webnovel

Bab 9 Tugas Dari Datok

Tabib Gyan tiba dengan sudut bibir yang tertarik ke bawah. Rambut yang berwarna midnight blue itu terlihat acak, berbanding lurus dengan wajah kuyu dan kacamata bulat yang bertengger miring di hidungnya yang sedikit bengkok.

Usia Gyan tidak terpaut jauh dari Bhinendra. Ia hanya lebih tua beberapa tahun dari si kutub es Swastamita. Hanya saja penampilan tabib itu telah tersedot banyaknya aktifitas medis kemiliteran hingga memanipulasi penglihatan orang awam. Sepintas, ia akan terlihat seperti paman Bhinendra jika mereka berdiri dan berjajar bersamaan. Dan itu juga yang sering membuat sahabat Bhinendra tersebut merasa tidak suka.

"Kau ingin aku memeriksanya?" tanya Gyan dengan lirikan remeh ke arah Reina. Bhinendra menganggukkan kepala, masih berdiri di samping meja dalam posisi bersedekap. Sang tabib berjalan mendekat, mengamati Reina dengan helaan napas panjang.

"Ku dengar yang membawanya kemari adalah dirimu, apakah itu benar?" tanya Gyan sambil terus melakukan pemeriksaan dan dibalas dengan keheningan oleh pria di belakangnya. Ekor mata tabib itu menangkap kebiasaan unik sahabatnya. Bhinendra cenderung akan membuang wajah bila merasa malu dan sepertinya ucapan Gyan barusan telah membuat pemuda itu salah tingkah.

Tabib kemiliteran itu terkekeh mengejek, "demi Tuhan, ini tidak benar! Aku tidak bisa mempercayainya. Ku kira selentingan yang beredar di barak ini hanya omong kosong belaka. Ternyata ucapan mereka benar adanya. Akhirnya kau sudah sembuh dan normal!"

Bhinendra mendadak masam, alisnya saling bertaut dengan sorot mata yang menajam, "sejak kapan aku bilang bahwa aku tidak normal? Aku hanya terkena racun penutup rasa dari ramuan yang Radeeva berikan, bukan berarti aku pecinta 'rudal'! Aku tidak belok, sialan!" maki Bhinendra dengan telunjuk yang mengarah tepat ke wajah Gyan. Air mukanya menghitam dan tampak begitu kesal.

Melihat ketidaksukaan sahabatnya, malah makin membuat Gyan tergelak keras. Ia tahu bahwa Bhinendra tidak pernah memiliki penyimpangan seksual. Tabib itu hanya mencoba menggoda si muka kaku dan ia tidak menyangka bakal mendapat respons menarik dari leluconnya barusan.

"Dia yang terpilih?" tanya Gyan beberapa saat kemudian. Bhinendra mendengus dan kembali bersedekap, "benar."

"Bagaimana bisa keadaannya sampai seperti ini?" lanjut Gyan dengan rasa penasaran. Bhinendra memijat keningnya yang berkedut dan menjawab dengan malas. "Utusan istana yang melakukannya. Mereka memberi tes kepada empat orang asing yang kami temukan di medan perang dan perempuan ini sajalah yang berhasil memberikan respons sesuai yang mereka inginkan."

Gyan kembali memeriksa kondisi Reina dengan penuh ketelitian, "tubuh perempuan ini berbeda dengan kita. Struktur tubuh mereka yang berasal dari dunia sebelah cenderung lebih lemah. Luka yang dideritanya tak bisa disembuhkan dengan segera. Bahkan dengan perlakuan khusus sekalipun. Dengan kata lain, proses penyembuhan yang mereka lalui cenderung lebih lama dari pada orang-orang di alam kita."

Bhinendra mengusap dagunya dan berjalan menghampiri Gyan, "apakah dengan penyembuhan khusus dari Datok pun hasilnya tetap sama?"

Kedua pria itu saling berpandangan dalam diam. Mereka tau bahwa Datok merupakan tetua sepuh yang memiliki reputasi tertinggi di Swastamita. Beliau memiliki ilmu sihir yang tidak dimiliki sembarang orang. Bahkan Maharaja pun selalu tunduk dan patuh pada petuah beliau.

