webnovel

Bab 34

Menandatangani berkas-berkas yang menumpuk di meja kerjanya, Marlon melakukannya dengan sangat cepat. Victoria berdiri di dekat pintu, mantan kekasih gelap Miller itu memang selalu giat mencari celah untuk menjadi bagian dari perusahaan. Berulang kali Victoria berusaha mendekati Marlon, tetapi sebanyak itu pula dirinya menentang dengan keras. Bahkan, Marlon sangat terkejut saat mendapat kabar bahwa Victoria yang menggantikan Candice sebagai sekretarisnya.

"Apa aku sudah bisa mengambil berkasnya kembali?" tanya Victoria dengan nada yang mendesah, Marlon menatapnya jijik.

"Segera ambil, dan pergi dari ruanganku."

"Baik." Victoria melangkah.

Tidak langsung mengambil berkas, Victoria malah mendekati Marlon yang sedang muak dengan tingkahnya. Wanita itu berdiri tepat di sisi Marlon, mengayunkan rambut pirangnya, lalu menundukkan kepala untuk melihat lebih jelas wajah Marlon yang tegang.

"Apa maumu?" Marlon menepis tangan wanita itu, lalu bangkit dari duduknya.

"Hanya ingin mengajakmu bercinta."

"Sinting. Aku tidak tertarik denganmu."

"Sayangnya aku tidak percaya itu, bukankah kau pernah bilang padaku jika tubuhku yang paling nikmat dari wanita-wanita lain."

Bukan Victoria namanya jika menyerah begitu saja, wanita itu maju dan memeluk Marlon dengan erat. Hubungan keduanya memang tidak lebih sebatas rekan kerja antara bos dan anggota, tetapi semuanya berubah saat Victoria berhasil menggoda Marlon setelah Miller di penjara.

Pada waktu itu Marlon seperti menyerahkan dirinya kepada Victoria, mendatangi kandang Singa. Tiba-tiba datang memakinya, karena tidak terima Miller tertangkap, bahkan mengancam ingin memecatnya. Akan tetapi semua rencana itu Victoria patahkan, dengan rayuan Marlon bertekuk lutut dan berakhir di ranjang. Bersetubuh dengan sangat intim.

"Marlon, aku merindukan sentuhanmu." Perlahan Victoria mendekatkan wajahnya, lalu menempelkan bibirnya pada Marlon.

Sejenak Marlon terdiam, merasakan lumatan kecil yang mengulum bibirnya penuh. Rasanya, Marlon tidak bisa mengelak jika dia membutuhkan seorang wanita yang bisa mengimbangi birahinya, karena pengetahuan Belle masih sangat terbatas. Apalagi semenjak kehamilan kedua ini Belle sering menolaknya, saat Marlon mengajak bercinta.

"Kau memang sangat mahir memancingku." Membingkai wajah Victoria, dengan gairah yang memuncak Marlon membalas ciumannya.

"Apa kita akan bercinta?"

"Oh, ya, tentu saja."

Di dalam ciuman Victoria tersenyum puas, sesekali wanita itu melirik kamera yang telah ia sembunyikan di balik pot bunga. Sebuah bukti yang kuat untuk menyatakan bahwa Marlon sangat menginginkannya, dan kehadiran Belle tidak mengubah apapun.

Kriiing!

Deringan telepon yang keras menghentikan keduanya, Marlon langsung menarik diri dan menuju meja. Mengangkat gagang telepon tersebut seketika wajah Marlon berubah pias saat mendengar suara Belle di seberang.

"Pergilah, istriku Belle akan ke sini."

"Kau mengusirku?" Victoria tidak terima.

"Ya, pergi, istriku sudah di depan."

"Tidak semudah itu, Marlon, urusan kita belum selesai."

"Oh, astaga! Belle akan masuk menemuiku."

Victoria memutar bola matanya, jika sudah seperti ini ia merasa sangat berkuasa saat berhadapan dengan Marlon. Memainkan jari jemarinya di bibir, Victoria maju beberapa langkah. Marlon tampak sangat bingung.

"Berjanji padaku kau akan mendatangiku malam ini?" Dengan tangannya Victoria menelusuri wajah Marlon yang berbulu.

"Ya, aku berjanji." Marlon berkata cepat, sambil matanya terus mengarah pada pintu.

"Baiklah, aku pergi." Mengambil seluruh berkas di atas meja Marlon, dengan gerakan impulsif Victoria mengecup pipi lelaki itu.

Setelah beberapa detik Victoria pergi, Belle pun muncul dengan bingkisan di tangannya. Gadis kecil itu tampak ceria, dengan senyum manis yang terukir di bibirnya. Sedangkan Marlon berusaha mengatur napas yang tidak beraturan, kegugupannya bisa menjadi malapetaka, dan Belle tentu akan curiga.

"Paman, aku ..." Belle menggantung ucapannya, kaget bercampur bingung melihat wajah pucat Marlon. "Kau sakit?"

