webnovel

Bab 10 Bhinendra Dan Reina

Sinar penyembuh berwarna putih kekuningan terpancar dari telapak tangan Gyan dan masuk ke dalam tubuh Bhirendra. Tabib kemiliteran itu terlihat pucat dan kelelahan setelah mengobati dua pasien yang saling baku hantam beberapa waktu yang lalu. Ia menarik napas dan terduduk lemas di atas kursi yang ada di depan Bhirendra. Energi internalnya benar-benar sudah di kuras oleh sepasang muda-mudi penuh masalah seantero alam itu.

Gyan lunglai dengan mata terpejam. Alisnya berkerut menandakan rasa kesal yang mendalam. Pria dengan kacamata itu tak habis pikir kenapa dua orang yang tidak saling kenal malah bertikai dan menghancurkan satu ruangan secara membabi-buta. Bukankah Bhirendra dan gadis fana itu tidak pernah terlibat dendam, justru keduanya telah terikat sumpah untuk saling bekerjasama menemukan batu Somo. Lantas, mengapa sekarang terlihat seperti dua musuh yang saling ingin membunuh? Kepala sang tabib berdenyut. Tanpa mempedulikan pandangan Bhirendra yang menusuk punggung, Gyan pun beranjak pergi meninggalkan ruangan tersebut.

Bhirendra mengepalkan tangan dengan wajah penuh keseriusan. Mengingat kembali apa yang telah terjadi di ruangan pribadinya yang telah hancur. Perempuan dengan netra indah seperti kristal Ruby itu menyerangnya seraya memanggil namanya terus-menerus tanpa jeda. Suara lembut dengan senyum tipis yang khas itu benar-benar mengusik ketenangan Bhirendra. Terlebih saat pria itu mendengar bisikan terakhir perempuan itu sebelum kembali tumbang.

"Bhi, siapakah diantara kita yang kelak akan melakukan pengorbanan terakhir?"

Bhirendra tidak mengerti maksud dari perkataan yang di lontarkan gadis itu. Ia mengusap wajah, berjalan bolak-balik dengan berkacak pinggang. Pikirannya melayang dengan uraian permasalahan yang membentuk gumpalan benang kusut di dalamnya. Tak ada istilah pengorbanan terakhir dalam tugas yang diberikan Datok kepadanya. Pun, dengan Maharaja. Penguasa Swastamita yang terkenal bijak dan adil itu tak pernah menyebutkan adanya istilah aneh itu. Lantas, Bagaimana sang terpilih justru memberikan pertanyaan ambigu yang seakan-akan menggiring pemikirannya ke arah yang tidak semestinya. Seolah-olah misi ini memiliki akhir yang mengenaskan dari salah satu pengembangan tugas. Apakah mereka harus mempertaruhkan nyawa di akhir petualangan nanti? Sungguh tidak masuk akal!

Sementara Bhirendra sibuk dengan berbagai asumsinya, Reina justru telah membuka mata dan terbangun dengan entakkan kuat. Ia terduduk dengan keringat yang membanjiri tubuhnya. Napasnya tersengal-sengal. Mata gadis itu bertemu dengan segelas air yang tergeletak di atas meja di samping tempat tidurnya. Tanpa berpikir banyak, perempuan itu meraih gelas tersebut dan segera meminum isinya hingga habis tak bersisa.

"Benar-benar ceroboh. Jika seseorang meletakkan racun di dalam air itu maka nyawamu sekarang sudah ke alam baka."

Reina menengadahkan wajah ketika mendengar suara khas nan rendah tengah mencibirnya. Suara itu seketika mengingatkannya pada pria misterius yang sering muncul dalam mimpinya. Reina penasaran dan memberanikan diri untuk menatap pria di depannya. Perempuan itu terkesima sesaat ketika iris matanya beradu dengan mata cantik pria itu yang berwarna hijau terang.

"Bhirendra?"

Reina refleks menutup mulut begitu menyadari raut wajah Bhirendra yang penuh permusuhan. Perempuan itu baru ingat bahwa ini kali pertama mereka bertemu secara langsung. Waktu itu, Reina hanya melihat Bhinendra di dalam mimpi. Ketika Radeeva memberinya racun, rambut pria itu memang panjang dan wajahnya pun tampak lebih muda beberapa tahun.

