webnovel

Bab 8 Sang Terpilih

Keesokan harinya, Reina dan Shasi sudah berada di ruangan kosong yang besar di lantai dasar. Tak ada benda apapun di sana selain enam pilar besar, berdiri kokoh menopang beratnya bangunan. Keseluruhan warna putih keabu-abuan telah mendominasi ruangan tersebut. Membuat ruangan itu terasa benar-benar luas sekaligus elusif.

Sesaat kemudian beberapa orang prajurit masuk membawa dua orang pria yang sangat mereka kenal. Rico dan Adit berdiri dengan tatapan penuh kelegaan tatkala melihat Reina dan Shasi masih sehat seperti sedia kala. Keempat sahabat itu berlari dan saling menghampiri.

"Kalian nggak pa-pa, kan?" tanya Rico bersamaan dengan Adit saat mereka berkumpul dan memeriksa keadaan masing-masing.

"Kami baik-baik aja. Gimana kalian?" jawab Shasi. Kedua rekan pria Reina itu tersenyum sambil mengangkat jempol tangan. Reina bersyukur. Meskipun mereka terkurung, setidaknya mereka semua masih hidup.

"Gimana caranya kita balik?" Shasi bertanya dengan raut wajah yang bingung. Adit menggelengkan kepala, "sepertinya kita nggak akan bisa balik jika belum menemukan portal itu."

"Kalau kita kembali lokasi pertama kita datang, mungkin kita bisa menemukan portalnya." Balas Shasi dengan pemikiran yang dangkal. Rico menaikkan alis dan membalas dengan nada mencibir, "ke sana? Tempat begituan? Mau cari mati? Kamu ajalah, Shas!"

"Terus gimana lagi, Co? Diam aja di sini tanpa tau kelanjutan nasib kita? Apa kamu nggak liat gimana seramnya para prajurit di luar sana?"

"Setidaknya kita di sini masih aman, Shas!" potong Adit, "di sini kita masih bisa makan dan tidur tanpa perlu ketakutan dengan tebasan pedang. Apa kamu nggak liat gimana keosnya situasi di tempat itu?"

"Ta-tapi aku...."

"Lagi pula kalau kita kembali sekarang apakah ada jaminan kalau kita bakal lepas dari kejaran pembunuh bayarannya Pak Theo. Sebaiknya kita jangan gegabah. Kita atur rencana sebaik mungkin sambil terus mencari cara agar bisa menemukan portal itu. Mungkin saja orang-orang di sini bisa memberi kita bantuan."

Shasi terdiam. Ia pun nampak kehabisan kata-kata ketika mendengar penuturan Adit. Begitu ingin membalas, tangan Reina mendadak mendarat cantik di wajah Shasi. Tanpa memperdulikan tatapan heran ketiga temannya, Reina tetap menangkup mulut Shasi sambil menginterupsi, "ssttt! Ada yang datang!"

Ia berdiri dengan penuh kewaspadaan. Netra coklatnya bergulir pelan seiring dengan napas yang lambat. Entah mengapa semenjak dia berada di dunia aneh itu, Reina selalu merasakan bahwa semua panca indranya menjadi lebih tajam. Dan benar saja, beberapa orang tiba-tiba masuk, berdiri tidak jauh dari Reina dan rekan-rekannya. Para 'tamu' itu berjumlah sekitar lima orang, memakai mantel hitam yang menutupi sebagian tubuh mereka.

"Apakah mereka berempat ini datang dari alam sebelah?" tanya seorang wanita berambut keunguan bergelombang ketika melepas tudung di kepalanya.

"Sepertinya begitu. Sekali lihat pun sudah membuktikan bahwa mereka bukan berasal dari dunia kita." Jawab pria disampingnya yang memiliki rambut kuning keemasan. Kelima orang itu membuka mantel mereka. Dengan sekali usapan, mantel itu hilang dalam sekejap, membuat Reina dan teman-temannya tertegun dalam ketakjuban.

"Dari keempat orang terpilih ini, siapakah yang dimaksud oleh Datok?" tanya wanita itu lagi tanpa mengalihkan pandangan dari Reina dan teman-temannya.