"Entahlah." Jawab Gyan ragu, "jika beliau yang membuka portal dimensi dan memanggil perempuan ini, maka bisa jadi beliau juga memiliki tekhnik khusus untuk menyembuhkan orang-orang dari alam lain ini. Aku hanya bisa memberikan obat luar. Selebihnya tak ada yang bisa ku lakukan. Kita hanya bisa menunggunya membuka mata atas kemauannya sendiri. Dan kau, sebagai Bhayangkara pribadi sang terpilih, wajib selalu berada disisinya."

Bhinendra berdecih pelan dan lagi-lagi membuang muka. Jika bisa memilih maka ia akan menolak tanggungjawab yang diberikan Datok kepadanya. Namun apa daya, hanya dirinyalah pelindung berdarah murni yang bisa mengemban amanat penting dari sesepuh itu.

Pada awalnya Bhinendra mengira bahwa sang terpilih itu adalah seorang pria yang memiliki stamina kuat seperti dirinya. Secara, tugas yang harus di tunaikan sang terpilih tidaklah ringan. Alih-alih menjadi kenyataan, pemuda itu harus memaksa dirinya untuk menerima jika perempuan bertubuh lemah itulah yang akan terus bersama dengannya kelak. Bhinendra harus berdamai dengan kekesalannya terhadap mahkluk lemah seperti Reina, dan mau tidak mau ia harus memasang badan untuk melindungi ras tersulit, terkronis, terproblematis seantero alam yang bernama 'perempuan'.

Gyan kembali terkekeh melihat raut wajah sahabatnya itu. Ia semakin tidak sabar melihat interaksi singa kerajaan yang terkenal tidak berperasaan dengan sosok yang justru ia benci sekaligus ia hindari sejak dulu kala. Jika sampai perempuan ini bisa menaklukkan Bhinendra, aku berniat akan membotakkan habis rambutku selama satu tahun penuh. Sumpah Gyan dalam hati.

Fokus kedua pria itu teralih saat melihat adanya pergerakan dari raga perempuan yang terbaring diatas dipan. Reina melenguh dan bergumam pelan. Matanya perlahan terbuka dan memperlihatkan warna merah yang tajam. Perempuan itu menyeringai ketika tatapannya bertemu dengan iris zamrud Bhinendra yang berkilau. Tanpa mengeluarkan satu patah katapun, gadis itu bangkit dan berlari secepat kilat.

Gyan refleks menjauh begitu menyadari manusia fana yang ia periksa beberapa saat yang lalu tengah berusaha menyerang sahabatnya. Bhinendra pun demikian, ia otomatis menghindar saat pukulan hampir mendarat mulus ke wajahnya. Pemuda itu tak lagi santai, ia tahu bahwa gadis di depannya telah berubah dengan kemampuan yang setara dengannya. Keahlian beladiri yang dimiliki Reina bukan abal-abal. Terbukti dengan serangan cepat yang ia berikan pada Bhinendra yang tiada hentinya hingga menghancurkan beberapa perabotan yang ada di sekitar mereka.

Pada mulanya Bhinendra hanya berusaha menghindari serangan, namun lama-kelamaan posisi pemuda itu tampak tersudut. Dengan terpaksa ia pun membalas perlakuan kasar yang Reina berikan. Adu silat itu tak terelakkan. Kericuhan dalam ruang pribadi panglima perang kerajaan itu telah berhasil menarik perhatian para prajurit yang berjaga di luar. Bahkan Arsa dan Danar selaku abdi yang selalu menemani Bhinendra tampak berlari tergopoh-gopoh di koridor bangunan.

"Apa yang terjadi, Tuan?" tanya Arsa pada tabib Gyan yang sudah keluar dari ruangan yang terselubung dengan sihir itu. Sang tabib tak bergeming dan menatap pintu yang tertutup di depannya dengan perasaan pelik.

