webnovel

- Raja Banggai dan Penguasa Sulawesi

Beberapa hari kemudian

Hari yang Paudagar tunggu kini telah tiba. Dengan memakai baju kebesaran Kerajaan Banggai, Raja itu bertolak menuju ke dermaga. Kargo 10 Kapal pribadi miliknya sudah dipenuhi oleh hadiah yang akan diberikan untuk sang Sultan, mengingat secara pribadi ia sudah lama belum pernah menemuinya.

Paudagar sebenarnya bukanlah anak dari raja sebelumnya, namun dahulu sebelum menjadi Raja seluruh Banggai ia adalah Raja Provinsi Gong-Gong. karena ia sangat cakap dalam memimpin dan melakukan perluasan bisnis kerajaan terutama di bidang pertanian maka ia diangkat menjadi Raja, Banggai sama seperti Gowa menganut sistem meristokrasi (Kepemimpinan diukur dari kemampuan). 

Kerajaan Banggai sendiri dibagi menjadi 4 Provinsi atau dalam bahasa tradisionalnya Basalo yaitu Dodung, Gong-Gong, Bonunungan, dan Monsongan. Setiap basalo menghasilkan hasil perkebunan kelapa yang melimpah ruah, Dahulu sebelum ditaklukan oleh Gowa, Kerajaan Banggai adalah wilayah penghasil kelapa terbesar bagi Ternate.

Selama masa kepemimpinannya, tidaj hanya perkebunan kelapa yang berhasil dikembangkan namun tanaman baru seperti singkong dan jagung berhasil dibudidayakan di seluruh Banggai. Rencananya ia juga berniat untuk membawa tanaman baru untuk dikembangkan di Kerajaanya.

--

Kota Somba Opu

Dari kejauhan, Paudagar yang sudah terkena rabun tua samar-samar masih dapat melihat banyak sekali kapal yang berlayar ke Dermaga Somba Opu. Kapal Dagang itu dilindungi oleh Padewakang Gowa.

Dengan gagahnya Armada itu berpatroli mengarungi luasnya lautan. Padewakang biasanya dipersenjatai 10 meriam di kedua deknya, akan tetapi meriam Kapal Gowa terkadang masih kurang dan kebanyakan sudah mulai usang sekalipun ditempa berulang kali untuk menghilangkan karatnya.

Akan tetapi jika dibanding dengan Kapal Banggai yang kebanyakan hanya dipersenjatai lantaka 2-3 buah di bagian depan, Armada Gowa sama sekali tidak cocok jika harus disandingkan dengan Armada Banggai.

Apalagi jika dibandingkan dengan Kapal Belanda yang memiliki meriam ratusan di seluruh deknya. Gowa hanya satu-satunya kerajaan di Nusantara yang serius berusaha sekuat tenaga ingin melampaui teknologi Belanda.

Banggai tidak seperti Makkasar, terletak di tempat yang kurang strategis bagi para pedagang untuk beristirahat dan tidak ada yang menarik perhatian pedagang luar daerah sehingga pelabuhan di Luwuk tidak terlalu ramai.

Kerajaan Banggai lebih berfokus pada hasil bumi meskipun mempunyai wilayah Pesisir yang luas.

--

Sultan Hasanudin sedang bersiap untuk menemui Paudagar di Istananya. Sang Sultan dipakaikan pakaian oleh salah satu istrinya yakni I Mami Daeng Sanging. Saat ini Sultam telah mengajak putra tertua dan yang paling disayang olehnya yaitu Amir Hamzah untuk ikut menemaninya dalam pertemuan nanti.

Tidak seperti Karaeng Galesong yang memiliki bakat militer dan kekuatan fisik yang jauh di atas normal serta kepemimpinan. Amir Hamzah hanyalah orang yang biasa saja bahkan bisa dibilang kurang cakap. 

