webnovel

Bab 11 Kesadaran Spiritual Dan Mata Batin

Suara tenor Bhirendra memecah kecanggungan. Pria itu membuka pembicaraan dengan bertanya nama lengkap gadis yang ada di depannya. Reina merasa heran namun tetap menanggapi pertanyaan itu dengan sopan.

"Reina Dharma Nirmala. Dharma Nirmala di ambil dari bahasa Sansekerta. Dharma berarti kebenaran, Nirmala berarti murni atau berbudi luhur sedangkan Reina di ambil dari bahasa Jepang yang berarti bijaksana. Secara hakikatnya Bunda Dhea ingin aku menjadi seorang perempuan bijaksana yang berbudi luhur. Selalu berdiri dalam kebenaran dan kemurnian seumur hidup." Tutur Reina panjang lebar tanpa memedulikan tanggapan pria di belakangnya.

Bhinendra tak menanggapi dan melanjutkan perjalanan dengan menutup mulut sepanjang hari. Ia sengaja membiarkan Reina mendominasi pembicaraan agar gadis itu tak lagi mengungkit masalah pertanggungjawaban yang telah dijanjikannya. Walau terdengar cerewet, bagi Bhirendra kehadiran Reina cukup membantu. Setidaknya kicauan gadis itu bisa menghibur perjalanan panjang kali ini.

Setelah seharian berkuda, kedua orang yang berbeda karakter itu tiba di sebuah desa kecil yang bernama Cayapata. Sebuah desa yang memiliki keunikan dengan rumah-rumah kecil yang di bangun di sebuah pohon yang besar dan kuat. Rumah pohon tersebut tidak hanya berdiri di akar, akan tetapi ada pula yang di bangun di tengah batang atau cabang dari satu pohon dewasa atau lebih yang berada di atas permukaan tanah. Pohon-pohon besar itu tidak hanya rindang namun memiliki bunga yang rimbun berwarna merah muda di puncaknya.

Desa yang memiliki arti gugusan bintang itu menjadi tempat peristirahatan pertama mereka. Bhinendra dan Reina menginap di sebuah rumah pohon yang memiliki dua kamar berdampingan yang terletak di cabang paling atas. Di dalam kamar itu terdapat sebuah tempat tidur kapuk sederhana yang langsung di hamparkan di atas lantai dengan sebuah bantal serta selimut berwarna putih di atasnya. Tempat tidur itu berada di sisi kiri dan berbatasan dengan dinding. Di samping kanan tempat tidur itu ada sebuah lentera kaca yang berdiri tepat di sudut meja tulis kecil. Tak hanya itu, sebuah jendela tingkap berbentuk bulat terpasang estetik di samping meja.

Reina menghirup udara malam sepuasnya dan bersandar nyaman di jendela yang terbuka. Matanya benar-benar termanjakan dengan pemandangan indah langit malam dengan taburan bintang yang menyerupai aliran sungai. Seumur hidup tinggal di kotanya, Reina tidak pernah melihat fenomena menakjubkan seperti yang saat ini di lihatnya. Mau tidak mau ia harus mengakui bahwa alam dimensi gaib ini memang sungguh melenakan.

Pintu terketuk dan membuyarkan lamunan, membuat Reina harus menolehkan pandangan ke sumber suara. Bhinendra muncul membawa sebuah nampan berisikan makanan ke dalam kamar. "Makan malam." Ujarnya tanpa mengubah ekspresi datar di wajahnya.

Reina mengambil benda yang di sodorkan Bhinendra dan melahap jatah makan malamnya dalam keheningan. Salah satu alis Bhinendra terlihat naik begitu melihat ada sisa makanan yang masih utuh di sisi paling ujung piring yang telah kosong. Potongan jamur kuping sama sekali tidak di gubris gadis itu. Seolah faham dengan alterasi pria di depannya, Reina pun menjelaskan bahwa dirinya memang sejak kecil tidak bisa memakan makanan dengan tekstur kenyal semacam jamur atau kulit ayam. Dipaksakan seperti apapun tetap akan berakhir dengan muntahan asam lambung yang tak mengenakkan.