"Ah, tidak, aku baik-baik saja."

Dengan khawatir Belle menghampiri Marlon, menatapnya lekat dan sedih. "Maafkan aku, karena perdebatan kita tadi kau jadi sakit."

Menaruh bingkisan di meja, dengan cepat Belle membukanya, ternyata makan siang untuk Marlon. Tidak ada yang istimewa, hanya saja Belle ingin menebus rasa bersalahnya karena sudah menentang Marlon tadi pagi. Gadis itu memasaknya sendiri dan mengantarnya setelah William tertidur.

"Tidak perlu seperti ini, Bell, seharusnya kau istirahat di rumah dan jangan terlalu banyak kegiatan." Untuk ke sekian kali Marlon memperingati Belle lagi.

"Maaf." Menunduk sedikit, Belle mengalah.

"Bukannya aku membatasi dirimu, Bell, aku hanya tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi."

"Iya, aku salah, maafkan aku," katanya sedih.

Menghela napas, sejenak Marlon terdiam, menatap Belle yang sekarang sudah menangis. Kehamilan istrinya kali ini sangat membuat Marlon jengah, tidak seperti saat Belle mengandung William. Perhatiannya terhadap sang istri memang tidak berubah, tetapi entah kenapa setiap melihat Belle hati Marlon selalu panas dan ingin sekali marah.

Akan tetapi, semampunya Marlon untuk selalu bersikap manis dalam situasi apapun.

"Aku hanya ingin kau menuruti perkataanku, itu saja. Sungguh! Seharusnya akulah yang meminta maaf, Bell." Membelai rambut Belle, dengan perasaan bersalah Marlon mengingat apa yang telah terjadi.

Kesetiaannya terhadap Belle patut dipertanyakan, karena baru saja Marlon sudah bermain di belakang.

"Tidak, aku yang salah," ujar Belle sambil menyeka air matanya.

Tanpa bisa berkata-kata lagi Marlon menarik Belle ke dalam pelukannya, menyembunyikan kegelisahan hatinya yang sejak tadi meronta-ronta. Marlon takut menyakiti hati Belle, apalagi sekarang gadis ini tengah mengandung.

"Aku akan pulang sekarang, Paman, maaf sudah membuatmu khawatir." Melepaskan pelukan Marlon, lalu Belle berpesan. "Habiskan makan siangmu, dan aku harap kau bisa pulang lebih awal."

Marlon mengangguk dan tersenyum, "apa kau merindukanku?"

"Ah, tidak, bukan begitu." Belle menggeleng saat tahu maksud pertanyaan suaminya.

"Jadi?" tanya Marlon sedikit kecewa.

"Nyonya Barbara mengundang kita makan malam, dan aku ingin menunaikannya."

Marlon mengangguk, walau baginya tidak penting ia tetap harus mengikuti keinginan sang istri. Apalagi Belle tengah hamil, membuat Marlon mau tidak mau menuruti seluruh permintaannya. Dengan begitu tidak ada alasan bagi Marlon untuk menolak Victoria, karena Belle pun masih enggan berhubungan dengannya sementara kebutuhan fisik terus melonjak naik.

"Umm, aku tadi ketemu dengan Victoria mantan kekasihnya Miller saudaramu."

"Oh, ya?" Marlon terkejut, menerka-nerka apa yang telah Victoria katakan."

"Victoria ramah sekali, tadi dia menyapaku."

"Apa yang dia katakan?" tuding Marlon.

"Dia hanya berkata sekarang sudah menjadi sekretaris pribadimu." Belle menjawab cepat.

"Itu saja?" Seakan tidak puas, Marlon terus menuding.

Kening Belle mengernyit, menatap Marlon dengan curiga, dan bertanya. "Ada apa? Kenapa Paman seperti orang ketakutan?"

Bukannya menjawab Marlon malah tertawa terbahak-bahak, sambil tangannya menepuk pelan kedua pipi Belle yang tembam. Untuk mencairkan suasana yang tegang Marlon perlu berlakon dan menjadi sedikit gila. Belle tidak mudah dibohongi, tetapi gadis itu sangat cepat terpengaruh oleh candaannya Marlon.

"Astaga, ini pipi atau bola ya?"

"Pamaan ..." Belle berteriak manja.

Tiba-tiba pintu ruangan terbuka, baik Marlon maupun Belle langsung menoleh. Ternyata Victoria, wanita itu berdiri dengan senyumannya yang lebar.

"Maaf, aku sudah mengetuk pintu berkali-kali, tetapi tidak ada jawaban." Victoria menyipitkan kedua matanya, lalu melirik ke arah Marlon.

"Ada apa, Vic? Kenapa tidak menelepon saja."

"Maaf, aku hanya ingin bertanya." Dengan cantik Victoria tersenyum lebar, lalu melanjutkan, "Apakah nanti malam Tuan Marlon jadi menyelesaikan misi yang sempat tertunda tadi?"