Sang rekan pria disampingnya pun menjawab, "entahlah, mereka berempat tidak memiliki ciri-ciri yang di sebutkan. Tak ada dari mereka yang memiliki warna kulit kuning langsat serta iris mata yang berwarna merah. Bahkan perempuan yang di sana tidak memenuhi ciri-ciri yang dikatakan oleh Datok. Rambutnya kuning dan kulitnya juga hampir sama pucatnya dengan kita." Reina faham arah pembicaraan dua orang di depannya. Mereka tampak sedang membicarakan Shasi.

"Ku kira seperti apa kandidat sang terpilih, ternyata dari keempat manusia fana ini tak ada yang sesuai dengan ekspektasiku. Mereka sangat biasa dan terlihat lemah." Reina menekuk wajah mendengar perkataan wanita angkuh yang cantik itu. Ucapan yang dilontarkannya benar-benar tidak enak di dengar dan seolah-olah menghina. Benar-benar nggak sopan! Gerutu Reina dalam hati.

"Sepertinya kita harus memeriksa mereka dari dekat." Saran rekan pria lainnya yang kemudian di balas oleh perempuan arogan itu, "kalau begitu saya akan menghampiri mereka lebih dulu."

Perempuan berambut ungu menghilang dan muncul begitu saja di samping Shasi. Begitu pula dengan keempat laki-laki lainnya. Mereka pun lenyap di depan mata Reina dan mendadak berdiri mengelilingi Reina dan teman-temannya. Kelima orang dewasa, yang tentunya memiliki rupa di atas rata-rata, itu mengangkat tangan sambil membacakan sesuatu hingga memunculkan cahaya putih serta hembusan angin di sekitar mereka. Sinar yang muncul dari tangan mereka saling terhubung dan membentuk lingkaran besar hingga mengurung keempat pemuda-pemudi itu.

Dalam sekejap, tubuh Reina dan kawan-kawan terangkat ke udara dengan terkungkung dalam putaran angin yang semakin lama semakin kencang tak kendali. Reina mulai merasakan ketidaknyamanan. Seluruh bagian tubuhnya bereaksi. Rasa panas perlahan-lahan menjalar, dari kulit ari hingga menembus kedalam tulang.

"Sakit!" perempuan itu mengerang dengan mata terpejam. Ia tidak lagi memperhatikan sekitar. Reina bahkan tidak lagi mengingat ketiga temannya. Fokusnya terkunci pada rasa sakit di tubuhnya yang begitu hebat. Perempuan itu menggertakkan gigi, menahan diri untuk tidak berteriak. Alih-alih bertahan, Reina justru melepaskan rasa sakitnya dengan raungan kuat hingga membuat getaran di sekitarnya.

Rico, Adit dan Shasi tertarik keluar dengan sentakan keras kemudian terjerembab ke sisi kanan bersamaan. Mereka mengaduh kesakitan. Namun hanya beberapa saat, sebelum mereka menyadari bahwa teman mereka, Reina, masih terjebak dalam kekuatan dahsyat ditengah-tengah ruangan besar itu.

"Bawa ketiga orang itu kembali ke ruangan mereka!" Raung perempuan berambut ungu kepada prajurit yang berjaga diluar pintu. "Panggilkan Danadyaksa untuk segera ke sini! Sekarang juga! Cepat!"

Para prajurit itu bergegas menarik Rico, Adit dan Shasi keluar ruangan. Ketiga orang teman Reina itu nampak enggan untuk pergi. Namun mereka juga tidak berani berdiam diri di sana. Meski mereka tidak merasakan rasa apapun ketika sinar itu melilit di tubuh mereka, entah mengapa rasa ngilu seketika terasa ketika mereka semua menyaksikan kekuatan dahsyat itu mengungkung Reina. Ditambah wajah kelima orang berjubah hitam itu yang semakin pucat dan penuh kekhawatiran, membuat ketiga teman Reina tersebut semakin berprasangka yang tidak-tidak.

Langkah mereka terhenti begitu berpapasan dengan seorang pria berkemeja hitam. Wajah pria itu terkesan misterius. Netra hijaunya yang indah berbanding terbalik dengan aura dingin yang ia miliki. Tak terlihat rasa persahabatan di wajah simetrisnya. Walau demikian, penampilannya berhasil menarik perhatian teman-teman Reina. Kemeja hitamnya yang berlengan panjang tergulung rapi di sekitar siku, membuat otot lengannya menyembul hingga menciptakan rasa iri sekaligus minder di diri Rico dan Adit.

