemudi juga ikut tertawa. "Sama aja dong." Sahutku.

"Berhentinya di depan toko itu aja Yah. Nanti nyebrangnya bisa sendiri." Kataku sambil menunjuk minta mau turun di toko dekat sekolah.

"Yaudah sampai nanti ya sayang. Semangat belajarnya." Kata Ibu mengacak-acak rambutku. "Ahh bu. Malah berantakan jadinya." Kesalku. Aku lalu mencium tangan ibu dan ayah, keluar mobil diikuti Vivi di belakang. Setelah melambaikan tangan ke kaca mobil, mereka pergi melaju meninggalkan kami.

Suasana depan sekolah ramai seperti biasa, banyak lalu lalang kendaraan keluar masuk pintu gerbang. Aku menoleh kanan kiri untuk bersiap menyebrang. Kugenggam tangan Vivi agar bisa menyebrang bersama. Vivi menarik bajuku, aku menoleh. "Kenapa?"

"Itu." tunjuk Vivi ke sebuah mobil Inova warna putih yang akan melintas tepat di depan kami. Segera aku mundur satu langkah ke belakang dan mobil itu lewat berhenti beberapa langkah dari tempat kami berdiri. Aku kenal mobil itu. Lebih tepatnya aku hafal itu mobil milik siapa. Sesaat kemudian pintu terbuka lalu keluarlah perempuan seumuranku menenteng tas merek polo milano di punggungnya, rambutnya dikuncir ke belakang, kulitnya putih dan dia tengah mengencangkan tali ransel miliknya. Citra. Ia satu sekolah denganku. Juga satu kelas. Kami saling kenal saat masa orientasi SMP. Oiya saat itu aku masih kelas 1 SMP sedangkan Vivi masih kelas 5 SD. Terpaut dua tahun menyebabkan kami harus terus bersama saat bersekolah. Karena SD-SMP kami satu yayasan dan satu wilayah jadilah kami disekolahkan di sini. Baru saat SMA nanti aku diperbolehkan memilih sendiri sekolah yang kumau.

"Itu Kak Citra bukan." Kata Vivi.

"Ya. Kamu pasti tahu lah." Aku membuang muka.

Citra menutup pintu mobilnya, melambaikan tangan sejenak dan tatapan matanya langsung tertuju ke kami. Buru-buru aku menoleh. Buang muka sekali lagi. Vivi melambaikan tangan pada Citra sambil tersenyum. "Kak Cit!!"

Owh. Yang benar saja dik. Kenapa harus memanggilnya.

"Ehhhh Vivi!!! Aduhh. Cantiknya. Sini sayang, aduh boneka barbie cantik plus imut. Apa kabar? udah makan belum? nanti aku traktir kantin mau?" Citra menghampiri Vivi lalu mencubit pipi mulusnya. Vivi tersenyum lebar, dia mengangguk setuju. "Ahhhh." elus Citra.

Mantab. Malah rame di pinggir jalan.

Aku masih tidak bersuara. Mukaku masam. "Aduh sayang!! Gemes bingitt." Citra meluk Vivi. Sementara aku masih dianggap tidak ada. Citra menoleh. "Tunggu tunggu tunggu. Lihat siapa ini." Kata Citra tersenyum, matanya tercincing kepadaku. Ia mengamatiku seolah-olah aku adalah monumen bersejarah dan dia tertarik melihatnya.

"Yo. Sugeng dalu Bal (Selamat Malam Bal)" Citra berbicara bahasa jawa tapi dengan aksen yang dipaksakan. Terdengar kikuk aneh bagiku.

"Apaan sih." Jawabku ketus.

Vivi terkekeh mendengar ucapan Citra barusan.

"Apa? Kenapa? Ada yang salah?" Tanya Citra.

Vivi tersenyum. "Sugeng dalu itu selamat malam kak. Mungkin maksud Kak Citra selamat pagi, kalau selamat pagi itu sugeng enjing"

Citra tertawa. "Oooohhh..Hehe, maaf aku gak tau, bukan orang desa."

"Hmm. Tapi teteh tiasa nyarios basa sundana?" Kata Vivi kali ini menggunakan bahasa sunda.

Citra bingung. Disusul perkataan tidak mengerti.

"Hah?!"

Kali ini aku tertawa. Citra orang jawa barat, pindahan dari Jakarta. Seharusnya sudah nggak asing dengan bahasa Sunda. Vivi coba ngobrol menggunakan bahasa sunda, tapi yang terjadi Citra malah nggak ngerti apa yang diomongin Vivi. Malu sih harusnya, budayannya sendiri tapi nggak tau justru orang yang dari daerah lain malah tau. Bahkan bisa.

"Kata Vivi, Lo bisa bahasa sunda nggak?" jelasku turun tangan.

"Eeehhh, bisa. Bisa kok. Aku jago. Masak nggak bisa." Citra malah sewot. Wajahnya tengil sekali. Padahal aku tau kalau dia hanya menutup-nutupi semua ketidaktahuan itu dengan lagak percaya dirinya.

"Leres. Ngajawab. (Yaudah jawab.)" kataku.

Citra senyam-senyum sambil memikirkan sesuatu. Matanya berputar-putar memikirkan apa yang harus ia jawab. Sedangkan aku dan Vivi masih menunggu. Aku meninggikan alis, mengejeknya dengan wajah menyebalkan. beberapa detik kemudian terdengar suara peluit dari satpam sekolah.

Prrriiittt!!!

Aku menengok. Pak Satpam hendak membantu menyebrangkan anak-anak melintasi jalan menuju sekolah. Mobil, sepeda motor berhenti untuk beberapa saat.

"Ehhh... nanti dulu aja. Kita ke sekolah dulu. Lanjut bahas nanti aja. Cepet, ayo. Keburu nggak bisa nyebrang lagi." Kata Citra alasan. Dia menarik lengan Vivi yang otomatis menarikku juga. Bisa saja aku menyebrang sendiri tanpa perlu bantuan Pak Satpam, tapi karena alasan Citra kami mau nggak mau menurutinya.

Kami menyebrangi jalan. Pergi masuk gerbang sekolah. Kulirik jam tanganku, jam pelajaran akan dimulai sebentar lagi. Sebelum masuk kelas. Terlebih dahulu aku mengantarkan Vivi menuju kelasnya, letaknya cukup jauh dari kelasku. Melakukan tos dan sedikit mengacak-acak rambutnya sebagai salam perpisahan.

"Ihh Kak."

Aku tersenyum lalu meninggalkannya bergegas menuju kelasku.

***