webnovel

Bab 7 Terjebak Di Dunia Lain

Reina dan kawan-kawan tiba di suatu bangunan persegi panjang bertingkat lima, dengan masing-masing jendela yang berjejer di setiap lantainya. Membentuk letter U yang klasik dan luas. Bangunan tersebut tampak di rancang sedemikian rupa agar menjadi tempat untuk menampung pasukan berkapasitas besar yang siap kirim ke medan pertempuran. Reina menduga bahwa bangunan yang mereka datangi ini merupakan barak kemiliteran. Bagaimana tidak, banyak tim medis berlalu lalang memberi perawatan kepada para prajurit yang terluka di setiap bangsal. Dari sekedar luka ringan hingga luka berat, seperti pada beberapa bagian tubuh yang harus diamputasi.

Para prajurit yang terbaring lemah di bangsal-bangsal itu membuat Reina dan ketiga temannya bergidik ngeri. Nyali Shasi semakin menciut. Namun ia hanya menelan ketakutannya tanpa berani berkeluh kesah sedikitpun. Shasi sadar bahwa posisinya sekarang tidak ada bedanya dengan ketiga rekannya.

"Bawa mereka ke lantai atas! Pisahkan pria dan wanita di tempat yang berbeda! Tuan Danadyaksa memerintahkan kita untuk memperlakukan mereka dengan baik namun jangan mengurangi standar keamanan yang ada!" seru pria yang membawa rombongan Reina kepada beberapa prajurit yang berjaga di depan tangga di lantai keempat.

Para prajurit itu menghentakkan kaki dan berseru siap. Keempat pemuda-pemudi itu di bawa ke lantai paling atas, kemudian dipisah lagi menjadi dua kelompok. Reina dan Shasi di boyong ke koridor kanan sedangkan Rico dan Adit ke koridor bagian kiri. Pintu tertutup dengan entakkan nyaring ketika Reina dan Shasi masuk ke dalam salah satu ruangan yang cukup luas. Ruangan itu benar-benar minim perabotan. Hanya ada satu tempat tidur, satu meja dan satu kursi di dalamnya.

"Aku merasa kita bukan sedang disambut. Malah terkesan seperti tahanan baru." Gumam Shasi dengan lirikan sendu ke arah Reina.

"Lebih baik tahanan baru dari pada mayat yang baru." Jawab Reina yang kembali teringat dengan kilasan situasi di medan perang beberapa waktu yang lalu.

"Leluconmu betul-betul nggak menghibur, Re." Shasi duduk di atas dipan dengan wajah yang muram. Ia tampak masih syok. Reina memahami kondisi mental Shasi yang tidak stabil. Wajar saja, Reina pun demikian. Tak ada yang benar-benar bisa menerima keadaan saat ini. Situasi absurd yang sedang mereka hadapi kali ini hampir membuat kapasitas otak mereka tidak bisa lagi berpikir dengan jernih.

Bayangkan saja, dalam per sekian detik, yang awalnya berada di dunia modern dengan segala kemajuan teknologinya, tiba-tiba berpindah alam. Ke dunia lain yang masih stagnan dalam versi kunonya. Juga dengan semua nilai konvensional dan konservatifnya. Ditambah dengan perpindahan mereka di tempat yang sangat tidak aman, medan peperangan, membuat seluruh anggota LSM itu kehilangan kata-kata. Jangankan kedua gadis itu, presiden Amerika saja pasti akan mengalami trauma jika berada di posisi mereka saat ini. Sungguh pengalaman yang mencengangkan dan tidak masuk akal!

"Ini sebenarnya di mana?" tanya Shasi yang kembali terisak kebingungan. "Aku takut. Aku mau pulang." Rengek perempuan itu sambil terus menggenggam tangan Reina. Reina tidak menggubris. Ia memang tidak pandai membujuk. Selain itu, semua kata-kata yang menenangkan tidak hanya di butuhkan oleh Shasi, ia pun mengharapkan hal yang sama saat ini.

