Masih sempat berganti pakaian untuk bertemu dengan tamu, kini aku dan Master Cassius sudah berada di depan pintu ruang tunggu.
Debar jantung menjadi tidak karuan, karena ini tamu pertama yang mencariku. Biasanya, para tamu di mansion ini hanya mencari Master Cassius atau orang lain yang tinggal di sini.
"Kau gugup?"
Pria yang berdiri di samping ku ini menatapku dengan ramah. Senyum tidak pernah pudar dari wajahnya.
Aku mengangguk pada Master. "Tentu saja."
Master Cassius menepuk kepalaku dengan lembut. Untuk anak 12 tahun, sudah pasti mengatakan ini hal yang wajar.
Pintu diketuk oleh Master. Tidak ada pelayan di sekitar sini saja sudah cukup membuatku kebingungan.
'Kenapa tidak ada pelayan di sekitar sini?' pikirku ketika baru saja menyadari tempat ini begitu sepi.
"Maaf sudah menunggu Anda lama."
Secara perlahan, pintu terbuka bersamaan dengan suara master.
Merasa penasaran, tubuhku sedikit condong ke samping untuk melihat siapa tamu yang sedang mencariku.
Namun, ketika pintu terbuka, setelah melihat isi ruangan yang dimana buku-buku tertata dengan rapi, lantai yang mengkilap, serta sofa yang terlihat sangat empuk itu, tak satu orang pun kulihat kehadiran seseorang.
Keningku mengernyit. Mataku kini mengedarkan pandangan ke dalam ruangan tersebut.
'Tidak ada orang?' pikirku.
Aku kembali menatap master yang sedari tadi tidak berkutik setelah membuka pintu ruang tunggu ini.
"Ada a–"
"Halo, vampir kecil."
Tubuhku seketika membeku di tempat ketika sosok yang gelap tiba-tiba muncul di depanku. Dengan segera, aku mengalihkan pandangan untuk melihat sosok yang ada di hadapanku itu dan mataku secara perlahan membulat.
Tamu tersebut secara tiba-tiba muncul dari atas– maksudku, tamu itu berdiri dengan posisi terbalik.
Mulutku terkunci rapat dibanding harus berteriak terkejut. Cepat-cepat aku mengalihkan pandangan untuk menatap master.
Namun, master tidak menunjukkan senyumnya. Sorot mata tajam yang sangat jarang kulihat itu biasanya muncul disaat dia sedang berkelahi, kini terlihat sedang menatap tamu itu dengan tidak senang.
Sedangkan tamu itu terkekeh melihat sikapku. Dia turun, memperbaiki posisi tubuhnya.
"Kau terkejut dengan salam pertemanan kita, huh?" ucapnya.
Akhirnya, tamu itu berdiri secara wajar; memijak lantai mansion ini.
"Siapa– siapa kau?" tanyaku.
Dia tidak menjawab pertanyaanku, melainkan senyumnya semakin merekah.
Aku menatap penampilannya. Rambutnya panjang yang digerai begitu saja berwarna putih, matanya juga berwarna merah, lalu pakaiannya– uh … aku tidak tahu harus bagaimana caranya menjelaskannya.
Kemeja hitam dikenakannya, juga rompi yang kancingnya berwarna emas. Dia mengenakan jas yang berwarna hitam dan luaran yang pernah aku baca di buku– apa itu namanya– oh, luaran itu bernama haori.
Tamu itu menggunakan celana berwarna hitam dan terdapat pedang yang disarung digantung di ikat pinggangnya yang berwarna cokelat. Dan ketika melihat ke bawah, dia menggunakan geta.
'Kombinasi pakaian Eropa dengan Jepang,' simpulku setelah melihat gaya berpakaiannya yang sedikit aneh.
"Tidak baik melihat orang terlalu lama, vampir kecil."
Aku tersentak begitu mendengar teguran darinya.
Cepat-cepat ku alihkan pandangan ke samping. Bahuku terangkat dan bisa saja wajahku kini telah merah padam.
"Untuk apa kau kemari? Bukannya kita sudah sepakat untuk tidak bertemu satu sama lain semenjak hari itu?"
Master mengangkat suaranya. Nadanya terkesan dingin dan tajam.
"Apa itu sapaan pertama mu setelah kita tidak bertemu selama lima tahun, Cassius?"
"Hentikan omong kosongmu, Leco."
Tamu itu bernama Leco– tampaknya, master dengan tamu itu mengenal satu sama lain.
Tamu yang bernama Leco itu terkekeh. Dia tidak menghiraukan ucapan menusuk dan ketidak terbukaannya master terhadapnya.
"Kau semakin kasar saja, Cassius. Lihat, wajahmu semakin tua jika terus seperti itu."
"Hanya denganmu saja aku seperti ini. Jadi, apa tujuanmu datang ke sini?" tanya master.
Pria berpakaian aneh itu mengangkat kedua alisnya yang berwarna putih.
"Apa teh lebih enak dibanding kopi?" tanyanya.