Bhinendra menghela napas kemudian menyingkirkan nampan kosong di sudut kamar. Keseriusan kembali terlihat dalam netra zamrudnya yang terang. Reina sedikit heran mendengar permintaan Bhinendra untuk duduk senyaman mungkin sambil memejamkan mata. Ada terbersit kecurigaan terhadap tingkah aneh pria itu. Reina refleks menolak bahkan menghindar dengan memundurkan langkah.

"Kau tidak perlu ketakutan seperti itu. Aku hanya ingin memastikan dugaanku tentang kesadaran spiritual dan mata batinmu yang belum sepenuhnya terbuka." Tutur Bhinendra dengan tarikan napas panjang.

Reina masih menaruh curiga dan enggan beranjak dari kewaspadaannya, "kesadaran spiritual dan mata batin? Apa maksudmu?"

"Apa kau tidak ingat bahwa kau pernah berubah dan menyerangku secara membabi-buta di barak kemiliteran kemarin?" tanya Bhinendra di iringi gelengan kepala Reina. Pemuda itu menghela napas dan kembali berujar, "tidak hanya itu, saat para tetua aula perbintangan melakukan tes kelayakan padamu dan ketiga temanmu waktu itu, apa kau ingat bahwa kau pun mengalami transformasi? Warna kulitmu berubah menjadi kuning langsat dan matamu semerah darah."

Mendengar penuturan Bhinendra yang terdengar mengada-ngada, Reina pun tergelak. "Jangan bergurau! Aku bukan anak kecil yang mudah dibodohi dengan kisah transformasi seperti itu. Kau kira aku titisan siluman atau mutan? Sungguh menggelikan."

Reina terkekeh-kekeh hingga terbungkuk dan mengeluarkan air mata. Perutnya benar-benar tergelitik dan sukar berhenti tertawa. Namun ia terdiam ketika mendapati raut waja Bhinendra yang tidak berubah. Keseriusan pria itu telah menyadarkan Reina bahwa apa yang telah di sampaikannya merupakan suatu fakta yang tidak bisa dibantahkan. Mau tidak mau Reina harus menerima kenyataan dan bersedia mengikuti instruksi yang di berikan Bhinendra kepadanya.

Dua orang itu duduk berhadapan dengan posisi kaki terlipat. Kedua tangan terletak di atas kaki dengan mata yang terpejam. "Fokuskan pikiranmu!" pinta Bhinendra yang kemudian memutar dua jarinya. Sebuah sinar putih kecil keluar dari dua jari pria itu dan kini telah masuk ke dalam tulang frontal Reina. Alis Bhirendra tiba-tiba berkerut merasakan penolakan dari energi internal gadis itu. Dengan susah payah sang pelindung menyelesaikan proses pembukaan kesadaran spiritual hingga dirinya terpental beberapa langkah ke sudut ruangan.

"Kau tidak apa-apa?" seru Reina yang telah membuka mata dan melihat Bhinendra telah tersungkur dengan sudut bibir yang berdarah. Reina menghampiri pria itu dan membantunya duduk dengan nyaman. Perempuan itu menuangkan segelas air dan memberikannya pada Bhirendra.

Setelah pria bersurai hitam itu membaik, Reina pun membuka suara. "Apa yang terjadi padamu?" Bhirendra melirik tanpa berkata apapun. Ia memperhatikan gadis fana yang menatapnya dengan penasaran itu secara teliti. Alih-alih menjawab, ia justru berdiri dan kembali ke kamarnya tanpa pamit. Sikap seenak hati pria itu membuat Reina terheran-heran.