Bhinendra tetap berdiri tanpa bergeming sedikitpun. Pria dengan postur tubuh tegap itu bermonolog dalam pikirannya yang seperti coretan acak tak berujung. Keanehan yang di lihatnya pada perempuan asing dari dunia fana itu telah membuatnya kebingungan. Bukankah ketika perempuan itu melakukan penyerangan terhadapnya, mata gadis itu berwarna merah dengan kulit kuning langsat yang langka. Namun entah mengapa di kala perempuan itu dalam keadaan sadar, warna mata dan kulitnya justru kembali pada setelan awal.

Aku tidak mengerti, apa yang sedang terjadi pada tubuh gadis ini? Jika dia masih dengan kondisi tubuh fana pasti ia tidak akan mampu mengemban tugas berat yang Datok berikan kepadanya. Apakah kesadaran spiritual dan mata batin gadis ini belum sepenuhnya terbuka? Bhinendra membatin dengan spekulasi personal yang terus-menerus berkeliaran di otaknya.

Reina berdiri dan perlahan berjalan ke arah pintu. Langkahnya terlihat kikuk karena menghindari sorot tajam dari tatapan Bhirendra. Pria itu duduk di ujung meja sambil menyilangkan kedua tangan di dada. Dua kancing atas kemeja hitamnya terbuka dan rambutnya masih basah meneteskan air di setiap helaiannya. Selain itu ada rona kebiruan terlihat masih baru di pipi kirinya.

"Mau kemana?" langkah Reina terhenti ketika tangannya sudah mendarat tepat di gagang pintu.

"Ng, kembali keruangan saya." Jawab Reina sesopan mungkin tanpa berani membalikkan badan.

"Siapa yang memerintahkanmu kembali kesana?" Bhirendra bangkit dan berjalan menghampiri Reina. Tubuhnya yang tinggi dan berotot itu hampir menelan keseluruhan tubuh Reina yang kecil. Seakan-akan sedang mengintimidasi gadis itu dengan postur tubuhnya dari jarak dekat.

"Dari mana kau tahu panggilan itu?" jemari Bhirendra dengan gesit mendarat di leher Reina. Perempuan itu melenguh karena cengkraman kasar sang panglima perang Swastamita. Reina menabrak pintu dengan tubuh kecilnya. Kedua tangannya otomatis di cengkeram oleh tangan kiri pria dingin itu. Reina berusaha untuk melepaskan diri namun ia tak berhasil. Malah semakin menguatkan kungkungan jemari pria itu di lehernya.

"Apa kau tidak tahu betapa aku membenci perempuan sepertimu! Terlebih ketika kau menyebut nama panggilanku dengan mulut kotormu itu!" geram Bhirendra.

"A-apa maksudmu? Lepaskan aku!"

"Jangan berpura-pura! Kau sangat tahu apa yang aku maksudkan! Katakan! Dari mana kau tahu panggilan itu?"

"A-Aku tidak tahu. Tolong lepas!" pinta Reina dengan suara tercekat, "jika aku mati maka Kerajaan kalian pun akan musnah."

Bhirendra menarik tangannya begitu mendengar ucapan Reina dan berpikir sejenak. Lain halnya dengan Reina, perempuan itu mengepalkan tangan dan dengan berani meninju wajah pria itu sekuat tenaga. Reina mengaduh kesakitan. Tinjunya benar-benar hampir remuk membentur tulang pipi Bhirendra yang keras. Wajah Reina memerah dengan sudut mata yang berair. Ia menatap Bhirendra dengan garang. Alih-alih tersungkur, pria itu justru terdiam dengan muka yang datar. Tak terlihat ekspresi kesakitan diwajahnya. Bahkan, tak ada sedikitpun bekas memar kebiruan di sana.

Bhirendra sialan! Aku menyesal telah bersimpati padamu! Batin Reina meradang.

Belum sempat situasi itu redam, kini terjadi insiden baru yang lebih membuat salah paham. Pintu di belakang Reina tiba-tiba terbuka. Tubuh Reina otomatis terdorong ke depan. Tangannya dengan refleks mendarat tepat di dada pemuda itu dan menarik kemeja hitam Bhirendra hingga membuat sobekan besar di sana.