Aku terperangah. Itu bukan jawaban yang tepat dengan pertanyaan master dan master pastinya marah mendengar jawaban yang tidak berhubungan sama sekali.
Dalam diam, aku melirik master. Keringat muncul di pelipis, karena melihat raut wajah master yang menegang dengan mata merahnya yang menyala.
"Aku akan memanggil pelayan," ucap master.
Master berbalik, membuatku terkejut akan perubahan sikapnya.
"Master?" tanyaku.
Dia hendak meninggalkanku bersama dengan pria aneh itu.
"Tunggu disana sembari aku memanggil pelayan. Orang itu tidak berbahaya," kata master dengan senyum tipisnya.
Mataku mengerjap kaget begitu mendengar perkataan master yang seperti memerintah. Mau tak mau, seperti yang dilihat dari raut wajah master, aku harus mengikutinya.
Dengan hati-hati kutatap tamu aneh itu dalam diam. Tapi, pria itu telah memergokiku dengan senyum mekarnya.
"Aku sudah banyak mendengar tentangmu," ucapnya.
Aku terperanjat kaget mendengar ucapannya. Kedua alisku terangkat dan spontanitas membuat bibirku tertutup rapat.
Dia ber-oh ria. "Oh~ apa jangan-jangan ini pertama kalinya kau bertemu dengan orang asing setelah sekian lama?"
"Si– siapa kau?" tanyaku.
Kedua kalinya aku menanyai hal yang sama pada orang itu dan kedua kalinya aku mendapati senyum misterius darinya.
Pria itu membalikkan tubuhnya. Melangkahkan kaki untuk lebih memasuki ruang tunggu tersebut.
Dia berjalan mendekati sofa yang berwarna merah, lalu mendudukinya. Kedua tangannya diletakkan di atas sandaran sofa.
Dia duduk layaknya seperti tuan rumah ini.
Sedangkan aku, hanya berdiri dengan menatap penuh kebingungan akan sikapnya. Berdiri di belakang pintu yang masih terbuka lebar.
"Ah, benar. Tolong tutup pintunya." Senyumnya semakin membuatku tertekan. "Karena, ada sesuatu yang mau aku pastikan."
Tanpa kusadari, aku meneguk ludah yang terasa pahit. Tenggorokanku begitu kering, sampai terpikirkan olehku: 'Kapan master tiba?'
Namun, tidak mungkin master tiba dengan cepat. Pria yang satu ruangan denganku ini seakan memberi isyarat pada master untuk pergi.
Aku menekukkan leher. Menunduk dan menatap hati-hati pada pria tersebut.
"Tuan …."
"Panggil saja Leco. Orang-orang mengenalku dengan nama itu," ucapnya.
Aku mengangguk.
"Kalau begitu, apa tuan yang mencari saya?" tanyaku berbahasa formal padanya.
Pria yang memperkenalkan dirinya begitu singkat itu mengangguk dengan senyum sumringah. Tangan kanannya bergerak turun, lalu menunjuk ke arah sofa yang ada di depannya.
"Duduklah, kita akan berbicara sebentar selagi Cassius pergi," pintanya.
Aku mengikutinya. Menduduki sofa yang ada di depannya dengan tubuh yang entah kenapa seperti robot.
Setelah menduduki sofa tersebut, tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Tuan Leco. senyum masih terlukis jelas. Kuakui bahwa Tuan Leco ini tampan.
"Sudah berapa umurmu?" tanya Tuan Leco tiba-tiba.
Spontan, aku mengangkat kedua alis. Itu pertanyaan yang sama dengan master dan entah kenapa dua orang itu menanyakannya dalam waktu yang sangat berdekatan.
"12 tahun …," jawabku, ragu.
Tuan Leco terkekeh. "Kenapa jawabanmu terkesan ragu?"
Aku mengunci mulutku setelah mendengar pertanyaannya. Memang benar, umurku 12 tahun di tahun ini.
"Vladis."
Namaku disebut melalui mulut makhluk aneh itu. Dia memanggil namaku dengan santainya, seolah sudah akrab.
"Sejak kapan kau mengetahui namaku?" tanyaku.
Namun, aku menutup mulutku dengan rapat begitu melihat senyum misterius dan tatapan yang tidak dapat kuartikan.
Mata merah yang menyala, seakan kali ini dia benar-benar serius untuk membicarakan sesuatu.
"Aku sudah mengetahui namamu sejak kau lahir. Tidak ada yang aku ketahui di kehidupan ini. Orang-orang hidup dan mati, menjalankan kisah tersendiri dan kau–"
Napasku sempat terhenti ketika Tuan Leco menjeda perkataannya.
Kulihat Tuan Leco mengganti posisi duduknya. Dia mendorong tubuhnya ke depan untuk membungkuk dan menurunkan kaki yang tadinya menyilang. Lalu, kedua tangannya menopang dagu.
"Apa kau tidak penasaran, siapa yang sudah membuat hidupmu seperti ini?"