Selain masalah pribadi soal Aliff dan juga Gilang yang seolah memutus hubungan, ia masih punya dua kasus raksasa. Dalam pekerjaan, Rumah Sakit tempatnya bekerja dituntut secara hukum perdata oleh salah satu pihak dan Clara yang harus menghadapinya karena ia dianggap ikut bertanggungjawab. Masalah ini pelik dan sudah masuk dalam ranah hukum yang bisa membuat ia dipenjara. Narumi, atasannya, sangat tegas soal ini dan ia harus selesaikan kasus secepatnya. Sidang pertama sudah ia ikuti dan ia takut pada hakim yang memimpin sidang yang sepertinya kejam tak berperikemanusiaan. Ini sangat membuat dirinya stress karena pihak top management apalagi atasannya, seperti lepas tangan.
Beban raksasa kedua adalah liontin mistis sialan itu. Ia sudah beberapa kali mengecek kalung berikut liontin itu dari kemasannya. Tak ada yang istimewa dengan rantainya. Tapi liontin itu, ah, dia begitu aneh, misterius, dan ada kengertian yang mencekam kalau ia memperhatikan berlama-lama. Ia tidak pernah melihat batu semacam itu. Batu dengan warna buram dan ketika ia mengangkatnya ke cahaya, ia bisa melihat ada asap menggumpal-gumpal di dalamnya.
Dan semalam ia mengalami mimpi buruk lagi. Sebuah pengalaman kedua yang dialami dan ia tidak bisa kembali tidur. Pengalaman tidak enak ini belum mau ia ceritakan pada Cahyo atau Velove dengan pertimbangan hal itu akan membuat mereka tidak betah di rumah barunya. Rumah yang 80% terwujud mereka beli karena kenekadan dirinya dengan mengabaikan masukan dari dua orang tadi yang sebetulnya sempat mengajukan beberapa keberatan.
Ia begitu ingin terbebas dari belenggu pikiran itu sampai-sampai akhirnya ia mengkonsumsi beberapa butir Zerolipepham sekaligus. Sebetulnya itu adalah pil penenang yang peredarannya pun sangat dibatasi karena efek halusinasinya yang jauh di atas ambang batas yang diizinkan. Namun kengerian, ketakutan, kekecewaan yang ia alami begitu berat dan memicu dirinya ke tingkat depresi.
Stressnya pada pekerjaan sudah membuat ia harus mengkonsumsi pil penenang. Dengan tambahan kasus tadi, maka itu menjadi alasan sehingga ia mengkonsumsi pil penenang tadi dalam jumlah makin banyak. Ia berharap semua kasusnya cepat selesai sehingga ia juga tidak perlu mengkonsumsi terus-menerus. Ia seorang dokter dan tahu resiko bahaya mengkonsumi pil semacam itu sehingga sangat perlu untuk dibatasi.
Clara rileks dan merasa dirinya mulai mengantuk. Ia memejamkan mata saat terhanyut dalam keadaan yang nyaman di awang-awang antara sadar dan tidak. Tidurnya mulai lelap saat merasakan air hangat berputar-putar di sekitar kulitnya yang telanjang. Air itu seolah membelai, seperti tangan seorang kekasih. Dia menutup matanya saat sensasi itu semakin kuat dan belaiannya makin terasa.
Mendadak, ia merasakan sebuah tangan. Tangan kasar nan maskulin menarik pergelangan kakinya. Menariknya ke bawah sehingga bokongnya meluncur di sepanjang permukaan bathtub yang licin. Teriakan panik keluar dari bibirnya saat ia terus tergelinci. Jari-jarinya yang berlumur sabun berjuang untuk mendapatkan pegangan di sisi bathtub. Clara mendengar tawa mengejek saat merasa dirinya ditarik lebih dalam. Tangan kasar itu menarik pergelangan kakinya dan meremas bokong dengan kasar. Ia ditarik ke bawah dan ke bawah, hingga masuk ke dalam kegelapan. Cahaya lampu mandi semakin memudar saat paru-parunya terasa terbakar akibat ia kesulitan bernafas di bawah permukaan air. Ia panik dan meronta-ronta dengan liar.
Ketukan pintu yang keras tiba-tiba terdengar. Clara serta-merta terbangun. Air memercik ke tepi bak mandi saat dia mendorong dirinya untuk kembali ke atas, menyembul dari permukaan air. Air kini menyapu helaian rambut keriting yang basah dari wajahnya yang terengah-engah.
"Ma! Ada apa? " Ia mendengar suamiya berteriak.
