Penasaran dengan temuannya ia mengecek ponsel Cahyo yang sudah ia ketahui password. Dari situ ia menemukan bahwa Cahyo menelpon berkali-kali sebuah nomor tadi malam. Dari penelusurannya melalui aplikasi, ia mengetahui bahwa itu adalah nomor telpon sebuah perusahaan jasa derek mobil. Apakah mobilnya semalam mogok? Sepertinya tidak mungkin karena ia sangat tahu bahwa mobil Fortuner yang dipakai Cahyo selalu dalam keadaan prima karena biaya perawatan sepenuhnya dibiayai kantor. Lantas, mobil siapa yang perlu diderek di malam hari? Dilihat dari waktu dan durasi, panggilan terjadi 5 kali dan dalam rentang waktu 1,5 jam. Kalau ia memang memiliki kendala menghubungi perusahaan derek mobil, mengapa harus menunggu selama itu jika ia bisa tinggalkan begitu saja dan pulang dengan taksi?
Takut terciduk, ia lantas meninggalkan ponsel Cahyo dalam posisi yang sama seperti tadi ia ambil. Pikirannya berkecamuk. Ia merasa bahwa Cahyo berselingkuh dan ini menyakitkan hati. Mendukakan, dan membuat ia sangat galau sehingga sulit berpikir jernih. Clara terduduk dan menutup wajah dengan telapak tangan. Mencoba menerima kenyataan pahit ini.
Betul, Clara mengakui dirinya pun berselingkuh. Tapi bukan dia yang mendahului. Dia ‘hanya’ melakukan balasan untuk menjadikan skor seimbang 1 – 1. Well, memang ia naksir pada Aliff dan akan bertemu lagi tapi itu kan belum tentu akan berakhir dengan keduanya di atas ranjang. Ia tidak, atau tepatnya belum, berselingkuh dengan Aliff. Namun dengan apa yang ia temukan, perlukan ia menyamakan kedudukan kembali 2 – 2 karena wanita yang ditiduri Cahyo pun sudah beberapa. Lalu, sampai kapan balas-membalas ini akan berakhir? OK, katakan ia ingin menghentikan tabiat busuknya. Lalu, bagaimana dengan Cahyo, apakah ia mau menghentikan kegilaan yang sama?
Terakhir, kalau pun ia bisa mengajak suaminya bicara empat mata untuk bertaubat, tidakkah itu berarti bahwa ia TERLEBIH DULU akan membuka aibnya? Lalu bagaimana jika Cahyo tidak mau membuka diri dan terbuka? Tidakkah itu malah akan mempermalukan dirinya? Cahyo adalah seorang pendebat ulung. Akan sangat memalukan jika ia mengakui dosanya terlebih dulu, tapi Cahyo sendiri tidak melakukannya. Ini akan menjadi momok yang menghantui seumur hidupnya bahwa ia adalah isteri tidak setia yang menikahi seorang suami tulus, baik hati, dan setia, padahal nyatanya tidak demikian.
Clara meraih dan memeriksa ponselnya. Bukan main. Ia kaget karena ada 4 miscall dan 3 chat yang berasal dari orang yang sama yakni Gilang. Setelah pembicaraan via telpon terakhir yang berakhir dengan sedikit konflik orang itu masih terus berusaha menghubungi. Baik Aliff maupun Gilang adalah pria-pria yang bisa memberi kekuatan dan hiburan di saat ia super galau. Tapi Aliff sedang tak bisa dihubungi dan ia akhirnya menelpon Gilang.
“Saya harap kamu nggak marah dengan sikapku.”
“Nope, it’s fine.”
“Kamu kapan ke Jakarta lagi, Gilang?”
“Entah.”
“Nggak ingin…. Kita ketemu lagi?”
“Entah.”
“Datanglah.”
“Untuk apa?”
“Hanya untuk mengobrol.”
“Maaf aku lagi di tengah rapat, nanti aku hubungi lagi, oke?”
Sebuah penolakan yang halus dari Gilang membuat Clara terenyuh. Ia tahu alasan sebenarnya di balik penolakan tadi. Tapi, permintaannya yang satu itu yaitu untuk ia berbikini, sulit untuk dipenuhi. Bikini yang sudah Gilang kirim untuknya itu bisa jadi adalah pakaian dalam paling imut, paling ringan, paling transparan, yang pernah ia lihat. Ia sudah mencoba di depan kaca memakainya. Sebuah bikini bertali sewarna kulit yang saat dikenakan akan membuat si pemakainya seolah tidak berpakaian alias telanjang bulat. Ia curiga bikini itu sepertinya bukan dirancang untuk dipakai di tempat umum. Benda itu bisa jadi dipakai hanya oleh para wanita penghibur ketika melayani tamunya di ruang-ruang VIP dalam sebuah pub, diskotik, dan sebagainya.