Hingga beberapa saat keadaan pun mulai stabil. Sihir yang menyelubungi ruangan yang kacau-balau itu terlihat menghilang. Baik Gyan dan kedua bawahan Bhinendra merasa penasaran. Mereka membuka pintu tanpa berpikir banyak dan tertegun melihat pria bersurai hitam itu telah menggendong sang gadis fana dengan pakaian yang koyak. Tampak pula beberapa lebam di tubuhnya yang Gyan prediksi merupakan hasil dari serangan sang terpilih.

"Tutup mulut kalian atas kejadian hari ini!" pinta Bhinendra pada ketiga pria yang berdiri mengitarinya. "Pastikan apa yang terjadi di sini tidak bocor sampai keluar barak!" Arsa dan Danar menerima perintah dengan patuh. Mereka segera menunaikan tugas yang diberikan dan menghilang tanpa bantahan sedikitpun.

Ruangan putih tak berujung membentang, mengelilingi seluruh pandangan Reina. Meski perempuan itu berjalan, bahkan berlari ke sembarang tempat, nyatanya semua yang ada di sana tetap berupa lanskap kosong tanpa titik temu yang jelas.

Dimana ini? Mengapa tak ada satu orang pun di sini? Reina bertanya-tanya, namun gelombang suaranya tertahan di dalam tenggorokannya. Perempuan itu meraba lehernya dengan penuh kebingungan dan menyadari bahwa ia tidak bisa mengeluarkan vokal sedikitpun seperti biasanya.

Siapapun! Apakah ada yang mendengarku?

Gadis itu berlari. Berusaha mencari pengecualian dari hamparan putih kosong disekitarnya. Tapi ia kecewa, tak ada satu pun penampakan lain yang muncul di tempat hampa itu. Jemari Reina saling bertaut. Perlahan naik dan memeluk tubuhnya yang mulai merasakan kegelisahan. Ia berupaya tenang. Menahan semua kepanikan yang mulai menjalar cepat di setiap aliran darahnya. Ditengah kecemasan yang melanda, sebuah suara terdengar jelas sedang memanggil namanya.

"Reina."

Panggilan itu bersamaan muncul dengan sebuah kepulan asap yang membentuk siluet seorang manusia. Awalnya tampak samar, tidak begitu jelas, namun perlahan-lahan gumpalan itu berwujud nyata sebagai seorang pria tua yang memiliki jenggot berwarna putih, selaras dengan warna rambutnya yang panjang.

Siapa anda? Reina bertanya dengan sedikit perasaan was-was.

"Aku? Tentu saja Kakekmu. Kau masih tidak mengingatnya?" Kakek itu tersenyum, menampilkan harmonisasi keramahan dan kenyamanan dalam diri Reina. Perempuan itu tak lagi merasakan perasaan berbahaya. Gestur tubuhnya sudah terlihat lebih santai.

Bagaimana mungkin seseorang yang tidak mempunyai orang tua bisa memiliki seorang Kakek? Apakah anda adalah ayahnya Bunda Dhea?

Sekali lagi orang tua itu tersenyum. Tangan besar yang berkerut itu terjulur keatas kepala Reina dan membuat sejengkal jarak dari puncak ubun-ubunnya. Reina berkelit dan berniat menjauhkan diri namun gerakannya tertahan oleh getaran aneh yang muncul bersamaan dengan sinar di tangan pria tua itu.

Gadis bersurai hitam panjang dengan potongan wolf cut itu mendadak terdiam. Netra coklatnya seketika berubah kembali menjadi merah. Warna kulitnya yang semula sawo matang perlahan mengelupas dan menampakkan corak yang berbeda, putih kekuningan. Matanya terpejam dan ingatannya melayang begitu saja seakan-akan memanggil kembali memori yang telah hilang dari benaknya selama ini. Entah bagaimana Reina bisa mengingat dengan jelas cuplikan-cuplikan kebersamaannya dengan orang tua sepuh itu. Semua ingatan yang muncul itu tampak nyata dan memang pernah ia alami sebelumnya.

"Sudah ingat?" tanya sang Kakek pada Reina ketika gadis itu membuka mata. Reina mengangguk pelan, "rupanya Kakeklah yang beberapa kali muncul di taman panti dan bermain dengan saya waktu itu."