Bhirendra yang sudah berada di atas tempat tidur tampak melakukan meditasi dan berhasil menormalkan lagi tenaga dalamnya yang sempat rancu. Kebingungan melanda pria yang terkenal dengan ketenangannya itu. "Kenapa kesadaran spiritualnya tak bisa di tembus? Padahal mata batinnya sudah terbuka seperti itu. Bukankah dengan mata batin yang sudah terbuka, akan semakin mudah menembus kesadaran spiritual seseorang. Tapi mengapa kekuatanku justru di tolak olehnya?" ucap Bhirendra pada dirinya sendiri.

Tampaknya aku harus mencari tahu penyebabnya dan mencari cara alternatif untuk bisa membobol pertahanan dari segel spiritual gadis itu. Belum pupus Bhinendra menelaah probematika yang tengah ada, kini terdengar gedoran kuat yang tiada hentinya dari balik pintu kamar. Suara Reina yang memanggil-manggil namanya terdengar nyaring dan sedikit panik.

Begitu Bhirendra membuka pintu, Reina langsung menerobos masuk dan bersembunyi di balik punggung lebar pria itu. "A-ada kadal besar bisa berbicara!" seru gadis itu dengan wajah yang pucat. Ia menarik napas berulang kali seolah mencoba meraih ketenangan dalam ketakutan yang sedang ia hadapi.

Dengan tubuh gemetar serta suara yang tercekat, Reina pun kembali membuka suara, "a-aku pasti sudah tidak waras! Semenjak tiba di sini aku semakin sering berdelusi. Jika ku katakan kalau tadi aku melihat seekor kadal setinggi anak kecil berbicara padaku, apa kau akan percaya?" Bhinendra hanya diam dengan alis yang saling bertaut. Ekspresi datar yang biasa di tampakkan pria itu justru membuat Reina semakin terlihat kebingungan dalam menjelaskan.

"Tadi ketika kau kembali ke kamar, aku pun sudah hendak terlelap di atas pembaringan. Tetapi aku terbangun begitu mendengar suara berisik dari samping meja. awalnya aku melihat ada seekor kadal kecil di sana namun entah kenapa ukuran kadal itu semakin membesar dan mengajakku berbicara. Tentu saja aku terkejut dan tanpa pikir panjang berlari keluar. Aku tahu kau takkan percaya. Jangankan dirimu, aku pun merasa diriku sudah tidak sehat." Reina terduduk dengan kaki yang tertekuk. Tangannya meremas surai hitamnya yang tergerai acak dengan penuh rasa lelah.

Alih-alih membantu gadis itu berdiri, Bhinendra malah berjalan keluar untuk melihat keadaan dan menghilang dalam gelapnya malam. Hanya berselang menit, pemuda dengan iris kehijauan yang terang itu kembali bersama suatu entitas astral yang barusan Reina sebutkan. Seekor kadal besar dengan tinggi sekitar pinggang sedang meringkuk ketakutan di bawah cengkeraman tangan Bhinendra.

Pria itu mengatakan kalau entitas yang ada di antara mereka merupakan siluman kadal yang biasa mereka panggil sebagai Cekibar. Siluman itu biasa menjaga pohon-pohon besar dan tua, memiliki warna unik di tubuhnya yang tercampur menjadi satu. Warna coklat kehitaman yang kadang berubah menjadi keabu-abuan. Dengan kepala berbingkul-bingkul, bersegi-segi dan berkeriput seperti halnya kakek-kakek dengan rigi mahkota kecil, terletak di sisi belakang kepala itu tidak berbahaya dan tampaknya ingin berteman dengan Reina. Entitas tersebut menyukai aroma tubuh gadis fana itu.

"Menurutnya aromamu manis dan memberikan rasa tenang." Cakap Bhinendra yang sudah kembali duduk di atas tempat tidurnya.

