webnovel

Episode 4

Episode 4

"Kalian dengar tidak? Tadi Pangeran Mahkota pingsan di Aula, sepertinya Yang Mulia sakit."

Arsy menoleh sejenak ke arah pelayan tersebut, ia teringat pertemuan pertama dengan sang Pangeran, sosok yang begitu elegan dengan selendang hijau di leher serta jubah putih, terlebih tatapan mata setajam elang.

"Apakah pria itu sakit? Kenapa aku tidak percaya?" Gumamnya.

Istana Pangeran Mahkota...

Kamar sang Pangeran...

"Tabib, bagaimana kondisinya? Apakah dia baik-baik saja?" Tanya Ratu Prameswari, ia menatap sang buah hati khawatir.

Tabib kerajaan itu menunduk lesu setelah memeriksa kesehatan Zein, ia menatap sang Pangeran sedih mengetahui kondisi apa yang menimpa anak dari majikannya.

"  Ampun Yang Mulia Ratu, kondisi Pangeran sangat buruk. Beliau sepertinya terluka sangat parah, saya khawatir kalau Yang Mulia tidak akan bisa lagi menggunakan kekuatan interalnya."

Prameswari syok begitu Jaya Negara, sang Raja berusaha untuk menguatkan hati sang Istri karena tidak ingin melihat Wanita tersebut tumbang di depan banyak orang."Sepertinya perjalanan Pangeran kali ini sangat beresiko hingga membuatnya terluka sangat parah."  Sedih dan prihatin itulah yang dirasakan Raja dan Ratu Jaya Negara.

ISTANA PANGERAN KE 7

Seorang pria memaki jubah biru  berpadu dengan baju dalam hijau menatap puas udara kosong di depannya, ia menyunggingkan senyum licik."Siapkan beberapa kota obat, hari ini aku akan memberikan pada saudara pertama. Aku sangat tidak sabar melihat tubuhnya yang lemah." Ia membalikkan tubuhnya, rasanya sangat tidak sabar untuk melihat pertandingan antara sang Pangeran Mahkota dengan beberapa kesatria lainnya.

Istana Pangeran Mahkota...

Kamar Pangeran Mahkota...

Mahesa meletakkan dokumen kerajaan di meja kerja sang Pangeran, ia sudah berulangkali meminta Pangeran untuk istirahat karena kondisi tubuh kurang fit.

"Yang Mulia, apakah Anda tidak merasa sayang pada tubuh Anda sendiri? Tabib sudah mengatakan agar Anda istirahat dan tidak selalu sibuk bekerja."

Zein tidak memperdulikan nasehat pengawalnya tersebut, 5 tahun tidak pulang, setelah pulang sudah banyak pekerjaan menumpuk bahkah keuangan negara tidak beres, banyak korupsi bahkan para Menteri yang melakukan itu sedangkan sang Ayah hanya sibuk dengan para selir.

"Bawakan lagi."

Mahesa terkejut mendengar perintah tersebut, ia sungguh tidak habis pikir dengan majikannya tersebut. Ekor matanya melirik mangkuk berisi obat, sedikit pun obat tersebut tidak tersentuh, hanya helaan nafas yang keluar dari mulut pelayan tersebut.

"Yang Mulia, obat Anda belum diminum." Dia mencoba untuk mengingatkan karena khawatir dengan Kesehatan majikannya tersebut.

"Nanti saja," balas Zein tanpa sedikitpun menoleh pada obat tersebut, ia sibuk membaca laporan keuangan kerajaan.

Tok …

Tok …

"Masuk."

Pintu terbuka menunjukkan sosok sang Pangeran ke 7 bersama beberapa pelayan Istana."Kakak, aku dengar kau sedang sakit. Aku sengaja datang untuk melihat kondisimu, sekalian membawakan obat." Dia berkata sambil berjalan mendeti saudara pertamanya tersebut.

"Sekali aku minum, mungkin langsung kehilangan nyawa," balas Zein acuh, sedikit pun ia tidak memandang Pangeran ke 7 tersebut.

Jiao Hua mengepalkan tangan menahan amarah, rahangnya mengeras mendengar ucapan Zein. Sang Pangeran Mahkota bahkan tidak menyuruhnya untuk duduk, pandangan mata pria bersurai kuning keemasan tersebut juga tidak kearahnya.

Jiao Hua berusaha untuk tersenyum di depan Zein, membuang gengsi dan meneruskan langkah menghampiri sang Pangeran Mahkota.

