Bel tanda jadwal ulangan kenaikan kelas terakhir berbunyi, menandakan keseluruhan kegiatan ulangan yang sangat melelahkan itu telah berakhir. Seluruh murid keluar dari ruang kelas dengan raut wajah cerah, meski belum tahu hasilnya, namun perasaan lega karena rangkaian kegiatan ulangan telah berakhir terpancar di ekspresi mereka masing-masing.
Marsel merangkul leher Aldy dari samping. "Nongkrong kuy."
"Di mana?"
"Ga tau, enaknya ke mana ya?"
Aldy menyingkirkan rangkulan tangan Marsel dari lehernya. "Ga jelas lo, lo yang ngajak juga."
"Gue juga bingung. Biasanya abis ulangan begini kita tawuran. Tapi gegara si bos satu ini yang udah ngebantai puluhan murid sekolah lain sendirian, jadi gak ada yang berani lagi ngajakin kita tawuran. Dan gegara si bos satu ini juga, gengnya Edwin sama Zico juga udah gak bisa diajak ribut, karena semua geng di Caius Ballad udah jadi satu."
Aldy menoleh. "Kalo lo emang segitunya mau nyari keributan, coba bakar ruang kepala sekolah. Pasti rame."
Mendengar tanggapan dari Aldy membuat Marsel membulatkan matanya dengan sempurna. "Gila lo ya?"
"Lo yang gila. Gak capek apa berantem mulu?"
Marsel memasang tampang mengejek yang sangat tidak enak untuk dilihat. "Denger kata-kata itu dari orang yang paling galak kalo lagi berantem, rasanya pengen muntah."
"Bacot." balas Aldy lalu mengeluarkan ponselnya.
Selama ulangan kenaikan kelas berlangsung, ponselnya dalam keadaan mati. Dan saat menyalakannya, ponselnya bergetar. Sebuah pop-up pesan dari Maureen muncul di layar ponselnya.
Aldy membuka kunci layar ponselnya dan melihat isi pesan itu.
--Semangat ulangannya!—
Aldy tersenyum dan mengembalikan ponselnya ke dalam kantung celananya. Marsel melihat hal itu dan langsung menatap Aldy dengan tatapan yang aneh.
"Cieeee, dari sapa tuch? Gebetan ya?"
Aldy hanya menatap geli ke arah Marsel sekilas dan meneruskan langkahnya meninggalkan Marsel di belakang.
Sepanjang jalan, Marsel terus berkicau tentang ia tak bisa menikmati liburan kali ini, karena keluarganya akan berkunjuk ke rumah kakeknya di Makassar.
Mendengar kicauan Marsel, membuat Aldy memiliki sebuah ide yang terlintas di pikirannya. Setelah class-meeting nanti, mungkin Aldy akan menanyakan apakah Heri ingin berlibur bersamanya dan juga Maureen.
Sepertinya menyenangkan, mengingat selama Aldy diadopsi, mereka belum pernah melakukan perjalanan liburan dengan keluarga. Kali ini dengan adanya Maureen, pasti hal itu akan sangat menyenangkan.
"Padahal Edwin ngajakin kita buat liburan ke villa-nya di Bandung. Zico katanya ikut. Dan kalo lo ikut juga, berarti gue doang yang ditinggal. Huhu, sedih daku jadinya."
Aldy mengeluarkan kunci motor dan berjalan ke arah parkiran. "Gue masih belum tau." balas Aldy. Jawabannya tergantung pada Heri nanti. Jika Heri menolak ajakan Aldy, mungkin Aldy akan mempertimbangkan mengajak Maureen ke villa Edwin di bandung saat liburan nanti.
"Tapi tahun ini lo mau ikut class-meeting ga? Katanya sekolah bakal ngadain perlombaan game antar kelas. PUBG Mobile, Mobile Legend sama Free-Fire. Perlombaan game PC juga ada, PUBG, Point Blank, sama Dota 2. Kayaknya bakal rame, walau yang paling rame palingan juga Mobile Legend. Gue yakin, kalo lo ikut main PUBG sama Point Blank, kelas kita bakal menang gampang."
Aldy memakai helmnya dan duduk di atas motor. Memutar kunci motor ke kanan untuk menyalakan engine motornya hingga terdengar bunyi raungan kenalpot. Aldy membuka kaca helmnya dan menatap Marel. "Kalo gue ikut, yang ada mereka semua bakalan pensi main game."
Marsel hanya bisa tersenyum masam mendengar jawaban Aldy.
Meski terdengar sombong, namun kemampuan Aldy dalam kedua game perang berbasis FPS itu, PUBG PC dan juga Point Blank memang tak bisa dipandang sebelah mata. Aldy bahkan pernah menerima permintaan bergabung dari club e-sport ternama seperti RRQ.
Alasan Aldy menolaknya memang sederhana.
Ia tidak ingin mengaitkan hobinya dengan kontrak apapun yang bisa mengekangnya.
Itulah mengapa meskipun sikapnya lumayan sombong mengenai game, tapi sejalan dengan kemampuannya. Jadi, Marsel memang tak bisa membantahnya sama sekali.
***
Aldy tiba di rumah. Setelah memarkir motornya di garasi, ia berjalan ke dalam.