Reina kehilangan kata-kata. Ia menatap siluman Cekibar yang telah terikat dengan tali sihir itu lekat-lekat kemudian memukul pipinya dengan kuat. "Berarti aku tidak gila, kan? Aku tidak berdelusi, kan?" tanya Reina yang justru terdengar seperti orang yang tidak percaya. Reina tidak habis pikir bagaimana bisa cerita fabel yang dulu ia baca malah terjadi di depan mata.

"Tidak perlu merasa heran. Di alam kami, entitas seperti siluman kadal ini berbentuk nyata dan hidup saling berdampingan dengan masyarakat pada umumnya. Bagi siluman yang memiliki usia lebih dari lima ratus tahun biasanya bisa berubah wujud menyerupai manusia. Meskipun demikian tentu saja ada beberapa hal yang bisa membedakan mereka dengan manusia asli. Salah satunya dari kebiasaannya sehari-hari." Jelas Bhinendra yang kembali bersemedi sambil memejamkan mata.

Menanggapi penjelasan Bhinendra barusan, Reina kembali memijat keningnya yang semakin berdenyut. Dengan takut-takut, Reina perlahan mendekat ke arah Bhirendra dan berkata, "Bhi, malam ini aku tidur di sini, ya."

Respons Bhinendra sesuai dugaan, pria itu membuka mata dengan air muka yang tidak suka. Selain permintaan Reina yang tidak sopan, Bhinendra pun terlihat kesal dengan panggilan yang Reina sematkan padanya. Alhasil, tanpa mengeluarkan satu patah kata pun, Bhinendra menarik siluman Cekibar itu dan mengangkatnya ke udara. Rahang pemuda itu mengeras di sertai tatapan garang. Ekspresi yang telah berubah seperti seorang agresor itu telah menyadarkan Reina bahwa pria di depannya berniat melenyapkan nyawa sang siluman dengan sekali entakkan tangan.

Reina seketika menghalangi niat Bhirendra untuk mengeksekusi mati entitas lemah itu. Pria dengan sorot mata setajam bilah pedang disertai aura dingin yang menyelimutinya berkata, "bukankah ketakutanmu di sebabkan entitas ini? Jika aku tidak melenyapkan nyawanya maka kau tidak akan merasa tenang dan aman."

Siluman kadal itu mencicit kesakitan hingga mengeluarkan airmata. Entitas astral itu tampak mengiba, memohon pengampunan Bhinendra dengan sorot matanya yang semakin basah. Rasa tidak tega mengelayuti sanubari Reina. Bagaimanapun, entitas itu tak pernah melakukan perbuatan jahat terhadapnya. Siluman itu hanya ingin mengajaknya berbicara dan berniat berteman dengannya. Rasanya sangat tidak adil jika nyawanya melayang hanya karena keterkejutan dan ketakutan Reina yang sesaat.

Reina refleks memegang tangan Bhirendra saat pria itu hendak mengakhiri aksinya. Fokus Bhinendra teralih dan sudut matanya melihat gelengan kepala Reina. Tekanan sihir yang mencengkeram leher siluman Cekibar itu perlahan mengendur. Meski demikian tampaknya Bhinendra masih enggan melepaskan entitas lemah itu dari kungkungannya.

"Bhi, tolong lepaskan dia. Ku mohon." Pinta Reina dengan sungguh-sungguh. Jemarinya yang masih berada di tangan pria itu terasa dingin dan bergetar. Bhirendra yang menyadari ketakutan gadis itu akhirnya mengabulkan permohonan dengan perasaan kesal. Pemuda itu menarik tangannya dengan kasar hingga menyebabkan siluman kadal jatuh terjerembab ke lantai. Entitas astral itu mengerang ketakutan dan juga kesakitan karena luka-luka yang diakibatkan perlakuan kasar Bhinendra padanya.

"Kau tidak apa-apa? Maafkan aku, ya. Aku hanya terkejut. Belum terbiasa dengan situasi dan kondisi baru ini." Ucap Reina pada siluman kadal yang masih ketakutan itu. Dengan sedikit memberanikan diri, perempuan dengan surai hitam panjang tergerai itu menepuk lembut tangan sang siluman dan berbisik, "sekarang pergilah sejauh mungkin sebelum dia kembali marah." Siluman Cekibar itu menganggukkan kepala dan seketika hilang bagai di telan udara.