Suara Reina telah kembali. Ia tak lagi harus bertelepati, berkata-kata dalam hati seperti sebelumnya. Gadis itu tersenyum ketika ingatannya kembali pada saat ia masih berada di usia tujuh tahunan. Reina ingat betul bahwa ia sering di sebut sebagai anak aneh oleh orang lain gara-gara pria tua itu. Reina kerap bercerita dengan Kakek yang tak kasat mata itu sehingga menimbulkan pandangan miring terhadapnya.

Sang Kakek tersenyum lembut, "benar. Itu aku. Aku terpaksa menutup kesadaran spiritual dan mata batinmu juga memberikan beberapa sihir agar kau tidak mengingat tentang interaksi kita waktu itu. Demi kehidupan normalmu."

"Pantas saja." Gumam Reina dengan anggukan pelan. Ia kemudian menengadah dan bertanya, "jika boleh tahu, sebenarnya saya berada di mana saat ini?"

"Kau dan teman-temanmu saat ini telah masuk ke dalam dunia kami yang di kenal oleh warga desa Penyinggahan sebagai alam gaib hutan Sri Molo." Jawab Kakek tua itu. "Tempat kami ini merupakan suatu kerajaan yang di sebut Swastamita atau Negeri Matahari Tenggelam. Sistem pemerintahan pun hampir tidak ada bedanya dengan kerajaan di dunia kalian, hanya saja di sini kami memiliki beberapa keunikan yang tentunya berbeda jauh dari dunia kalian. Swastamita masih mempertahankan sistem konvensional di sejumlah aspek kehidupan namun di sisi lain kami pun beberapa langkah lebih maju dari pada peradaban kalian."

Sang Kakek menjeda sejenak kemudian melanjutkan, "kami di sini memiliki kemampuan sihir dan bentuk sihir yang sudah kalian lihat salah satunya adalah tabir bening yang menyerupai riak air di tengah hutan Sri Molo. Dan itu merupakan portal pembatas dimensi yang tidak sengaja kalian lewati. Sebenarnya kedatangan kalian itu tidak serta merta kebetulan. Kami memang memanggil sang terpilih dan itu adalah dirimu, Reina." Kakek itu kembali tersenyum dan melanjutkan penuturannya, "ada satu hal penting yang ingin aku sampaikan padamu."

Reina maju selangkah dan menimpali, "katakan saja, Kek."

Pria sepuh itu berkata dengan gerakan penuh kewibawaan, "Reina, aku ingin kau melaksanakan sebuah misi penting dan misi ini hanya dirimu sajalah yang bisa menuntaskannya. Aku ingin kau menemukan keberadaan sebuah batu dan meletakkannya kembali ke tempat awalnya secepat mungkin."

"Batu?" tanya Reina dengan raut wajah kebingungan.

"Benar. Batu pengendali kestabilan antara desa Penyinggahan dan Kerajaan Swastamita yang sudah hilang dari tempatnya."

"Reina belum begitu mengerti, Kek. Mohon petunjuknya."

"Datok, panggil saja Kakek dengan sebutan Datok." Reina mengangguk patuh saat Kakek tua itu memintanya memanggil dengan sebutan itu. Sang Kakek atau sekarang Reina panggil dengan sebutan Datok itu menarik napas panjang dan dalam, "batu Somo. Batu sebagai pasak penstabil hilang saat pengeboran tambang perusahaan Jaya Coal di lokasinya yang terbaru. Lenyapnya pasak itu membuat dua tempat menjadi labil dalam waktu yang bersamaan. Tidak hanya Kerajaan Swastamita, desa Penyinggahan dan beberapa desa disekitarnya mendapatkan kiriman lumpur yang semakin lama semakin mencemari lingkungan hingga mengakibatkan penduduk sekitar kehilangan sumber mata pencaharian. Sedangkan dampak yang ditimbulkan untuk Swastamita adalah goyahnya stabilitas Kerajaan karena kekuatan yang menyelubunginya semakin melemah."

"Maksud Kakek, apakah batu Somo itu berfungsi sebagai pilar penguat Kerajaan?"