Pintu terketuk kembali sebelum Reina benar-benar sempat memberikan tanggapan pada rengekan Shasi. Seorang pria bersurai ikal kecoklatan dengan pakaian kemiliteran muncul bersama dua orang prajurit yang membawa nampan berisi makanan. Dua prajurit itu langsung masuk dan meletakkan nampan tersebut di atas meja kemudian kembali berdiri didepan pintu tanpa berbicara satu patah katapun.

"Mau apa?" tanya Reina dengan posisi siaga. Ia sedikit meninggikan intonasi ketika pria berambut coklat itu mendekat kearah mereka. Pria tersebut terkekeh pelan tatkala melihat Shasi meringkuk dibelakang Reina dengan cengkraman kuat di kedua sisi pinggang rekannya.

"Seharusnya jika bertemu orang baru, bukankah harus saling memperkenalkan diri?" celetuk pria itu dengan sopan. "Perkenalkan nama saya Arsa Caraka. Kapten pasukan sayap kanan kerajaan Swastamita yang akan menjaga kalian selama kalian berada di dalam barak ini. Jika boleh tau, siapakah nama nona-nona cantik?"

Meski Arsa bermaksud baik memberikan pujian tulus kepada Reina dan Shasi, akan tetapi tampaknya Reina tetap tidak peduli. Ia masih mengaktifkan mode waspada dengan level tinggi. "Kami tidak ada kepentingan disini. Kami ingin pulang!" jawab Reina dengan pernyataan gamblang dan langsung ke inti masalah.

Arsa kembali terkekeh, "ada atau tidaknya kepentingan kalian disini biar diputuskan oleh kerajaan Swastamita."

"Dua orang teman kami lainnya, bagaimana keadaan mereka?" tanya Reina dengan penuh keberanian.

"Mereka baik-baik saja. Bahkan mereka saat ini sedang menikmati makanan yang kami bawakan." Menanggapi jawaban Arsa, Reina pun mendengus dengan tatapan elangnya.

"Tidak percaya? Terserah kalian saja!" Arsa mengedikkan pundak acuh tak acuh, "Sebaiknya kalian mengisi tenaga lebih dulu. Makanlah hidangan itu sebelum dingin. Tuan kami terkenal sebagai singa pembunuh dari Negeri Matahari Terbenam, beliau tidak menyukai orang-orang yang suka menyisakan makanan. Jika kalian sampai membuat hidangan ini sia-sia, mungkin nasib kalian tidak ada bedanya dengan orang yang di tengah lapangan sana."

Pandangan Reina dan Shasi otomatis melihat keluar jendela. Tampak beberapa orang manusia dengan tangan terikat ke atas, berdiri di atas tiang di tengah-tengah lapangan luas sambil dicambuk oleh beberapa orang prajurit. Nyali Reina dan Shasi semakin menciut.

Meski tetap berusaha tenang, Arsa tetap menyadari getaran hebat dari tubuh kedua gadis didepannya. Padahal niat awal pemuda itu hanya sekedar mencairkan suasana. Ancaman yang ia berikan murni sebagai gurauan semata, tapi sayangnya kedua gadis di depannya benar-benar termakan ketakutan mereka sendiri.

"Pokoknya berperilaku baiklah sampai tuan Danadyaksa datang. Jika kalian kooperatif, kupastikan nyawa kalian pun akan panjang dan aman."

Reina menelan saliva, "ba-bagaimana kami bisa makan dengan tenang, kami bahkan tidak yakin bahwa hidangan itu aman atau tidak. Bisa jadi hidangan itu telah di beri racun oleh kalian."

Kali ini Arsa benar-benar tergelak. Ia bahkan menggeleng-gelengkan kepalanya dengan rasa geli akibat mendengar perkataan Reina. Sedangkan Reina harus menahan rasa kesal terhadap respon Arsa yang seolah sedang mentertawakan kedunguannya. "Adududuh perutku! Kau benar-benar membuat perutku teraduk-aduk." Gelak sang kapten dengan posisi memegang perut dan sedikit terbungkuk.

