"Kuharap itu hanya dugaanku, kuharap dia tidak ada hubungannya. "
***
Aku menelan ludah. Menghela napas dan menyandarkan punggung ke dinding. Sekarang waktu istirahat. Ku lihat jam dinding menunjukan waktu pukul 9.30. Sudah waktunya murid-murid mengisi perut dengan datang ke kantin. Guru-guru juga demikian, ada yang sibuk berada di kantor ada juga satu dua ke kantin untuk memesan makanan. Sedangkan aku. Masih bersantai menikmati kelas yang sedikit sepi ditinggal teman-teman. Aku tidak ke kantin. Toh bekal dari rumah belum kumakan. Rencananya aku masih harus melengkapi beberapa catatan materi kelas tadi sambil makan.
"Eh. Yang ini udah dihapus." Kataku melihat beberapa catatan yang kosong, tapi papan tulis sudah bersih dihapus. Rupanya aku tertinggal catatan mapel matematika.
"Cit." sapaku. Aku melihat Citra di depan pintu hendak keluar setelah selesai menulis catatan. Aku berniat pinjam catatan miliknya. "Apa?" dia berbalik. Melihatku sekilas.
"Jangan bilang lo mau nitip pesen makan. Nggak, kalau itu gue nggak mau."
"Nggak."
Tiba-tiba ekspresi Citra berubah.
"Apa? mau ngeledek kalau gue nggak bisa bahasa sunda? Iya? Emang, gue emang nggak bisa bahasa sunda jadi kenapa? Nggak terima lo? Lo bisa bahasa sunda terus ngejek gue gitu? Hah?" Citra sewot. Aku bingung. Lah? Malah bahas bahasa sunda. Apa hubungannya. Kan aku cuma mau pinjam catatan.
"Kok lo sewot sih. Gue kan belum ngomong." Aku malah ikutan sewot.
"Yaudah cepet ngomong."
"Yaudah lo sabar."
"Yaudah cepet."
Dalam satu tarikan napas.
"Pinjem catatan lo. Boleh?" kataku. Diam sebentar. Citra mendengus dan main langsung pergi saja. "Ehhh ehh. Boleh apa nggak?!" teriakku.
"Dalam tas." Kata Citra. Wajahnya terlihat jengkel. Aku mengangkat bahu, tanda tidak peduli dia marah atau tidak. Kukeluarkan kotak makan siang. Menghampiri meja Citra. Membuka tasnya dan mencari buku tulis Matematika miliknya.
"Nah." Kataku berhasil menemukan buku tersebut. Tapi di dalam tas Citra aku melihat ada buku dengan sampul warna kuning lumayan tebal, jika digunakan untuk menulis catatan. Aku terpaku. Lalu mengambilnya dan menyimpulkan kalau ini buku diary. Pikiranku langsung bisa menebak apa isi buku tersebut. Paling catatan-catatan nggak penting yang isinya cuma curhat tentang segala hal. Umumnya keluh kesal di sekolah. Atau masalah seputar dia dan teman ciwi-ciwinya ghibah, pikirku saking semangatnya Citra sampai-sampai ia menulis catatan ghibah layaknya list barang belanjaan. Atau mungkin menceritakan kisah jatuh cinta pada seseorang secara sembunyi-sembunyi. Biasalah saat sekolah nggak lepas dari beberapa hal tersebut.
Aku ingin membukanya. Tapi ini privasi Citra. Kurang sopan dan nggak beradab jika aku melakukannya.
Kupandangi dengan seksama. beberapa detik kemudian aku memutuskan.
Trobos ajalah anyink
Masa bodoh dengan sopan santun.
Halaman pertama masih ok lah ya. Ada gambar mickey mouse tersenyum. Awan-awan yang menghiasi wajah kartun tersebut. Kata-kata bijak dengan font cantik berwarna merah. Bunyinya "Jika kau menungguku untuk menyerah. Maka kau akan menungguku selamanya." Asek, aku bacanya sambil menahan tawa. Setelah membaca kalimat tersebut aku teringat sesuatu. Kayak pernah denger.
Naruto nggak sih?
Entahlah.