"Benar. Hilangnya batu itu sama dengan hilangnya perisai pembatas. Jika perisai pembatas itu tak ada maka kaum lain dari ras kami yang berbeda Kerajaan akan dengan mudah melakukan penyerangan serta menguasai seluruh Swastamita. Belum lagi akan muncul serangan makhluk-makhluk liar yang berbahaya dengan wujud raksasa dan banyaknya bencana alam di mana-mana."

"Jadi, peperangan yang waktu itu juga akibat dari rapuhnya perisai yang ada?" Datok mengangguk, mengiyakan dugaan yang di sampaikan Reina, "Saat ini, kami para tetua Kerajaan hanya bisa menahannya untuk sementara waktu. Kau harus segera mengumpulkan tiga pusaka untuk bisa menemukan keberadaan batu Somo. Jika ketiga pusaka itu sudah terkumpul, kau harus segera kembali ke istana dan membawanya ke aula perbintangan."

"Tapi saya tidak tahu bentuk benda pusaka yang harus dikumpulkan?" sanggah Reina dengan perasaan ragu namun kembali di yakinkan Datok dengan penuh kelembutan. "Kau akan merasakannya jika sudah bertemu dengan benda-benda tersebut. Jiwamu sudah terhubung dengan benda-benda pusaka itu."

"Waktumu tak banyak, Nak." Tambah Datok dengan wajah yang serius, "semakin cepat kau menemukan batu Somo semakin cepat pula musibah di Swastamita dan Penyinggahan bisa terlewati. Kau dan teman-temanmu pun akan semakin cepat kembali ke dunia asal kalian."

Reina maju selangkah dengan sedikit kebingungan, "tapi Datok, bukankah penyebab hilangnya batu Somo karena penggalian tambang? Seharusnya Jaya Coal-lah yang tahu di mana batu itu berada."

"Tidak sesederhana itu, Reina. Batu Somo langsung menghilang secara gaib begitu ia bergeser sedikit dari poros awalnya. Pihak perusahaan pun tak tahu di mana keberadaan batu itu. Kau pun pasti sudah sadar jika pemilik perusahaan itu tampak kelabakan ketika kalian mendatanginya malam itu, bukan?" ujar Datok dengan penjelasan panjang, "Jika pasak itu tidak kembali terpasang pada tempatnya maka kerajaan Swastamita akan musnah beserta seluruh isinya dan Penyinggahan akan tenggelam dengan lumpur hitam."

Reina kembali terdiam mendengar penuturan Datok. Ia baru menyadari benang merah yang terhubung dengan kemelut permasalahan yang mereka hadapi saat menyelidiki sumber pencemaran lingkungan beberapa hari yang lalu.

"Kau tidak perlu bingung. Datok dan Kakek Upa saling terhubung. Kami bisa berkomunikasi lewat alam mimpi. Mereka yang di ada di alammu akan selalu mendapatkan kabar perkembangan kalian di sini. Dan kau pun tak perlu cemas, alam kami bergulir lebih cepat dari alam kalian. Satu tahun di sini merupakan satu bulan di tempat kalian. Jadi semakin cepat tugas ini selesai maka semakin cepat pula kamu dan teman-temanmu itu pulang ke dunia kalian."

Datok meminta Reina mengulurkan tangan kemudian menyapukan sesuatu di sana. Kakek itu kembali berkata, "Perjalananmu akan ditemani oleh dua orang yang ahli. Kedua orang ini akan melindungimu dengan nyawa mereka. Meskipun kedua pria ini akan sedikit membuatmu pusing tapi percayalah, mereka yang terbaik diantara yang terbaik di Swastamita."

"Siapa mereka?" Reina tidak bisa berkata-kata lagi ketika sang Datok membisikkan dua nama yang membuat napasnya tercekat dalam beberapa detik. "A-apa bisa tukar dengan yang lain?"

Pria tua itu kembali tersenyum lebar dan kemudian menghilang. Reina berteriak memanggil Datok. Ia hampir mengutuk dirinya karena terjebak dalam kondisi tak mengenakkan. Pada akhirnya perempuan itu hanya pasrah dan menerima dengan lapang dada semua yang sudah menjadi ketentuan alam.