Masih ada masalah lain. Yang ketiga. Liontin kuno. Benda itu kini menghias lehernya dengan kedua talinya mengelilingi leher. Ia sudah berusaha untuk mencopot atau melepaskan benda itu. Namun secara misterius benda itu tiba-tiba bisa kembali bertengger di lehernya. Tak lama kemudian, ia bisa hilang lagi dan kembali berada di kotak perhiasan kuno. Proses timbul – hilang itu tak pernah bisa ia pahami polanya.
Ini mengerikan. Menakutkan. Walau sekilas berpenampilan indah dan menarik, benda misterius itu seolah ditakdirkan untuk selalu bersamanya.
*
Tuuut….. tuuuut….. tuuuut….
Setelah tiga kali panggilan, terdengar jawaban di ujung sana.
“Halo.”
“Lama amat sih angkat telpon gue.”
“Sore tadi lagi ada kesibukan.”
“Bagaimana? Kalian udah kencan?”
“Udah, Lyn. Udddah…..”
“Langsung dapet?”
“Maksud lu ML? Nggak lah. Baru kissing, petting. Gue gak mau buru-buru. Takut dia jadi antipasti sama gue. Mangkanya gue pelan-pelan.”
“Setuju. Jadi kapan nih gue dapet duitnya?”
“Hari ini.”
“Bener lho ya. Jangan bohong.”
“Nggak. Pasti hari ini gue transfer 1 juta.”
“Satu juta?”
“Itu baru uang muka.”
“Kesepakatan kita 10 juta.”
“Kan gue gak pernah bilang langsung bayar semua.”
“Damned it. Yang bener aja lu. Kalo tau hanya dapet segitu gue kasih Love sama cowok lain. Gue kasih ke oom Ade aja gue bisa dapet 20, apalagi kalo ditawarin ke bokap lu. Bisa lebih gede lagi.”
“Jangan nyinggung bokap gue!”
“Lah, dia emang suka jajan koq. Love itu tipikal ABG yang dia suka. Mau ditutupin gimana lagi?”
“Dua juta setengah deh.”
“Gue minta sepuluh juta. Dan kita udah sepakat.”
“Mahal amat? Tiga juta. Tapi gue bayar cicil sampe lunas sepuluh juta..”
“Nyebelin! Emang waktu sama Love, lu nikmatinnya nyicil? Nggak kan? Jangan curang lu!”
“Siapa yang curang?”
"Tarif cewek sekelas dia itu 2 juta untuk semalam. Udah gitu kalo Love, lu bisa pake sepuasnya, gratis. Tinggal lu empanin makan doang.”
“Gue hanya bisa bayar segitu, Lyn. Terserah lu mau apa nggak. Kalo lu gak puas, silahkan elo ngomong jujur, buka-bukaan ke Love. Bilang aja kalo elo tuh jual dia ke gue. Sebutin juga berapa harga yang elo dapet dari jual sahabatnya sendiri. Mudah-mudahan aja dia nggak lapor ke polisi atas dugaan perdagangan orang. Apa lu berani?”
“Bajingan lu, Kevin!”
*
Ada sebuah ‘kabar gembira’ yang disampaikan Aliff pada Clara bahwa ia diizinkan atasannya untuk melakukan kunjungan bisnis ke Singapura besok lusa plus menambah satu hari kerja yang akan ia manfaatkan untuk mengunjungi kerabat di Indonesia. Ini bisa menjadi jalan untuk ia terbang ke Jakarta dan bertemu Clara. Sayang, pertemuan kembali gagal. Kalau sebelumnya Aliff yang menolak, kini Clara yang menolak.
“Kamu nggak bermaksud menyamakan kedudukan kan?” Aliff tertawa dengan kesan mengejek.
“Aku emang nggak bisa. Aku merasa.... nggak nyaman sama Cahyo. Maaf.”
Usaha bujukan Aliff gagal dan pembicaraan telpon pun berakhir.
Menyampaikan penolakan tadi memang menyelamatkan keluarga Clara. Namun itu juga menimbulkan sayatan dalam hati yang amat tajam. Ini membuat galau dan membuatnya langsung berendam di bathtub. Menikmati sensasi hangat yang indah dari air harum yang menerpa kulitnya. Clara memaksa dirinya tenang.
Ada banyak masalah berat yang ia hadapi.