webnovel

Jangan Pergi Mama

Jangan Pergi Mama

"Rahasia apa, Alicia?"

Bertemu dengannya membuat Alicia teringat akan kejadian itu.

Kenapa dia bertemu lagi dengan wanita ular itu lagi.

"Katakan saja aku tidak takut!" tantang Alicia lalu berlalu meninggalkan wanita itu sendiri.

Mendengar itu Sara terdiam ternyata ia salah menyangka, dia fikir Alicia masih sama seperti yang dulu.

"Alicia!" teriak Gabriel mengejar sahabatnya itu.

Alicia tetap berjalan tanpa mempedulikan teriakan dari Gabriel.

"Alicia!" Gabriel mengehentikan langkah kakinya, nafasnya tersengal-sengal sahabat masa kecilnya itu berjalan dengan sangat cepat.

Kembali, Gabriel menuju tempat dia dan Alicia bertemu dengan wanita tadi.

Sesampainya di taman wanita yang berdebat dengan Alicia tak ada di tempat.

"Alicia apa yang kamu sembunyikan dariku," gumam Gabriel.

Ia duduk di kursi taman, otaknya tak henti-hentinya berfikir.Sebenarnya apa yang di sembunyikan oleh Alicia.

Gabriel sendiri menyadari beberapa tahun belakangan sifat Alicia memang sedikit berubah.

Wanita itu tak banyak bicara dan sedikit kasar.

Dalam hatinya mungkin Karena kedaan sang mama yang membuatnya seperti ini tapi, entahlah Gabriel merasa bingung dengan sifat aneh Alicia.

Alicia kembali menemui mamanya, ia menarik nafas panjang.

Seulas senyum terlukis di wajah berharap mamanya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Ma, " sapa Alicia ia berjalan mendekati Laura yang sedang memainkan ponsel miliknya.

"Alicia, bagaimana caranya menggunakan ini?" tanya Laura, saat terbangun dari koma ia hanya mengingat dua nama Alicia dan Abraham.

"Hem, begini, Ma," Alicia mengajarkan mamanya menggunakan ponsel.

"Bagus ya, kemana lelaki itu apa dia pacarmu?"

"Bukan, Ma. Dia sahabatku. Dia tangan kanan papa," ungkap Laura dengan wajah menunduk.

"Kamu kenapa?" Hati Laura merasa gelisah.

"Enggak, Ma."

"Cia, ingat pesan mama kamu harus cepat menikah," peringat Laura ia tak mau jika anaknya sampai tua nanti tak menginginkan pernikahan.

"Iya, enjoy," Alicia menghibur mamanya.

Kedua wanita itu tertawa bersama, rasa bahagia menyelinap di hati Alicia.

Melihat ibunya kini sudah bangun dari koma dan melihat senyum indahnya.

Senyum seorang malaikat yang mencinta dirinya dengan tulus.

"Au!" teriak Laura sambil memegangi kepalnya.

"Kenapa, Ma?"

Brug....

Tubuh Laura terjatuh di ranjang pasien, ia kembali tak sadar diri.

Sontak saja Alicia merasa sangat panik.

"Suster! Dokter!" Ia berteriak sekencang mungkin.

Tak lama seorang dokter dan dua orang perawat datang lalu, memeriksa keadaan Laura.

"Dok, tolong mama saya," pinta Laura sambil menagis.

Saat ini ia merasa sangat takut, ia tak mau mamanya tertidur kembali.

"Baik, Bu. Tunggu sebentar," perintah suster.

Alicia menunggu ibunya di depan pintu, rasa cemas dan khawatir menjadi satu.

"Tuhan, jagalah ibuku," pinta Alicia, gadis itu benar-benar takut.

Tubuhnya lemas tak berdaya, kini ia benar-benar rapuh.

Air mata yang selama ini ia bendung luruh membasahi pipi.

"Alicia," panggil Gabriel, ia melangkahkan kaki mendekati Alicia yang sedang menangis tersedu-sedu di kursi.

Kedua tangannya menangkup wajah Alicia," Tenang ada aku di sini," katanya menenangkan hati Alicia.

"Gabriel," ucap Alicia dengan terisak.

Di usap lembut rambut wanita yang selama ini menjadi sahabatnya.

"Menangislah jika itu membuatmu lebih baik."

***********

Semantara itu Riza sedang membereskan meja kerjanya.

Ingatanya kembali tentang Alicia ceo cantik yang memiliki sifat dingin bermata indah.

Mengingat Alicia melukis senyum di wajah taman lelaki blasteran itu.