Bhirendra yang menyadari bahwa perempuan fana di depannya tak kunjung pergi, kini kembali mendesis dengan masam, "apa yang kau tunggu di sini? Kembali ke kamarmu sekarang juga!"

Jantung Reina hampir melompat keluar mendengar suara Bhirendra yang nyaring. Ia bahkan menabrak pintu yang masih tertutup saat hendak keluar dengan tergesa-gesa. Seumur hidup, Reina tidak pernah mendapatkan sikap penuh permusuhan dan intimidasi yang sekuat Bhinendra di dunianya. Tidak ada seorang pria pun di alam asal Reina yang bisa mengimbangi apa lagi menandingi aura dingin dari singa pembunuh Negeri Matahari Terbenam itu.

"Manusia gaib itu memang memiliki temperamen yang buruk." Omel Reina yang sudah terbaring dengan selimut yang menutup keseluruhan tubuhnya di tempat tidur.

Di saat Reina bersungut-sungut, Bhinendra justru berdiri di samping jendela dengan raut wajah yang terlihat tegang. Kejadian bebebarapa saat yang lalu telah membuatnya sadar bahwa posisi gadis fana di samping kamarnya itu tengah berbahaya. Aroma sang terpilih telah mulai di endus para entitas astral. Jika kesadaran spiritual gadis itu tak kunjung terbuka, Bhinendra khawatir akan terjadi perebutan hebat di kalangan siluman untuk mendapatkan energi besar sang terpilih. Meski ia melindungi dengan sepenuh jiwa raga bahkan berani mengorbankan nyawa, tetap saja jumlah entitas pengincar energi sang terpilih begitu membludak. Bhirendra sadar bahwa dengan hanya mengandalkan kemampuannya takkan bisa menjamin keamanan gadis fana tersebut.

Bhinendra mengernyitkan alis dan berpikir, andaikan kekuatan sang terpilih sampai di sedot oleh para makhluk jahat lainnya, bisa di pastikan pencarian batu Somo tidak akan pernah terselesaikan. Pemuda dengan alis tegas itu mengatupkan bibir dan mengepalkan tangan. Membulatkan tekad untuk menjalankan rencana yang ia susun meskipun bertentangan dengan prinsip hidupnya.

Pemuda itu berjalan dengan sangat pelan, membuka pintu kamar Reina dengan penuh kehati-hatian agar gadis yang tengah tertidur itu tidak membuka mata. Degup jantungnya semakin kencang tatkala pandangannya tertuju pada sosok Reina yang tertidur nyenyak dengan posisi meringkuk di dalam selimut. Tanpa menunda waktu, Bhinendra mengarahkan dua jarinya ke arah Reina dan sinar putih pun keluar menyusuri seutas benang tipis dari jari sang pelindung menuju tulang frontal gadis fana tersebut.

Sihir pelindung sementara telah Bhinendra aktifkan untuk meliputi aroma dari energi sang terpilih. Bhinendra merasa sedikit lega. Setidaknya sihir tersebut akan berfungsi jika Reina berada dalam kondisi buruk dan jauh dari indra penglihatannya.

Aku tidak menyangka suatu saat akan masuk ke dalam kamar seorang perempuan dan mengendap-endap seperti pria hidung belang. Jika bukan karena sumpah dan tugas untuk melindungi, demi Tuhan tidak akan ku lakukan tindakan melanggar kesopanan seperti ini. Bhirendra membatin sambil memijat kepalanya yang sedikit pusing. Ia kembali ke kamarnya dengan energi yang melemah dan duduk dengan posisi kaki terlipat untuk melanjutkan aktifitas bermeditasi yang sempat tertunda.