Halaman selanjutnya ada gambar love besar sekali. Di atasnya tertulis nama Citra. Di bawah love tersebut ada tulisan Papa Andi & Mama Dina. Aku berhenti melihat. "Andi?" tanyaku. Teringat kejadian di dapur kemarin malam. Nama Andi terucap di bibir Ibu saat berbincang dengan Ayah. Ayah punya masalah sama temannya yang bernama Andi. Aku yakin kalau orang itu juga seorang dokter.
Nggak. Ini mungkin nama yang sama tapi orang yang berbeda. Ini cuma kebetulan. Aku nggak berani menuduh kalau orang tua Citra lagi berseteru dengan Ayah. Aku masih belum tahu.
Pikiranku dibuat melayang hanya karena nama Andi ini. Tiba-tiba saja dan ini keterusan. Aku mencoba untuk berhenti memikirkan masalah Ayah dan menganggap ini hanyalah kebetulan.
Cukup melihat-lihatnya.
Segera kumasukkan kembali buku diary Citra. Membawa buku tulisnya ke mejaku dan langsung mulai mencatat.
Satu hal yang harus kupastikan. Pertanyaan untuk memastikan.
"Apa ayah Citra juga seorang Dokter? Apa dia kenal Ayah?"
Aku mulai ragu, masih enggan men-spoiler alur cerita part ini. Yang jelas, aku memiliki alasan mengapa aku harus melakukan semua hal tersebut. Alasan yang sangat kuat hingga aku tak mampu menghadapinya. Seperti gagal bersikap gagah di depan karakter Hulk kesukaanku. Emosi dalam diriku membutakan mata serta pikiranku
***
"Mas." Kata Vivi menyapaku depan kelasnya. Lengkap dengan senyum manis mengembang di raut wajah bocah satu ini. Aku menghampiri. Mengacak-acak rambut dan mencubit pipi kanannya, dia marah. "Bangsat lo" nggak, nggak, Vivi nggak bilang gitu. Ia hanya membalas dengan pukulan kecil. Aku tersenyum sambil menenteng ransel di punggung.
"Lama nunggunya?" tanyaku. Sekolah sudah selesai. Saatnya murid-murid pulang ke rumah masing-masing. Sebelum pulang aku harus menjemput Vivi terlebih dahulu baru bisa pulang bersama.
"Nggak. Baru selesai piket." Jawab Vivi.
"Bekalnya habis nggak?"
"Tentu habis dong. Masak iya masakan super enak Ibu nggak habis."
"Berarti kenyang ni ya."
"Oiya kenyang. Pasti itu. Masakan ibu bikin kenyang banget. Nih lihat, perutku sampe nggak muat. " Vivi bersemangat sekali memajukan perut nggak penting itu. Padahal aku tahu kalau omongannya tidaklah benar.
Aku hanya tersenyum dan bilang.
"Yahh. Sia-sia dong aku beli nasi kuning tadi. Rencananya makan bareng. Tapi berhubung Vivi udah kenyang-"
"Mau Kak!! aku mau makan nasi kuning!" potong Vivi tiba-tiba.
"Lah? Katanya tadi kenyang. Nggak bisa gitu dong. Enak aje. "
"Tapi aku mau. Tadi masih kurang!!. " Vivi menggelembungkan mulutnya. Sok imut.
"Idih. Itu perut apa karet." Ledekku.
"Mau!!!"
Vivi menarik seragamku. Memohon agar diberikan nasi kuning. Aku sendiri nggak masalah memberikannya. Tapi nggak harus teriak-teriak kali. Malu ama temen yang lain. Mereka menatap kami dengan perasaan dasar orang aneh.
"Iya, iya diem dulu ih." Kataku melepas cengkraman adik.
"Cepet!." Buset dah. Malah jadi majikan sekarang.
Aku pura-pura membuka tas. Mengacak-acak sebentar. Ketika ada kesempatan untuk kabur aku langsung menggunakannya. "Tapi bo'ong" sedetik kemudian aku lari ngibrit. Karena kesal Vivi melepas sepatu lalu melemparkannya ke arahku.