Bhirendra tanpa sadar menangkap tubuh Reina yang limbung. Netra hijaunya membesar seolah-olah tidak percaya dengan apa yang telah ia lakukan. Alih-alih melepas, kedua orang itu jatuh terjerembab bersamaan di atas lantai.

"Tuan!" Arsa dan Danar masuk bersamaan tanpa mencurigai keadaan di balik pintu sebelumnya. Namun dalam per sekian detik, kedua orang itu nampak syok melihat pemandangan abnormal di depan mereka. Seorang Bhirendra, yang terkenal bengis dan ditakuti banyak orang kini terbaring pasrah ditindih wanita asing di atas tubuhnya dengan wajah yang memerah.

BRAAK!

Pintu kembali di tutup Danar dengan keras. Kedua bawahan Bhirendra itu membatu dalam pemikiran liar mereka. Sedangkan Bhirendra dan Reina tak kalah syoknya. Bibir kedua orang itu seketika bengkak dan memiliki luka. Musibah tadi membuat mereka berdua tidak sengaja berciuman. Reina melompat, menjauh dari jangkauan pria arogan itu. Ia bahkan menggosok-gosok bibirnya dengan raut wajah yang jijik. Bhirendra tak bergeming. Ia masih belum bisa mencerna kejadian barusan secepat Reina.

"Dasar iblis! Awas kalau kau mengatakan kejadian tadi pada orang lain!" ancam Reina panik. "Jika sampai ada yang tahu bahkan membicarakannya, aku akan menendang 'biji'mu sampai jadi serpihan debu! Ku pastikan kau takkan mampu menghamili perempuan manapun!"

Reina membuka pintu dan berlari meninggalkan Bhirendra yang masih tertegun. Arsa dan Danar terlihat semakin salah paham. Mereka bahkan mengulum senyum melihat tingkah kedua orang itu.

"Kalian berdua! Cepat masuk!" raung Bhirendra dari dalam ruangan. Pemuda itu sangat marah. Rona kemerahan yang perlahan menggelap hampir menjalar keseluruhan tubuhnya, membuat Arsa dan Danar semakin menundukkan kepala.

"Apa yang telah kalian lakukan?" geram Bhirendra dengan gigi yang gemeletuk.

"Ma-maafkan kami, Tuan! Kami mendorong pintu tanpa pikir panjang saat mendengar suara ricuh barusan. Kami kira kalian sedang berkelahi. Tapi ternyata kami salah. Mohon ampuni kami!" jelas Arsa terbata-bata.

"Kami memang sedang berselisih!" tegas Bhirendra yang masih berusaha menyadarkan diri.

"I-iya, Tuan. Kalian tampak sangat berselisih." Jawab Danar dengan lirikan nakal ke arah Arsa. Dengan senyum terkulum, sang rekan pun tak tahan untuk tidak menimpali, "iya! Benar sekali! Kalian tampak sangat, sangat, sangaaaat berselisih!"

Bhirendra mengerang, tidak percaya dengan apa yang telah terjadi. Ciuman itu, meski tidak disengaja tetaplah sebuah ciuman. Bhirendra tahu dengan jelas konsekuensi yang akan di tanggungnya kelak. Bagaimanapun ia harus mempertanggungjawabkannya. Tindakan amoral yang tidak sengaja mereka lakukan barusan telah mengikat pria itu selamanya.

Dalam tradisi dan budaya Swastamita yang konvensional, melakukan perbuatan menekankan bibir seseorang terhadap salah satu anggota tubuh orang lain merupakan tindakan asusila yang bisa dikenakan hukuman berat. Aktifitas itu hanya boleh dilakukan oleh pasangan yang telah menikah secara resmi dan di sahkan oleh stempel Kerajaan.

Bhirendra mendadak gamang. Ia menjilat bibirnya yang luka dan bengkak kemudian meludah ke bak sampah. Pria itu melepas kemejanya yang telah sobek dan menggantikannya dengan kemeja baru berwarna putih. "Ambil hukuman seratus kali putaran! Sekarang juga!"