"Kakak, kau jahat sekali. Kita baru bertemu setelah sekian lama berpisah, aku menunjukkan niat baikku terhadapmu. Bukankah kau harus menghargainya? Atau setidaknya kau berterimakasih, tapi kenapa kau terlihat kurang suka?" sang Pangeran berusaha untuk bersikap seramah mungkin, kemudian ia menunjukkan botol obat.

"Aku bahkan sudah membawakan obat untukmu," lanjutnya.

Zein mengerutkan kening, ia semakin tidak yakin kalau Adiknya itu sungguh datang dengan niat baik bukan untuk memberi racun terhadap dirinya. 30 tahun menjalani hidup sebagai seorang Pangeran Mahkota meski atas paksaan dari orang tuanya bahkan dirinya sering keluar Istana untuk membuat kedua orang tuanya tidak mendesak dirinya untuk menerima gelar tersebut. Dalam waktu tidak sedikit tersebut, dia telah melihat siapa yang sungguh tulus dan hanya pura-pura tulus.

"Jiao Hua, kau sungguh pandai berpura-pura, hampir saja aku mengira kalau kamu sungguh khawatir padaku." Sang Pangeran mengangkat kepalanya, tatapannya menengadah menatap lurus Pangeran ke 7. Bibir terkatup rapat, iris safir itu sangat dingin menatap Jiao Hua.

Jiao Hua mendelik tajam, ia tidak percaya kalau saudaranya itu tidak sedikitpun termakan ucapannya.

"Zein Zulkarnain … aku datang kesini memang untuk membunuhnya." Sang Pangeran menatap saudaranya murka, hingga urat leher nampak jelas.

Jiao Hua menatap sengit saudara pertamanya tersebut, dendam dalam hati telah lama tersimpan dalam hati kini semua telah dikeluarkan.

Zein menyeringai tipis

Sang Pangeran Mahkota bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan mendekati Adiknya tersebut." Jiao Hua, kamu tidak pernah berubah sama sekali. Kau selalu berambisi untuk membunuh ku hingga mempercayai adanya kabar angin." Sang Pangeran Mahkota berdiri di samping Pangeran ke 7, melirik dengan ekor matanya.

Jiao Hua mengerutkan kening, ia memperhatikan Zein mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki, tidak ada sedikitpun tanda-tanda bahwa pria itu terluka parah.

Mahesa khawatir kalau Pangeran ke 7 sungguh akan menyerang majikannya, ia mulai memikirkan cara untuk mengusir sang Pangeran ke 7.

"Pangeran ke 7, Yang Mulia Pangeran Mahkota masih banyak pekerjaan, silahkan Anda kembali. Bukankah Pangeran ke 7 sudah memastikan sendiri dan melihat Yang Mulia Pangeran Mahkota baik-baik saja, selain itu... Bukankah Anda juga harus bersikap untuk pertandingan besok?"

Jiao Hua memicing tajam mendengar ucapan Mahesa, jelas sekali kalau pengawal itu sedang mengusirnya.

"Sepertinya apa yang dikatakan pengawal sialan ini ada benarnya juga, kalau memang itu adalah kabar angin, lebih baik aku tunggu sampai nanti. Aku juga akan menantangnya bertarung dan menyiapkan jebakan untuknya," batinnya licik.

"Baiklah, kali aku anggap kau benar, Pengawal." Jiao Hua kembali menatap Zein.

"Hari ini kau selamat, tapi nanti kau harus menyerahkan gelar mu itu pada ku." Tatapan mata sang Pangeran ke 7 sengit, kemudian ia membalikkan tubuhnya lalu melangkahkan kaki meninggalkan ruang belajar sang Pangeran Mahkota.

Zein menatap punggung Jiao Hua, perlahan punggung tegap itu menghilang di balik pintu."Ambisi mu terlalu besar Hua."

***

Arsy melangkahkan kaki di koridor panjang, pandangannya menunduk, di sampingnya ada Ezra, gadis itu selalu kesal setiap kali harus ikut dengan dan mendampingi Ne Shu adik dari Jiao Hua anak dari Selir Sekar Wangi.

"Kalian nanti harus ingat! Tidak ada yang boleh mencari perhatian dari Kakak pertama, karena dia adalah calon Suami ku." Ne Shu memberi peringatan pada semua pelayang yang mengikutinya.

Arsy dan Eza mengangguk begitu juga pelayan yang lain, meski dalam hati mereka sangat kesal.