Ia melihat ke sekeliling kamar mandi yang kosong. Matanya membelalak dengan jantung berdebar kencang di dadanya.
"Mama, kamu baik-baik saja?" Cahyo mengulang sambil menggedor pintu.
Clara bangun dan membuka pintu kamar mandi.
"Ya, aku baik-baik saja. Maaf bikin berisik,” katanya sembari membalut tubuh dengan handuk.
“Duh, kamu bikin aku takut aja.”
“Maaf. Aku pasti tadi ketiduran sampe nggak sengaja tergelincir ke bak mandi," katanya. Detak jantungnya perlahan kembali normal. Ia tidak tahu apakah mimpi buruk itu efek pengaruh obat yang makin banyak ia konsumsi atau memang ada faktor X yang ia belum pahami?
*
“Hari ini kamu kayaknya marah-marah terus. Di kelas kamu juga nggak konsentrasi.”
“Gue lagi datang bulan.”
“Oh gitu? Wah syukurlah.”
“Syukur kenapa?”
“Syukur karena kamu gak hamil.”
Komentar Fathur membuat Lyn menatap pria itu berlama-lama. Suasana dalam mobil terasa sepi. Mobil yang dikemudian Fathur berjalan dengan kecepatan standar.
“Iya juga ya. Padahal lu ngajak ML berkali-kali.”
Mendengar topik itu, Fathur mendadak mengganti topik pembicaraan. “Ngomong-ngomong, gue baru inget, kita pertama kali ML itu di kebun. Di bawah pohon, inget gak?”
“Ya ingetlah. Kenapa emang?”
“Pengen ngulang.”
“Pohonnya bulan lalu udah ditebang gara-gara kebonnya diratain untuk dibikin gudang.”
“Wah, sayang juga,” Fathur menggeleng-geleng kepala.
“Lu mau kita ML di tenda? Ya udah, camping aja yuk?”
Usulan itu dianggap angin lalu karena walau pun ingin, mereka tak tahu di lokasi mana mereka akan lakukan itu.
*
Persoalan pencarian informasi mengenai liontin, Clara putuskan untuk ia lakukan sendiri. Ia tidak – atau setidaknya belum – melibatkan Cahyo atau Velove atau orang lain. Itu dilakukan dengan alasan yang sama. Ia khawatir mereka jadi takut tinggal di rumah mereka. Mengenai pencarian info, walau ia seorang dokter, minatnya yang besar pada benda antik membuat ia banyak tahu soal budaya etnis. Ini bisa dimaklumi karena ia berkenalan dengan banyak arkeolog dari berbagai suku di Indonesia, dan bahkan kolektor seni di beberapa negara lain.
Dari bentuk aksara kuno di kotak perhiasan, ia menduga itu tulisan suku Bayak Mandar, sebuah sub suku Mataram kuno di kaki gunung Halimun, Jawa Tengah. Suku ini sangat langka dan bahasa kunonya sulit dipahami. Mereka tidak hidup nomaden dan eksklusif tinggal di kawasannya di kaki gunung Halimun. Gunung itu masih aktif dan sempat meletus 20 tahun lalu dan membinasakan banyak warga suku tadi. Laiknya badak putih Jawa, suku Bayak Mandar dikenal sebagai suku yang terancam punah. Kepercayaan mereka pada tahayul membuat tidak banyak warga asing yang tinggal bersama-sama mereka.
Clara sudah sejak tadi pagi mengirim melalui pesan chat WA kepada rekannya, seorang arkeolog yang kira-kira tau mengenai suku Bayak Mandar. Perjumpaan di sebuah pameran artefak kuno jauh sebelum ia menikah, membuat ia mengenal Profesor yang cenderung atheis itu sebagai sumber yang layak dijadikan sumber infomasi. Atas alasan itu Clara menanyai dan mengirim foto-foto yaitu liontin, liontin berikut rantai, dan kotak perhiasan kuno.
Siang ini, ia mendapat jawaban via chat yang meminta dirinya menghubungi orang itu.
“Selamat siang, Profesor Moorang.”
“Ya, ya. Siang. Kebetulan kamu nelpon, Prof mau omong sesuatu.”
“Maaf mengganggu.”
“No, it’s fine. Langsung saja Prof mau tanya: kamu dapat dari mana barang itu?”
“Dari…. Teman, prof.”
“Yang ngalamin siapa?”
“T-teman aku.” Clara berbohong lagi. “Dia ingin tau banyak soal liontin.”