Namun Sultan Hasanudin berusaha sekuat tenaga untuk melatihnya karena dialah pewaris tahta sesuai wasiat ayahnya dan keinginan Dewan Adat. Galesong juga acuh tak acuh dengan posisi Sultan, karena lebih memilih untuk menjadi Syahbandar atau Pelaut.

"Ayah kenapa harus aku, aku malas. Kenapa tidak suruh Galesong saja kesini?" tanya Hamzah.

"Kau ini Putra Mahkota! masa depan Kesultanan ini ada di tanganmu bukan di tangan Galesong! Kau itu harusnya sadar diri dan malu. Hamzah kumismu itu sudah lebat dan umurmu sudah 20 tahun. Pekerjaanmu hanya bermain dengan budak-budak yang kau jadikan gundik! menikah mana calon Ratumu kau itu calon Sultan!" bentak Sultan Hasanudin.

"Tapi ayah pekerjaan itu penting. Memangnya tidak bisa dilain waktu," ketus Hamzah.

"Pekerjaan apa?" tanya Sultan sembari membuang nafas perlahan-lahan.

"Jadi Ayah gundiku ada yang melahirkan hari ini aku ingin segera menemuinya."

Merasa sangat kesal, Sultan Hasanudin ingin sekali untuk melempar vas bunga besar di Dekat Dinding ke kepala Anaknya. Namun ditahannya emosi itu karena tamu dari Kerajaan Banggai akan segera datang.

"Tolong bersabarlah dan belajar," ujar Sultan.

"Baik Ayah," ucap Hamzah.

Tidak sampai pasir di jam besar ruangan itu turun secara sempurna, Raja Banggai beserta beberapa Pengawalnya memasuki Istana Somba Opu. Dibanding Istana milik Paudagar, Istana Sultan Hasanudin jauh lebih besar dan megah. Di pekarangannya terdapat air mancur, bahkan ada rusa yang dipelihara oleh sultan di Taman.

Di depan pintu istana, askar pengawal pribadi Sultan Hasanudin dengan gagahnya memegang badik dan perisai berlambangkan ayam jantan. Mereka menyambut dengan ramah kedatangan Paudagar.

Para askar itu lalu lalang berpatroli menjaga keamanan dengan memegangi istinggar, ada pula yang memakai busur. Ada pula yang berdiri di dekat meriam dengan obor yang sudah siap di tangan tinggal dinyalakan saja.

"Assalamualaikum, permisi Yang Mulia," ujar Paudagar seraya memberi hormat kepada sultan.

"Waalaikumsalam, sudah lama tidak bertemu Raja Banggai," balas Sultan membalas rasa hormatnya.

"Yang mulia, Penguasa Pulau Sulawesi, senang bertemu dengan anda dan senang bertemu dengan anda juga yang mulia Putra Mahkota," ucap Paudagar.

Mereka bertiga duduk di tempat yang sudah disediakan. Entah mengapa Hamzah merasa atmosfir diantara kedua lelaki paruh baya itu seketika berubah menjadi tegang.

Paudagar yang ingin memenangkan hati sang sultan dan kalau bisa mempengaruhinya. Serta Sultan yang curiga dan waspada kepada lawannya politiknya saat ini, apakah bisa dipercaya atau tidak.

Dari pengalamannya berdiplomasi selama ini dan intuisi alaminya dalam bernegosiasi, ia bisa langsung membaca karakter dari Paudagar. Paudagar di mata Hasanudin memiliki kemampuan jauh di atas Sultan Mandarsyah dan anaknya Pangeran Sibori. Meskipun Paudagar saat ini berusaha berpura-pura lemah namun intuisinya berkata lain, apalagi mereka berdua pernah berperang bersama di Perang Huamual. 

Sang Sultan harus mengorek isi pikirannya lebih dalam. Pepatah bijak sering mengatakan, "tidak ada makan siang gratis di dunia ini."

"Ayolah, Ayah, Paman jangan terlalu tegang," uhar Hamzah tidak dapat membaca situasi.