Kedua bawahannya itu tidak membantah. Mereka segera berlari keluar ruangan untuk melaksanakan hukuman. Walaupun masih kebingungan, Arsa dan Danar tidak bisa menahan rasa geli mereka. Kedua orang itu bahkan terkekeh-kekeh mengingat kejadian langka beberapa saat yang lalu.

Jika Bhirendra sibuk dengan konsekuensi dari tindakan amoral di otaknya, lain halnya dengan Reina. Perempuan itu berjalan tanpa arah menyusuri lorong bangunan sambil bersungut-sungut. Ia tidak peduli dengan tatapan aneh para prajurit yang berpapasan dengannya. Amarahnya benar-benar telah tersulut. Bhinendra telah memicu emosi yang selalu Reina pendam. Ingin rasanya ia menendang dan menginjak-injak pria itu kemudian menyeretnya berkeliling barak untuk meluapkan rasa kesalnya. Namun ia tahu bahwa itu hanya mimpinya semata. Bagaimanapun kekuatan Bhirendra lebih unggul darinya. Dengan sekali tatap pun sudah pasti bisa menciutkan nyali Reina yang kecil.

Reina menghela napas dalam dan panjang. Ia begitu lelah menghadapi orang-orang asing serta lingkungan baru di dimensi gaib ini. Saat ini yang ia butuhkan hanyalah ruangan tenang dengan makanan yang banyak. Reina ingin menghilang sejenak dalam kedamaian, akan tetapi harapannya itu seketika pupus saat menyadari dua orang tetua yang pernah ia lihat sudah berdiri tegak di ujung lorong.

Tapak kaki Reina mundur tanpa ia sadari saat kedua orang itu berjalan mendekatinya. Langkahnya terhenti saat ia kembali menabrak tubuh seseorang dibelakangnya. Tangan besar seorang pria menghentak tulang humerus Reina agar berdiri tegap. Reina menengadah dan mendapati netra hijau terang tengah memandang dua orang di depannya dengan tajam.

"Dia baru siuman." Ucap Bhirendra datar, "Kalian tidak perlu secepat itu memintanya untuk pergi, bukan?"

"Semakin cepat semakin baik." Balas Adrika, perempuan berambut ungu acuh tak acuh.

"Dia disini hanya untuk melaksanakan misi. Dia tidak memiliki hak untuk menunda-nunda waktu!" Tambah pria berambut kuning keemasan bernama Madhava.

Bhirendra menarik Reina ke belakang tubuhnya. Pria itu menyingsingkan lengan kemeja dan melemaskan otot di pergelangan tangannya. Kedua orang itu, Adrika dan Madhava saling melempar pandang kemudian mundur selangkah.

"Aku tahu kalian hanya melaksanakan perintah petinggi aula perbintangan. Tapi kalian pun harus tahu bahwa aku pun telah disumpah untuk melindunginya. Jika kalian masih bersikeras memaksakan kehendak, jangan salahkan jika aku bertindak kurang ajar."

Reina tidak bisa berkata-kata. Aura Bhirendra benar-benar menggelap penuh dengan keintimidasian. Entah apa yang menyebabkan Bhirendra begitu kesal terhadap kedua orang di depannya. Reina tidak peduli dengan dendam diantara mereka, yang jelas ia harus segera menenangkan pria bersurai hitam itu sesegera mungkin. Gadis itu tahu akan akibat dari temperamen buruk Bhinendra, sudah bisa dipastikan bahwa tempat itu akan hancur karena pertarungan kelak.

"Saya sudah bertemu dengan Datok." Celetuk Reina dibalik punggung Bhirendra. "Kalian tak perlu khawatir! Saya akan segera menunaikan tugas, namun sebelumnya ijinkan saya bertemu teman-teman saya."

Adrika menaikkan dagu, "kau akan bertemu mereka jika sudah menyelesaikan tugas dengan tuntas. Mereka sudah kami pindahkan ke tempat yang aman. Pihak kerajaan akan menjamin keamanan mereka selama mereka tidak bertindak di luar batas kewajaran."

Perempuan angkuh itu melirik ke arah rekan prianya. Madhava, pria yang berdiri di samping Adrika itu menggerakkan tangan seolah-olah tengah mengusap udara. Seketika muncul sebuah cermin besar yang memantulkan sosok dari ketiga sahabat Reina.