"Tuan, anda di minta nyonya Adrika untuk segera ke sana. Sekarang juga!" para prajurit membungkukkan badan kemudian menyampaikan pesan. Pria tersebut melirik ketiga orang di depannya dengan tatapan menusuk. Tanpa berkata-kata, pria bernetra emerald itu berlari meninggalkan Shasi, Rico dan Adit dengan pikiran yang penuh dengan pertanyaan.

Bhirendra berlari, melompati anak tangga berkali-kali, menerobos pintu yang tengah tertutup dan melihat perempuan asing itu masih terangkat keatas. Mengambang di udara dengan diselimuti badai angin yang kencang.

"Danadyaksa, bersiap di bawah! Tahan tubuh perempuan itu!" seru pria berambut keemasan dengan wajah seputih kapas. Bhirendra tidak memberikan bantahan. Ia langsung memposisikan dirinya sesuai instruksi dan tidak berapa lama, badai itu menghilang beserta suara dentuman keras. Kelima orang itu terpental jauh membentur dinding hingga memuntahkan darah segar. Tiga orang diantaranya bahkan langsung terkapar tak sadarkan diri.

Sedangkan Bhirendra bertahan sekuat tenaga kemudian melompat, menggapai tubuh perempuan asing itu dalam pelukannya. Reina menyeringai dengan sorot mata yang tajam. Netra perempuan itu telah berubah menjadi merah. Ia menatap Bhirendra tanpa berkedip sedikitpun. Membuat pria itu menahan napas hingga kehilangan fokus untuk beberapa saat.

Begitu Bhirendra telah mendarat di atas lantai, Reina pun terkulai lemas dengan mata yang terpejam. Pria itu menatap Reina dengan tatapan yang sukar dilukiskan. Ia menarik napas kemudian berjalan keluar bersama sosok asing yang masih ada didalam gendongannya. "Antarkan para tetua ke ruangan mereka. Hubungi anggota medis. Pastikan para tabib memeriksa mereka secepat mungkin."

Para prajurit yang berjaga serempak menjawab, "siap, Tuan!" pria berambut hitam pendek itu berlalu setelah memerintahkan para prajuritnya. Ia kembali ke lantai atas dan tidak memperdulikan tatapan aneh para bawahannya. Arsa dan Danar berjalan cepat ketika melihat sosok Bhirendra dari kejauhan. Mereka mengikuti gerak sang Tuan dengan gesit.

Danar, pria bersurai abu, berinisiatif membuka ruangan yang biasa Reina tinggali bersama Shasi. Namun gerakannya terhenti begitu mendengar suara tenor Bhirendra di sampingnya.

"Bukan ruangan ini." Ucap sang panglima. Pemuda itu terus berjalan ke koridor bagian kiri paling ujung dan tidak menyadari perubahan raut wajah kedua bawahannya tersebut. Arsa dan Danar saling berpandangan. Mereka tampak kebingungan namun tetap mengikuti jejak sang Tuan tanpa banyak berbicara.

"Buka!" seru Bhirendra saat mereka tiba di depan sebuah pintu. Arsa mengernyitkan alis, "pintu ini?"

"Memangnya pintu yang mana lagi?" Balas Bhirendra sedikit kesal. Danar bergegas membuka pintu sementara Arsa mematung. Bhirendra tidak peduli. Ia menggeser tubuh Arsa ke pinggir dengan punggungnya kemudian masuk kedalam ruangan.

Danar menepuk pundak Arsa kemudian menariknya masuk ke dalam. Mereka berdiri, melihat sang majikan membaringkan perempuan asing itu di atas tempat tidurnya. Arsa lagi-lagi mengernyitkan alis dan melemparkan tatapan aneh ke arah Danar. Sang partner bersurai abu itu memahami ketidaklaziman yang sedang dirasakan temannya. Namun Danar hanya menghela napas dengan endikkan bahu. Ia pun tidak mengerti dengan situasi aneh di depannya.

"Panggilkan Gyan. Minta dia ke sini!" perintah Bhinendra sambil menuangkan segelas air dan meminumnya dengan sekali tegukan.

Arsa menjawab dengan terbata-bata, "tabib Gyan? Gyan Mavendra? Maksud tuan Gyan Mavendra yang itu?"

