webnovel

Bagian 7 - Di Tengah Hutan, Siluman Suraka

Alex diajak ke halaman belakang pesantren, di sana terdapat tiga petak kebun yang cukup luas dengan berbagai sayuran yang ditanam. Juga terdapat sebuah gudang tempat penyimpanan hasil tanaman sebelum dijual.

Alam masih gelap, mereka sampai di halaman belakang pesantren.

"Ternyata di sini masih ada kebun yang terawat dan enak di pandang... jadi latihan apa kita sekarang?"

"Haha... kau terlalu bersemangat," Sembari melemparkan sebuah tomat merah.

"Cih. Kau mulai menyebalkan lagi." Seraya menangkap buah tomat merah itu.

"Makanlah, sejak kemarin kau belum makan. Jangan sampai kau merepotkan."

"Hahaha... pernyataanmu membuatku pusing...." Tiba-tiba Alex memegang kepalanya dan langkahnya menjadi sempoyongan.

"Apa kau baik-baik saja?"

"Sepertinya tidak."

BRAK

Alex terjatuh dan pingsan.

"Hadeh... merepotkan sekali."

Tantuni mengangkat tubuh Alex dan membaringkannya di pelataran gudang. Sejenak Tantuni memandangi wajah Alex. "Kau belum bercerita kenapa kau bisa terdampar di sungai."

Perkiraan waktu masih jam setengah empat pagi. Tantuni membuat sebuah api unggun kecil, untuk menghangatkan badan. Setelah api menyala, dia masuk ke dalam kebun, dan menilik-nilik pohon singkong yang telah lumayan besar. Di ujung kebun dia mendapatkannya: dia tidak mencabut satu pohon singkong itu, tetapi dia menggali dan hanya mengambil satu buahnya saja, ukurannya sebesar tangan anak remaja. Dan, dia membakar singkong yang masih muda itu.

"Aku kira kau mati karena kelaparan." Ucap Tantuni karena melihat jari-jari Alex bergerak.

"Baru saja permintaanku dikabulkan. Mana bisa aku mati sebelum menikmati permintaan itu. Lagi pula satu buah tomat sudah cukup untukku.... ayo kita berlatih. Aku harus menjadi kuat." Ucapnya sayup dari balik cahaya api yang menjilatainya, dan mencoba bangkit.

"Kalimatmu terlalu panjang untuk seorang murid."

"Haha... berarti aku berbakat menjadi muridmu."

"Ini bukan kelas retorika atau mengarang novel, bodoh!"

Alex tersenyum simpul, "Baiklah!" Dia bangkit "Jadi latihan apa kita di pagi buta seperti ini." Dia berdiri menantang dengan tubuh yang gontai.

Tantuni melemparkan dua buah karung goni dan sebuah pisau kecil.

"Untuk apa ini?"

"Latihan hari ini temanya adalah memanen sayur pakcoy."

"Eu..." wajah Alex seketika merengut dan masam, "Ya-yang benar saja..."

Tantuni berdiri di samping Alex dengan sama memegangi dua buah karung goni, "Latihan di mulai!"

Seperti angin Tantuni memasuki kebun, membuat Alex yang berdiri di sampingnya membelalak.

"Hmph. Aku kira gerakanmu akan seperti petani tua yang renta! Baiklah, aku akan mencobanya."

Dari dalam kebun Tantuni berteriak, "Jangan sampai kau merusak tanaman lainnya."

"Percayakan padaku." Balas teriak.

Alex berlari dengan cepat masuk ke dalam kebun. Ketika dia masuk dia menyenggol pohon cabai sampai dahannya patah.

"Oooy...! Sudah kubilang jangan merusak tanaman lainnya!" Tantuni kembali berteriak.

Alex kaget mendengar teriakan itu, dia tidak merasa kalau dia merusak tanaman lainnya. Dia berhenti berlari dan menoleh kebelakang; begitu tercenganya dia, "Kenapa dia bisa tahu?"

Mereka pun memanen pakcoy dengan sorot lampu temaram yang berasal dari luar gudang.

Sejak saat itu, Alex mulai belajar dengan Tantuni dalam segala hal. Namun, Alex belum menyadari kalau usia Tantuni jauh lebih tua darinya walau wajahnya terlihat seusia dengannya. Tantuni telah berusia 35 tahun, sedangkan Alex masih berusia 25 tahun.

Jam tujuh pagi Alex keluar dari dalam kebun, Tantuni menyambutnya dengan singkong bakar yang masih hangat. Tantuni juga menyuguhi segelas kopi untuknya sebagai pendorong.

"Terima kasih," ucap Alex menerimanya. Lantas ia bertanya, "Kenapa kita harus memanennya saat pagi buta?"

"Nanti sore kita kirim sayuran ini ke Pasar Kertasari."

"Kertasari..." Alex terdiam, dia langsung teringat pada Surya dan Danil.

"Kenapa?" Tantuni melihat wajah Alex yang menatap kosong ke bawah.

"Tidak, tidak apa-apa."

"Baiklah..." Tantuni bangkit dari duduknya, "sebaiknya kau bersihkan badanmu, dan beristirahatlah. Aku mau pergi dulu sebentar." Kemudian meninggalkan Alex.

"Terima kasih singkong bakarnya, rasanya enak."

Tantuni tersenyum.

Mereka berangkat setelah azan Magrib bersama petani yang lain. Mereka berangkat menggunkan tiga mobil dolak milik petani kampung Bumbulang. Perjalanan menuju kota Kertasari cukup lama, namun kalau malam suasana jalan menjadi lebih lancar. Mereka akan sampai sekitar jam dua belas malam.