"Benarkah mereka baik-baik saja? Jangan-jangan itu hanya ilusi yang mereka ciptakan untuk mengelabuiku?" gumam Reina ketika melihat ketiga temannya duduk nyaman di sebuah taman sambil menyantap berbagai macam kudapan.

"Mereka tidak berbohong. Cermin itu benar-benar memperlihatkan situasi yang sedang teman-temanmu alami saat ini." Jawab Bhirendra tanpa mengurangi rasa waspadanya. Meskipun beberapa saat yang lalu pria itu berbuat kasar, entah kenapa Reina justru mempercayai perkataannya dengan sepenuh hati.

Madhava menarik tangannya dan seketika cermin itu pun menghilang. "Sekarang kalian bisa bersiap diri. Semua perbekalan dan perlengkapan yang kalian perlukan sudah ada di sini." Tutur Madhava sembari melemparkan sebuah bandul kecil berwarna kuning seukuran kelereng bertali hitam ke arah Bhirendra.

"Jika kau sudah bisa berkomunikasi langsung dengan Datok, berarti kami tidak mempunyai peran lagi di sini." Ucap Madhava kepada Reina dan kemudian menghilang bersamaan dengan rekan perempuannya. Bhirendra menjadi lebih tenang. Ia menatap bandul itu kemudian membelitkannya ke pergelangan tangan kirinya. Tanpa memperdulikan kesiapan Reina, pria itu menarik tangan gadis itu dan membawanya kembali ke dalam ruangan sebelumnya.

"Ganti bajumu!" perintah Bhirendra kepada Reina. Perempuan itu melirik pakaiannya yang oversize. Tidak terlalu buruk, meski ada sobekan di mana-mana. Wajar saja, semenjak melarikan diri dari kejaran para pembunuh bayaran hingga saat ini, Reina memang belum berganti pakaian sama sekali.

"Aku nyaman dengan pakaian ini." Ucap Reina dengan santainya.

"Aku tidak menanyakan nyaman tidaknya dirimu!" Timpal Bhirendra sambil membuka kemeja dan berganti dengan pakaian lain yang ada di lemarinya. Ia bahkan tidak perduli dengan perasaan malu dan tak nyaman Reina ketika melihatnya bertelanjang dada. Reina memalingkan wajahnya dan menatap asal ke sembarang arah, "tidak tahu malu! Tidak bisakah kau berganti pakaian di tempat lain? Apa kau tidak melihat aku di sini?"

Bhirendra seolah tuli. Pemuda itu tetap memasang wajah tanpa ekspresinya dan terus melanjutkan aktifitas tanpa terganggu sedikitpun. "Untuk apa merasa malu pada perempuan cabul sepertimu. Bukankah kau sudah melakukan hal yang lebih memalukan padaku?"

Wajah Reina seketika merona teringat kecelakaan di balik pintu beberapa saat yang lalu. Ia kehilangan kata-kata dan mendadak merasa berdosa. Alih-alih meminta maaf, ia justru mengelak dan enggan untuk mengakui, "itu bukan salahku. Jika bukan karena perlakuan kasarmu dan dorongan dari dua pengawalmu itu tidak mungkin peristiwa di luar nalar tersebut bisa terjadi!"

Bhirendra menghela napas dan menatap Reina dengan perasaan pelik. Rahangnya mengeras diiringi kerutan diantara kedua alis. Reina menangkap suatu tanda kegusaran dalam gerakan mata yang tidak konsisten. Bibir kemerahan pria itu sedikit terbuka kemudian kembali tertutup penuh keraguan.

"Aku akan bertanggungjawab." Ucap pria dingin itu pada akhirnya. Suaranya begitu pelan, hampir terdengar seperti bisikan yang membuat Reina terpaksa memajukan langkah untuk memperjelas pendengarannya.

"Sudah semestinya. Ayo, tanggung jawab sekarang juga!" desak Reina asal yang kemudian di balas ekspresi terperangah Bhirendra. Melihat perubahan raut muka pria di depannya, Reina pun kebingungan. Sebelum gadis fana itu kembali dengan perkataan anehnya, Bhirendra dengan cepat mengalihkan perhatian. Pria kaku itu meletakkan satu set pakaian serba hitam di atas tangan Reina dan memerintahkan perempuan itu untuk segera memakainya.