Aku berlarian di sepanjang lorong. Menengok ke belakang memastikan apakah aku lepas dari kejaran Vivi. Hingga tanpa sadar aku menabrak seseorang dan berakhir jatuh ke lantai. Dahiku berdenyut. Aku memegang dahi dan kuusap-usapkan beberapa kali. Tiba-tiba saja seseorang muncul di depanku saat aku menoleh ke belakang. Begitu cepat dan kejadian ini pun tak terelakkan.
"Aduh. Lo bisa liat nggak sih?" Teriaknya marah padaku.
Aku melihat dia dengan menyipitkan kedua mataku. "Elo Cit." orang yang barusan kutabrak adalah Citra. Dia menggosok-gosok dahinya juga. Rupanya kami bertabrakan dahi dengan dahi. Ini jelas bukan wacana berita tentang tabrakan maut. Bukan tabrakan dua mobil super cepat melainkan... dahi.
"Iya kenapa? Nggak suka lo?" kata Cita dengan nada masih nggak terima dahinya lecet sedikit.
Aku tidak menjawab. Mengalihkan pandangan.
"Lo kenapa sih lari-lari di lorong. Kayak dikejar setan aja."
"Ya emang dikejar setan." Jawabku tanpa pikir panjang. Ya emang bener di kejar setan. Setan laper. Kalau nggak dikasih dia bakal minta sampai keturutan. Ini adalah momok menakutkan bagi siapapun cowo jika berpacaran dengan cewe seperti ini. Dia bakal nguras habis dompet si cowo. Dan aku harus mengakuinya jika si cewe adalah adik kandungku sendiri.
"Lo nggak papa kan?" tanyaku.
"Apa muka ini terlihat gapapa?" Wajah Citra datar sekali. Menatapku dengan perasaan gue timpuk mampus lo. Daripada masalah nggak kelar-kelar aku bangkit dan mengulurkan tanganku. "Sorry."
"Gue bisa bangun sendiri." Citra menolak uluran tanganku.
Belum sempat kembali menoleh, kepalaku langsung dihantam sesuatu dari belakang.
"Aduh." Ucapku lalu menoleh. Vivi berdiri dengan memakai satu sepatu. Rupanya benda yang menghantamku tersebut adalah sepatu miliknya. Hey. Berani-beraninya dia melempar sepatu ke abang sendiri.
Vivi menjulurkan tangannya. Meminta. Raut wajahnya kesal. Aku menatapnya sambil terpaksa senyum.
Aku berlindung dari setan yang terkutuk. Batinku.
"Iya-iya. Sabar." Aku pasrah membuka tas dan mengeluarkan satu bungkus nasi kuning siap santap. "Nih." Aku menyerahkannya. Mata Vivi berbinar-binar berhasil mendapatkan apa yang ia mau. Persis seperti dikasih hadiah ulang tahun yang wah. Tapi bedanya ini hanyalah satu bungkus nasi kuning dengan lauk ayam telur.
Aku hanya bisa melihat sambil menelan ludah.
"Kenapa? Rebutan makanan lagi." tanya Citra celingukan melihat tingkah adikku.
"Yah. Lo tau sendiri lah." Jawabku malas.
Citra mengangguk.
"Hebat ya. Vivi makannya banyak tapi badannya tetep ramping. Biasanya orang makan mulu ujung-ujungnya obesitas."
"Nahh. Gw juga mikirnya gitu. Tapi nggak tuh, aman-aman aje berat badannya. Lo kasih makan porsi jumbo juga habis aje entar." Vivi melihat ada kursi kosong, lalu duduk di sana hendak makan. Aku menahannya, "eh makannya jangan di sini. Nanti pas pulang kita ke taman, makan di sana. Ya?" kataku.
"Nggak naik angkot dong." Kata Vivi memajukan bibirnya.
"Kalau naik angkot berarti makannya di rumah. Kalau makan di taman berarti nggak naik angkot. Mau makan di taman apa di rumah?"
"Taman aja deh. Bosen di rumah." Vivi tersenyum. Aku mengacak-acak rambutnya.
"Kak Citra nggak ikut?" Vivi berlari ke arah Citra, menarik tas Citra hingga ia sedikit tertarik kebelakang.
"Aduh. Sebentar ya Vivi sayang." Kata Citra. Ia melihat jam tangannya. Wajahnya terlihat berpikir dua kali. Antara nggak tega atau mau cari alasan buat nggak ikut. Aku melihatnya dan bertanya "Lo kenapa sih? Muka lo kayak nggak beres gitu."