"Kenapa kita harus menjual sangat jauh?" tanya Alex pada salah satu petani sebelum berangkat.

"Ya, karena kalau kita menjual di daerah sendiri uangnya sedikit. Jadi tiga tahun yang lalu kita beranikan berangkat ke kota, dan sekarang sayuran kita menjadi salah satu sayuran yang dipilih para pedagang di pasar kota Kertasari untuk di jual kembali... Kita berani berangkat malam dari sini untuk menjaga kualitas dan kesegaran sayuran, itulah sebabnya sayuran kita di cap paling baik. Ya padahal kita tahu, perjalanan cukup jauh dan cukup bahaya."

Di jalan menuju Kertasari dari Bumbulang memang melewati hutan yang jarang dilewati pengendara kalau sudah lewat dari jam sembilan malam. Pernah suatu malam, dua tahun yang lalu, terjadi pembegalan pada pengantar sayuran dari Bumbulang yang nekad berangkat satu mobil karena tertinggal rombongan. Sopir dan kondektur. Mereka berdua mati di tengah hutan itu. Koran dan tivi meliput tragedi itu, namun sampai sekarang tidak pernah terkuak apa penyebab kematian yang sebenarnya. Masyrakat di bumbulang pun kaget, heran, dan penuh tanda tanya juga ketakutan, karena pembunuhan yang terjadi lain dari pada pembunuhan pembegalan yang biasanya terjadi, sebab sayuran yang mereka bawa utuh dan tidak ada harta benda yang dijarah. Seakan pembegal itu hanya mengincar pengendaranya saja. Dan, sopir dan kondektur itu mati bukan karena senjata tajam atau timah panas, tetapi meraka mati dengan dihisap otak dan matanya. Ada yang mengatakan kalau itu adalah ulah dari siluman Suraka yang sedang kelaparan.

Mengatahui tragedi itu Alex bergidik sampai merinding.

"Ya, dan sejak saat itu kita selalu beriringan." Kata sang sopir yang berikisah panjang di dalam mobil.

Tantuni dan Alex berbeda mobil, mereka berdua menjadi kondektur menemani sang sopir. Posisi mereka terhalang satu mobil. Tantuni di paling depan dan Alex berada di paling belakang.

Di jam sembilan malam kurang limabelas menit iring-iringan mobil itu memasuki jalan yang membelah hutan. Jalanan yang dilalui mulai berliku-liku. Mulanya perjalanan mereka tidak ada hambatan sama sekali. Bahan bakar sudah diantisipasi, deru mesin terdengar halus, kelistrikan juga aman. Namun, mobil yang ditumpangi Alex mogok secara tiba-tiba di tengah hutan itu. Sedangkan dua kendaraan lainnya melaju tanpa menyadari mobil yang paling belakang berhenti. Dan sialnya sang sopir tidak sempat memberi tanda kalau mobilnya mogok.

"Sebaiknya kita tidak keluar mobil sekarang." Kata sopir.

"Tapi kita harus tetap mengecek keadaan mobil agar bisa menyusul yang lain. Boleh jadi hanya air radiator saja yang kering."

"Tidak. Air radiator sudah saya cek tadi sebelum berangkat, dan semuanya aman." Sang sopir menyiasati dengan diselimuti rasa ketakutan. "Biarkan mereka sadar dan kembali. Itu sudah kesepakatan kita jika terjadi seperti ini."

"Memang biasanya suka ada yang mogok tiba-tiba seperti ini?"

"Tidak. Ini yang pertama kali."

"Kacau!" Alex menghela napas, "tapi mereka sudah jauh, bukan waktu sebentar kalau mereka kembali lagi, dan jika memang ini yang pertama kali pasti mereka akan lama untuk menyadari kalau kendaraan kita mogok." Alex menyadari kalau hal itu juga menyangkut dengan kebiasaan.

Sang sopir hanya menggelengkan kepala.

Alex geram dengan sikap takhayul yang dirasakan oleh sang sopir, kemudian dia keluar mobil.

Sang sopir sempat melarang, namun Alex tetap kekeh.

Katika Alex membuka kap mobil di bagian depan, dia mendengar suara dengusan dari balik deretan pohon-pohon di pinggir jalan. Dia menengoknya, namun tidak ada apa-apa.

Sang sopir dari dalam mobil mengetuk-ngetuk kaca depan meminta agar Alex segera masuk kembali. Dia ketakutan, bahkan tidak berani untuk sekadar membuka jendela mobil untuk memanggil Alex.

Alex tidak meemperdulikan sang sopir itu, dia tetap mengecek moncong mobil itu.

Alex mendengar suara dengusan itu kembali, dan suara dengusan itu terdengar lebih dekat. Alex melihat langsung melihat ke arah deretan pepohonan dari dalam hutan itu lagi. Sang sopir masih saja mengetuk-ngetuk kaca depan mobil memperingatkan Alex.

Alex melihat kesekitaran, tangan kirinya memegang kap mobil yang disanggah oleh besi kecil dengan kaitan diujungnya, sedangkan tangan kanannya melepaskan sanggahan kap mobil itu.

BLUG

Suara kap mobil yang ia tutup kembali. Saat suara itu terdengar – tanda kunci kap saling mengait, tiba-tiba seekor burung hantu hinggap di atas kap mobil itu. Berwarna putih dengan matanya yang tajam.