Sialan! Aku nggak bercanda! Kenapa dia malah terbahak-bahak seperti itu? Batin Reina sebal.

"Nona cantik, jika kami meracuni kalian maka hidangan itu pasti sudah berubah warna. Semua peralatan makan yang kami berikan pada kalian terbuat dari perak berkualitas tinggi. Jika terdapat racun di dalamnya, sudah pasti benda-benda tersebut lebih dulu mendeteksinya." Reina berdecih dan memalingkan wajahnya yang memerah. Ia malu dengan perkataan bodohnya.

"Baiklah. Silakan menikmati makanan kalian. Jika ada yang kalian inginkan, selain pergi dari tempat ini, katakan saja pada dua prajurit yang berjaga didepan pintu. Mereka akan segera melaporkannya padaku." Arsa tersenyum lebar. Pria itu kembali menutup pintu dan menghilang dari pandangan.

"Makanan ini beneran aman nggak ya, Re?" tanya Shasi sambil memperhatikan hidangan yang cukup menggiurkan didepannya. Reina meraih nampan satunya dan menyuapkan satu irisan daging ke dalam mulutnya, "kita tidak akan tahu jika kita tidak pernah mencobanya."

Shasi tertegun dengan sikap Reina yang tidak lagi waspada. Ia terus memperhatikan Reina mengunyah makanannya. Begitu merasa rekannya baik-baik saja, Shasi buru-buru melahap hidangan di atas nampan miliknya. Dalam beberapa menit, semua perangkat makan di atas nampan itu kosong melompong. Reina dan Shasi bersendawa bersamaan.

"Ternyata kita emang sangat kelaparan ya, Re." Ucap Shasi penuh ironi. "Tampaknya langkah awal untuk mempertahankan kewarasan hanya mengganjal perut dengan makanan."

Reina yang masih memusatkan perhatiannya keluar jendela pun menanggapi santai, "Jika ingin bertahan sebaiknya kita harus kenyang. Kelaparan memang lebih berbahaya dari pada hunusan pedang."

Shasi sependapat dan memilih untuk mengikuti arah penglihatan temannya. Kedua perempuan itu menatap ngeri penyiksaan yang dilakukan para prajurit di luar sana pada beberapa tawanan perang. Tidak hanya teriakan yang menyayat hati, cipratan darah yang di hasilkan cambukan dan beberapa metode penyiksaan lainnya telah membentuk panorama mencekam bagaikan sebuah film dokumenter kerajaan. Reina dan Shasi bergidik bersamaan. Bagi mereka yang tidak pernah menyaksikan secara langsung pertunjukan mengerikan itu memanglah terlihat sangat kejam dan tidak manusiawi. Namun mereka pun paham bahwa setiap negara pasti memiliki peraturannya masing-masing dan mereka pun harus menghormati semua itu dengan rendah hati.

Beberapa hari kemudian, terdengar derap langkah ratusan kuda bergemuruh dari kejauhan. Seolah sedang membuat parade pasukan berbaju zirah disepanjang jalan poros menuju barak kemiliteran. Begitu tiba di tempat tujuan, seorang panglima perang di posisi paling depan turun dari kuda hitamnya dan berjalan menuju ke lantai atas. Pria itu tidak berkata-kata namun seluruh pasukannya menundukkan tubuh dengan hormat dan membubarkan barisan dengan penuh ketertiban setelah sang panglima perang menghilang ke dalam barak yang memiliki lima tingkatan tersebut.

Sang panglima, Bhirendra Danadyaksa memasang wajah dingin di sepanjang langkahnya, membuka pintu kamar dengan tangan yang masih berlumuran darah. Pria yang terkenal bengis dan keras hati itu melepas pakaian perang yang ia kenakan dengan mudah di dalam ruang pribadinya.