Bhinendra terlihat mulai jengah namun masih berusaha menanggapi respons sang bawahan dengan tenang, "siapa lagi? Apakah ada tabib lain yang bernama Gyan Mavendra selain dia?"

Masih tidak percaya dengar pendengarannya, pemuda yang memiliki jabatan sebagai kapten itu kembali memastikan, "Tuan ingin tabib Gyan memeriksa perempuan itu?" Bhirendra menganggukkan kepala sambil mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jarinya. "Tuan benar-benar yakin?" ulang Arsa dengan raut muka yang terlihat bodoh.

"Tuan?"

Akhirnya kesabaran Bhinendra lenyap. Panglima perang Kerajaan Swastamita itu menatap tajam ke arah abdinya yang sejak tadi terus bertanya kepadanya. "Kalau kau tidak bersedia biar Danar yang ke sana."

"Saya akan memberitahu tabib Mavendra sekarang juga." Seru Danar dengan cepat dan seketika menghilang dari ruangan itu. Arsa menelan saliva. Ia baru menyadari bahwa dirinya telah salah. Pertanyaan yang ia haturkan terlalu berlebihan melewati batas yang ada.

"Maafkan saya, Tuan." Pria berambut ikal kecoklatan itu menundukkan kepala. Keringat mulai membasahi wajahnya yang sedikit memerah. Matilah aku! Batin Arsa, Kenapa aku banyak bertanya? Sepertinya bukan hanya Tuan yang tidak waras, aku pun demikian. Bisa-bisanya aku begitu cerewet bahkan mengeluarkan semua keherananku seenak hati hari ini. Tamatlah riwayatku! Singa Swastamita pasti akan menghukumku!

Bhirendra bersedekap, menyilangkan kedua tangannya di dada seolah siap menerkam pria di depannya dengan sekali terkaman. Alih-alih marah, Bhirendra justru menghela napas panjang. "Lupakan. Berjagalah di luar!"

Arsa tidak bisa menyembunyikan kelegaannya. Pemuda polos itu hampir-hampir melompat sukacita mendengar ucapan tuannya yang telah memaafkan kelancangannya. Arsa menganggukkan kepala dan membungkuk hormat. Ia undur diri dan berjaga di depan pintu sesuai instruksi yang diberikan kepadanya.

Sudut mata Bhirendra mengintip nakal kearah sosok yang sedang terbaring tak sadarkan diri di atas tempat tidurnya. Perempuan asing itu terlihat akrab. Padahal Bhirendra yakin jika dia belum pernah sekalipun berjumpa dengan gadis itu.

"Apa karena warna rambut kami yang sama makanya aku merasa akrab dengannya? Ataukah karena dia adalah sang terpilih?" gumam Bhinendra pada dirinya sendiri. Pikirannya membuat asumsi personal berlandaskan sumpah yang telah ia buat sebagai pelindung di menara perbintangan beberapa waktu yang lalu. Mungkin saja karena sumpah itulah dirinya memiliki suatu emosional terkait pada manusia fana tersebut. Bhirendra tersenyum tipis, ia yakin dengan teori yang ia buat. Tidak mungkin dirinya yang telah meminum ramuan penutup rasa itu bisa merasakan ketertarikan khusus terhadap gadis yang ada di hadapannya. Sungguh kemungkinan yang mustahil!

Pemuda dengan surai hitam pendek berbelah samping itu terkekeh pelan kemudian mendadak diam tatkala mendengar suara lenguhan Reina yang berulang. Meski samar, Bhinendra meyakini bahwa perempuan itu tengah menyebutkan namanya. Pria beralis tebal, berhidung mancung itu perlahan mendekat. Memastikan bahwa pendengaran tidak keliru.

"Bhinendra. Bhi-" Bhinendra refleks menarik diri. Ia mundur bagai kilat, hampir terhuyung menabrak ujung meja. Degup jantung pemuda itu mendadak cepat, senada dengan pikirannya yang mulai tidak tenang. Bagaimana perempuan itu bisa tahu nama panggilannya? Bhi; Bukankah panggilan itu sudah lama menghilang? Tidak ada seorang pun yang berani memanggilnya dengan sebutan itu, bahkan Maharaja sekalipun. Lantas, bagaimana bisa perempuan asing yang tak pernah ia kenal justru memanggil namanya dengan akrab? Siapa dia sebenarnya?