Ia menatap jam pada dinding, jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore.

Bergegas dia berjalan menuju lobby, menunggu sahabatnya Ana yang bekerja sebagai ofice girl di perusahaan itu.

"Hai, bagaimana hari ini?" sapa Ana dari belakang langsung menggandeng tangan Riza.

"Ah, kamu Alhamdulillah lumayan. Lumayan bikin pusing," ujar Riza.

"Ayuk pulang udah sore," Riza melangkahkan kaki di susul dengan Ana yang berjalan di sebalahnya.

Cinta dalam diam itulah yang Ana rasakan. Sudah lama ia menaruh hati kepada lelaki blasteran Indonesia- Arab ini tapi, ia takut cintanya bertepuk sebelah tangan.

"Kok diam aja?" Riza membuka percakapan.

"Ah enggak aku capek," kilah Ana ia tak mau sahabat sejatinya itu tau perasaannya.

Sesampai di tempat parkir, nampak Tami wanita yang mencoba menggoda Riza sedang membenarkan kancing bajunya.

Menyadari tingkah laku Riza segera Ana mencubit lengan Riza.

"Au, Ana sakit?"

"Ya kamu lihatin cewek sampai segitunya. Enggak pernah lihat cewek cantik ya?" goda Tami.

"Enggak dia itu siapa?"

"Oh dia Tami anak kepala direktur kenapa? Kamu naksir?" Ana beraharap semoga Riza tak mengatakan hal yang membuatnya sakit hati.

"Tidak, aku tanya saja," jawab Riza sambil memakai helm.

Jawaban Riza sukses membuat hati Ana berbunga-bunga.

Ia yakin lelaki seperti Riza tak mungkin menyukai wanita seksi seperti Tami dan lain-lainnya.

Karena merasa bahagia membuat Ana termenung sambil tersenyum sendiri.

"Heh! Ayo naik bukannya senyum sendiri!"

"Ah iya-iya, sorry," Ana bergegas naik ke jok motor dan memakai helm.

"Udah siap? Rossi mau otweh nih," ledek Riza kepalanya menoleh ke Ana.

"Siap! Meluncur!"

Bahagia itu sederhana tak harus pergi keluar negeri cukup selalu melihat orang yang kita sayang setiap hari itulah arti bahagia yang sebenarnya.

Bagi Riza bersama Ana sahabatnya sudah membawa kebahagiaan bagi dirinya.

Dua puluh menit perjalanan dari kantor. Kini Riza tiba di kediaman rumah, rasa lelah ketika berubah menjadi amarah ketika ia melihat ibunya menangis di depan pintu.

"Ibu!" Riza berlari mengejar ibunya yang sedang menangis.

Keadaan rumah berantakan, kursi piring dan meja berhamburan dimana-mana.

"Ibu ada apa ini?"

"Ri, tadi abangmu kesini dia minta uang buat belikan istrinya baju," terang Indira ibu Riza sambil mengusap air mata di pipi.

"Lalu, apa ibu kasih, Bu?" Riza tetap berusaha menahan emosinya meski kini tak bisa di pungkiri darah dalam tubuhnya mulai mendidih.

"Iya, Nak," Indira mengangukan kepala.

"Ya Allah, ibu. Bang Dika sudah mempunyai istri harsunya dia bertangung jawab atas istrinya bukan sedikit-sedikit meminta pada ibu," Riza memeluk ibunya yang terlihat sangat terpukul.

Sungguh Riza tak mengerti dimana jalan fikiran kakak tirinya itu bukankah menafkahi istri adalah tangung jawab suami.

Menjadi kepala keluarga itu tak mudah itu yang menjadikan sampai detik ini Riza belum berani untuk meminang gadis pujaan hatinya.

"Bu, kalau bang Dika kesini bilang aku ya Bu," kata Riza ia tak ingin terjadi sesuatu pada ibunya.

"Iya, Nak. Maafkan ibu ya, Nak."

"Bu tidak ada orang tua yang salah, bagi Riza ibu adalah wanita baik yang terbaik," Riza mencium tangan ibunya.

"Ya Allah terima kasih engaku telah menitipkan putra yang begitu baik, semoga kelak kau berjodoh dengan wanita baik yang mencintaimu dan menyayangimu dengan tulus," doa Indira dalam hati.

************************

Dirumah sakit Alicia sedang di landa rasa khawatir. Sudah hampir dua jam dokter belum keluar dari ruangan ibunya.

"Gabriel, bagaimana ini," renggek Alicia.

Bersambung