"Bagaimana keadaan keempat orang asing itu?" tanya Bhirendra kepada dua orang bawahannya yang masih berdiri, menunggu untuk kembali di perintah.

"Mereka tidak melakukan perlawanan. Selama tiga hari ini, mereka hanya saling menanyakan keadaan rekan mereka yang berbeda ruangan." jawab Arsa dengan sikap hormat.

"Benar, Tuan." Tambah Danar, pria yang berdiri tepat di samping Arsa. Bhirendra kembali bertanya dengan suara rendahnya, "apakah mereka mengeluhkan sesuatu misalnya kondisi kamar atau makanan di barak?"

Kedua bawahan sang panglima saling bertukar pandang kemudian menjawab, "sejauh ini tidak terdengar keluhan apapun. Mereka memakan semua yang kita suguhkan sampai tak tersisa. Hanya saja perempuan berambut kuning itu masih sering menangis. Tapi perempuan satunya, yang berambut hitam, tampaknya selalu berusaha memberi suntikan semangat."

"Aku mengerti." Timpal pria bermanik hijau itu dengan helaan napas, "tetap awasi mereka. Besok utusan dari istana akan tiba. Biar orang-orang itu yang akan menindaklanjuti keempat orang asing tersebut."

"Utusan istana?" ulang Arsa dengan wajah heran. "Apakah berita kemenangan kita sudah diterima pihak kerajaan di ibukota? Wah, cepat sekali!" tambahnya dengan asumsi riang.

Bhirendra melirik ke arah bawahannya itu dengan tatapan tajam, "kembali ke tempatmu!" Arsa mendadak menjadi batu, ia menjawab dengan kaku, "baik, Tuan."

Kedua bawahan Bhirendra itupun keluar dari ruangan. Membiarkan pimpinan mereka menyegarkan diri di pemandian dan beristirahat lebih awal. Bhirendra membuka seluruh pakaiannya dan segera membenamkan diri dalam bak porselen di kamar mandinya. Otot-otot bisepnya yang menonjol di keseluruhan tubuh telah membentuk barisan rapi ditengah perutnya. Beberapa parut dan luka baru yang hampir mengering justru menonjolkan sisi maskulinitas yang kuat sebagai seorang ahli yang telah melewati banyaknya pertarungan berbahaya. Pemuda bertulang pipi tinggi itu mengernyitkan alisnya yang tebal tatkala teringat sosok perempuan bersurai hitam panjang di tengah medan pertempuran beberapa hari yang lalu.

"Dia benar-benar mencolok." Gumam Bhirendra sambil mengguyur rambutnya dengan nada yang datar. Setahu pria itu, selain keturunan Bhayangkara berdarah murni tidak ada seorangpun yang memiliki surai hitam pekat laksana gelapnya malam seperti perempuan asing tersebut. Dari keseluruhan pelindung yang masih tersisa, hanya Bhirendra-lah satu-satunya yang memiliki warna rambut senada dengan perempuan asing itu.

"Pantas saja musuh begitu mudah menemukan keberadaanku di medan pertempuran." Ucap Bhirendra yang kembali teringat bagaimana dengan mudahnya ia menangkap sosok perempuan asing itu ditengah pergulatan dahsyat di medan perang beberapa hari yang lalu karena warna rambutnya.

Bhirendra memejamkan mata, bersandar dengan nyaman di dalam bak mandinya sambil terus berpikir. Entah mengapa dirinya merasakan suatu perasaan aneh yang tak bisa ia jelaskan terhadap perempuan fana itu. Dadanya berdenyut secara tiba-tiba dan menimbulkan efek nyeri setiap kali ia tidak sengaja teringat rupa gadis itu. Bhirendra mengerutkan alis dan membenamkan diri berulang kali dalam luapan air, berharap adanya ketenangan yang akan ia dapat. Alih-alih berhasil, pemuda itu justru semakin merasakan rasa penasaran yang merangsang gejolak adrenalinnya.