"Haha benar, Oh ya yang mulia aku sudah membawakan hadiah, Pengawal!" teriak Paudagar dengan petikan jarinya.

"Siap yang mulia!'' balas pengawal itu.

Pengawal itu bergegas memanggil kawannya untuk mengangkut semua barang-barang dari Kereta Kuda. Para Prajurit Banggai memasuki ruangan sambil membawa barang-barang yang sudah dibawanya khusus sebagai hadiah Sultan Hasanudin.

50 kati (peti) emas, 50 kati perak, 5 kati mutiara, 200 tong kelapa, 30 kerbau dan 20 budak perempuan. Angka ini bukanlah angka yang sedikit, angka tersebut menunjukan kemakmuran Kerajaan Banggai yang meningkat drastis setelah ia pimpin 20 tahun terakhir terutama di bidang agraris.

"Yang mulia tolong terima barang-barangku, emas ini aku dapatkan dari berdagang dan pajak yang melimpah. Berbicara soal emas baginda, Kerajaan Mongondow baru saja menemukan tambang emas baru, kalau baginda tertarik akan hamba surati Raja Loloda. Untuk Kerbaunya adalah kerbau terbaik yang hamba dapatkan dari rakyat hamba, Sedangkan budak-budak ini mereka adalah budak terbaik dari kerajaan hamba. Yang Mulia jikalau berkenan hati tolong terima pemberian ini, Hamba juga meminta maaf karena tidak bisa ikut pertemuan kemarin."

"Hah! sudah kupersiapkan hadiah sebanyak ini, tidak apa harta kerajaanku terkuras banyak yang penting Ternate berjaya. Harta, Tahta, Wanita itu pasti kelemahanmu Hasanudin!" Gumamnya dalam hati.

"Bu...budak boleh aku ambil semuanya?" spontan sahut Hamzah.

"Oh tentu tuan muda! sebentar salah satu budak kesini!" balas Paudagar.

"Iya yang mulia" jawab perempuan itu.

"Mulai sekarang kalian semua penuhi kebutuhan lahir maupun batin tuan kalian yang baru yaitu Putra Mahkota Kesultan Gowa Penguasa Sulawesi."

"Ba...baik Yang Mulia," ucap mereka.

"Ayah aku ingin berkenalan dengan budakku," ujar Hamzah.

"Baiklah tapi jangan lupa dengan pekerjaanmu itu, bertanggung jawablah."

Budak-Budak itu pergi mengikuti Putra Mahkota meninggalkan Sang Sultan dan Sang Raja berdua di tempat duduk itu. Paudagar menyeruput kopi susu hangat yang berada di depannya, begitu pula Sultan yang juga menyeruput teh manis hangat.

"Hah... lemak nian, susu kerbau Gowa dan kopi Turki Usmani memang tidak ada duanya," celetuk Paudagar

"Katakan apa maksudmu kesini?" tanya Sultan Hasanudin.

"Yang Mulia seperti yang saya sudah katakan, Hamba ini meskipun seorang Raja, Hamba tidak punya kekuatan apa-apa Hamba meminta perlindungan dan kerja sama dari Tuan. Bagaimana kalau Gowa dan Banggai bekerja sama untuk membuka Perkebunan Kelapa khusus di Pulau Melilis."

"Oh ya coba jelaskan lebih rinci lagi Paudagar."

"Yang Mulia Pulau Melilis dekat dengan Pulau Sula, bukan hanya Perkebunan Kelapa akan ada Kampung Besar baru disana. Para Pelaut maupun Pelancong dapat singgah di tempat Hamba yang strategis. Upeti tahunan yang kukirimkan akan aku tambah 3 kali lipat. Hamba juga mohon agar Kapal Padewakang Gowa dikerahkan dalam jumlah besar untuk menghancurkan perompak," ujar Paudagar.