Reina merutuk dalam hati namun ia tetap mengikuti perintah Bhirendra untuk memakai pakaian yang super besar itu dengan wajah yang masam. Bhirendra menaikkan alis dan menatap Reina dengan pandangan aneh. Alih-alih tertawa, pria itu diam sesaat dan bergumam pelan. Ia mengusap bandul di pergelangan tangannya dan mengarahkannya kepada Reina. Seketika pakaian itu menyusut dan menyesuaikan dengan ukuran tubuh gadis itu.

"Hebat!" Reina berseru takjub. Bhirendra memakaikan jubah berwarna hitam ke tubuh Reina dan berkata, "perjalanan kita akan panjang, rumit dan berbahaya. Aku harap kau bisa memiliki manfaat dan tidak hanya menjadi beban." Pria itu meraih pedang dan berjalan cepat keluar ruangan. Ia tidak memberi Reina waktu untuk membalas perkataannya.

Reina, yang biasanya selalu bergerak lebih gesit dibandingkan perempuan lain di LSM nya itu tampak kesulitan mengimbangi langkah cepat Bhirendra. Ia bahkan harus berlari demi menyusul jejak si tukang marah yang sudah berada cukup jauh darinya. Perempuan itu harus melompati beberapa anak tangga ketika Bhirendra sudah berada di lantai dasar bangunan. Napas Reina naik turun. Keringatnya mulai bercucuran. Namun pria bernetra hijau itu malah terlihat biasa.

"Arsa! Danar!" panggil Bhirendra pada dua bawahannya yang sudah menyelesaikan hukuman. "Aku serahkan semua yang ada di sini pada kalian. Bawa kembali pasukan ke ibukota dengan aman. Hubungi aku jika kondisi tidak terkendali."

"Baik, Tuan!" jawab Arsa dan Danar secara bersamaan.

"Ambilkan seekor kuda untuk dia!" ucap Bhirendra kepada Danar sembari melirik dingin ke arah Reina. Danar mengangguk dan segera menghilang. Namun beberapa saat kemudian ia muncul bersama dengan seekor kuda berwarna coklat. Bhirendra bersiul. Seekor kuda hitam besar berlari cepat dan berhenti tepat di depan pria arogan itu. Pemuda itu melompat ke atas kuda dan menatap Reina, "apa yang kau tunggu? Cepat naik!"

"Naik kuda? Aku?" tanya Reina dengan ekspresi yang sukar dilukiskan. Ia ragu untuk memberikan penjelasan dan hanya tersenyum kikuk sambil menggaruk pipinya yang tidak gatal. Melihat tingkah aneh perempuan di depannya, Bhirendra pun mengerutkan alis. Ia memiliki firasat yang tidak enak mengenai perjalanannya kali ini, "Jangan katakan kau tidak tahu cara menunggangi kuda."

Reina tersenyum kelu dan menganggukkan kepala membalas perkataan Bhirendra yang sangat benar itu. Arsa dan Danar hampir tidak bisa menahan rasa gelinya saat melihat tuan mereka mengusap wajah yang tampak benar-benar kusut dan kesal sekaligus. Bhirendra mengumpat dalam hati karena firasatnya tidak meleset sama sekali. Tentu saja dalam kondisi saat ini, makhluk fana di depannya tidak memiliki keahlian seperti mereka.

"Mencari keberadaan batu Somo dengan kemampuan nol seperti itu? Sungguh menggelikan!" cibir Bhirendra dengan pandangan merendahkan ke arah Reina. Meskipun terdengar sarkas, pemuda dingin itu tetap membawa kudanya berjalan mendekati Reina. Dengan sangat terpaksa, mau tidak mau, Bhirendra harus mengulurkan tangan dan menarik perempuan yang tidak di sukainya itu untuk duduk bersamanya dalam satu kuda.

"Perempuan memang hanya membuat beban!" Bhirendra menarik tali kekang sang kuda dan menderu cepat setelah membuat keluhan panjang di telinga Reina. Pria bersurai hitam itu benar-benar di penuhi rasa sebal semenjak kehadiran perempuan asing tak ia kenal. Dan sialnya, ia akan terus menerus berada disamping sumber 'beban' itu dalam jangka waktu yang cukup panjang.