Seperti biasa, Maureen akan berlari menuruni tangga dan memeluk Aldy setiap kali ia pulang sekolah.
Maureen menghirup aroma tubuh Aldy sembari memeluk erat tubuhnya. "Ih, Kak Aldy bau matematika."
"Mana ada yang kayak gitu. Ayah mana?"
"Papah? Di ruang tengah, lagi nonton bola. Emang kenapa nyari papah?"
"Gapapa." ucap Aldy melepaskan pelukan Maureen dari tubuhnya sehingga ia bisa melepas sepatunya. Setelah selesai, seperti biasa, Maureen akan memeluk lengan Aldy sambil ikut berjalan ke dalam rumah.
"Ah, curang itu! Jelas-jelas pelanggaran! Wasitnya berat sebelah nih!" teriak Heri di ruang tengah.
Aldy berjalan menghampiri Heri dan duduk di salah satu sofa di sana. Tentu Maureen ikut duduk di sebelah Aldy.
"Yah, bisa ganggu bentar ga? Ada yang Aldy mau omongin." ucap Aldy membuat Heri menoleh.
"Oh kamu udah pulang, nak? Gimana ulangannya? Lancar?"
"Lancar kok." jawab Aldy singkat sambil tersenyum.
Heri ikut tersenyum melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh Aldy. Heri menjadi yakin kalau ulangannya memang lancar.
"Terus, apa yang mau kamu omongin?"
Aldy menaruh tasnya di sebelah tempatnya duduk. "Liburan kali ini, mau jalan-jalan gak?"
"Jalan-jalan?" tanya Heri balik.
"Iya. Selama aku diadopsi, kita belum pernah liburan. Mumpung Maureen juga belum sekolah lagi, gimana kalo kita bertiga liburan. Sebelum Maureen mulai masuk sekolah."
Maureen yang mendengarnya langsung memandang Heri dengan tatapan penuh harapan. "Iya, pah!" ucap Maureen antusias.
Maureen melepaskan pelukannya pada lengan Aldy dan berdiri, berlari ke arah Heri dan duduk di sebelahnya lalu memeluk lengan Heri. "Kayaknya seru, ayo pah kita liburan."
"Gimana ya … " ucap Heri gantung lalu menatap Aldy dengan tatapan serius. Di sana, Aldy bisa melihat raut wajah menyesal dari Heri. "Belakangan, papah banyak urusan. Dan urusan ini bener-bener mendesak, yang gak bisa papah tinggalin."
Seperti dugaan, mendengar jawaban Heri, Maureen otomatis cemberut.
Namun Heri tetap berusaha tersenyum pada Maureen. "Gimana kalo kali ini, kalian liburan berdua aja? Pikirin aja mau liburan ke mana, nanti kasih tau papah keputusannya pas makan malam."
Maureen terdiam sejenak. Heri yang terlihat paling gugup di sini. Namun setelah beberapa saat, Maureen tersenyum dan mengangguk. "Ya udah kalo emang papah banyak urusan."
Heri mengelus kepala Maureen dengan lembut. "Makasih ya sayang udah ngertiin papah."
"Kalo gitu, sekalian Aldy mau nanya persetujuan ayah."
Heri menoleh pada Aldy. "Persetujuan tentang apa?"
"Edwin, temen Aldy yang waktu itu ikut bantu dekor kamarnya Maureen. Dia ngajakin ke villa-nya di Bandung. Kayaknya di daerah Dago. Kalo boleh, aku mau ngajak Maureen."
"Villa?" tanya Heri ingin meyakinkan.
Entahlah. Di satu sisi, Heri merasa khawatir dengan sifat Maureen yang sepertinya masih belum bisa mengurus dirinya sendiri. Namun di sisi lain, ia tahu bahwa ia bisa mempercayakan Maureen pada Aldy sepenuhnya, karena Aldy sudah membuktikan padanya bahwa anak itu adalah anak yang bisa dipercaya.
Heri mengalihkan pandangannya pada Maureen. "Kamu mau?"
Maureen mengarahkan pandangannya pada Aldy, terdiam sejenak. Ia belum kenal siapa orang bernama Edwin itu.
Heri kembali melihat ke arah Aldy, "Siapa aja yang ikut? Marsel?"
"Marsel gak bisa ikut gara-gara ada urusan keluarga. Selain aku sama Edwin, ada satu lagi, Zico. Orang yang waktu itu bawa Aldy ke rumah sakit."
Heri mengangguk mengerti mendengar jawaban dari Aldy. Sepertinya Edwin dan Zico adalah orang-orang baik. Dan karena Aldy yang mengatakannya, Heri bisa mengurangi rasa khawatirnya.
Heri merasa bangga pada Aldy, karena dari pembicaraan kali ini, Aldy terlihat seperti orang yang handal dalam hal negosiasi. Sepertinya jika dididik dengan benar, Aldy bisa menjadi penerus perusahaan konstruksi miliknya.
Heri kembali melihat ke arah Maureen. "Gimana? Kalo kamu emang mau, papah izinin."
Maureen mengangguk mengiyakan tawaran Aldy.
Aldy tersenyum mendapatkan hasil seperti itu.
Sepertinya liburan kali ini akan menyenangkan.