Citra melihatku lalu menunjukkan jam tangannya.
"Iye jam tangan lo mahal. Tau gue, nggak harus diliatin juga kale."
"Bukan gitu. Ini nah, udah jam pulang sekolah. Gue belum dijemput nggak tau kenapa."
"Emang ayah lo kemana?"
"Ayah kan kerja. Entar malem pulangnya. Paling sekarang ngurusin pasien."
"Ayah lo dokter?" tanyaku tiba-tiba akibat mendengar kata pasien.
"Iya."
Aku terkejut. Jawaban itu sekaligus menjawab pertanyaan di kepalaku. Orang tua kami sama-sama berprofesi sebagai dokter, lagi-lagi aku teringat nama Andi di buku diary Citra yang kulihat di kelas. Detik ini aku mulai curiga jangan-jangan memang benar Pak Andi yang dibicarakan Ibu dan Ayah adalah orang tua Citra. Aku menelan ludah. Sebaiknya prasangkaku kali ini kusimpan dulu sambil mencari tau apa benar orang tua Citra adalah orang yang dimaksud Ayah.
"Lah terus yang jemput lo biasanya?" buru-buru melontarkan pertanyaan lain..
"Pembantu gue." Citra menengok ke gerbang sekolah berharap pembantu yang dia bilang tiba dan menjemputnya. Tapi nihil. Yang terlihat hanya murid lain berdiri bergerombol hendak membeli batagor. Sisanya ngobrol sambil berdiri juga tengah menunggu jemputan pulang.
"Gimana Kak Cit? jadi ikut nggak?" tanya Vivi lagi-lagi menarik tas Citra.
Citra menoleh dan tersenyum pasrah.
"Yaudah yuk kita ke taman." Citra menggandeng tangan Vivi.
"Yakin gak masalah? Terus lo pulang gimana? Ini udah mau sore lho. Entar kena masalah gue yang disalahin. Gue nggak mau dong." tanyaku menyusul mereka berdua.
"Lo kok banyak omong sih." Celetuk Citra. "Iya, banyak omong nih." Vivi meniru ucapan Citra lalu mereka berdua tersenyum tertawa bersama. Sedangkan aku dibelakang hanya bisa memandang dengan hidung kembang kempis.
"Udah lo tenang aja. Entar kalau gue nggak dijemput, lo yang nganterin pulang." Citra ngomong seenak jidat. Dia pikir aku pembantunya bisa disuruh semaunya.
"Lah ngatur." Kataku sewot.
"Gapapa kak. Entar kakak yang nganterin."
"Lah ini juga ngatur."
Lagi-lagi mereka hanya cengar cengir sambil tos, sukses bikin aku emosi. Aku hanya berjalan pasrah sambil sesekali mendengus kesal. Teman-teman menyapaku aku hanya bisa melambaikan tangan, tukang bakso langganan menyapaku aku hanya melambaikan tangan. Aku sekarang terlihat kurang semangat.
Hingga kami sampai di taman wajahku masih rada kurang ikhlas. Aku duduk di bangku taman, membuang fokus ke Citra dan Vivi yang tengah asik main di pinggiran air mancur. Sesekali Vivi iseng menyipratkan air ke Citra dan Citra balik balas. Malah main air.
Aku menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya. Menatap langit lamat-lamat, ada gumpalan awan yang menyelimuti membuat suasana pulang sekolah kali ini sedikit terasa nikmat. Tenang dan sejuk.
Akan tetapi pikiran itu mendadak kembali. Pikiran tentang ayah Citra.
"Ayolah. Kenapa malah mikir hal menjengkelkan itu." Gerutuku pada diri sendiri. Aku memutuskan untuk tidak memikirkannya karena itu akan mengganggu me time ku sekarang. Lebih baik menikmati suasana taman yang asri jauh dari keramaian jalan.
Kulirik Citra di sana bersama Vivi. Menggenggam bunga lalu diselipkan ke kuping kiri Vivi, ia tersenyum lalu Vivi balas tersenyum juga. Aku mengangkat bahu tidak ambil pusing, Membuka bungkusan kebab daging lalu memakannya.
***