Paudagar sengaja melakukan ini, karena jelas Gowa yang berpatroli ke arah Timur akan singgah ditempatnya. Ia harap dengan rencana ini, akan berhasil mendongkrak kemajuan perdagangan di Banggai.

Sultan Hasanudin langsung tertawa mendengar ucapan Paudagar. Sekalipun Sultan itu sama sekali tidak mempercayai Raja Banggai, namun ia berhutang budi pada Paudagar 12 tahun yang lalu. 

"Kenapa pemimpin hebat dan negara yang secara de facto merdeka mau menjadi vasal Gowa haha, Paudagar apa maumu sebenarnya?" tanya Sultan Hasanudin. 

"Demi Unifikasi Sulawesi di bawah satu panji, hanya Gowa yang sanggup mewujudkannya. Kami adalah pelayan Gowa dan kami akan setia pada Gowa!" tegas Paudagar.

"Sekalipun negaramu sebenarnya merdeka, iya kan Paudagar?"

"Benar demi prestise Kerajaan Banggai."

"Lalu kenapa engkau tidak mendirikan Kesultanan lalu menaklukan Ternate misalnya, menaklukan Ternate itu mudah mengingat Sultannya yang kau tahu sendiri seperti apa. Kenapa tidak menjadi Sultan saja aku bisa membantumu, tidak apa kehilangan gelar Penguasa Pulau Sulawesi lagipula orang Toraja malu mengakui kalau mereka membayar upeti kepada Gowa. Paudagar orang berbakat sepertimu lebih pantas menjadi sultan," ujar Sultan Hasanudin.

"Sialan kau, beraninya kau membawa-bawa Ternate! tidak aku tidak boleh terlihat kesal," Gumamnya dalam hati.

"Maafkan aku Yang Mulia tapi bukannya itu sama saja dengan pengkhianatan. Bukankah engkau Penguasa Pulau Sulawesi?" ujar Paudagar.

"Hanya di atas lontara saja, sebenarnya Kesultanan ini hanya berdaulat 4/10. Memangnya kau pernah melihat Toli-Toli membantu Gowa? jangan pura-pura naif Paudagar, tentu bukan pengkhianatan namanya kalau aku merestui pendirian kesultananmu nanti. Tapi aku ingin kita bersekutu untuk menghabisi Ternate nanti."

"Maafkan hamba, Yang mulia berkenan dengan pertanyaan tadi. Jika semua orang menjadi Sultan maka akan terjadi ketidakseimbangan, semua orang punya perannya masing-masing. Aku adalah Raja dan seorang vasal, aku harus memenuhi perintah Tuanku dan melindungi Rakyatku bukan memperluas wilayah ke wilayah yang lebih makmur. Kemakmuran hanya bisa dicapai dengan mengolah dan menggarap tanahnya bukan dengan menaklukannya, aku memilih untuk tetap setia."

"Sialan kau Mallombasi!" ketusnya dalam hati.

"Sangat bijaksana dan setia, tapi selama bertahun-tahun aku berfikir. Kau ini... sebenarnya untuk siapa kesetianmu itu?" tanya Sultan Hasanudin sambil menyeruput tehnya dengan santai.

"Untuk Kesultanan Gowa! Yang Mulia!" tegas Paudagar.

"Begitukah Paudagar mari kita lihat kedepannya..." gumam Sultan Hasanudin dalam benaknya.

Pada akhirnya Paudagar tidak sanggup mendapatkan kepercayaan Sultan Hasanudin. Begitu pula Sultan Hasanudin yang tidak tahu apa maksud kedatangan sebenarnya kemari dan ia setia pada siapa sebenarnya, namun Sultan Hasanudin menduga bahwa bisa saja ia diam-diam telah bekerjasama dengan Ternate. 

Sultan Hasanudin sebenarnya benar menebak ia setia pada Ternate, namun kalau ia setia pada Ternate timbul keraguan di hatinya kenapa Paudagar meminta kapal perang Gowa untuk berpatroli di wilayahnya.

Dalam pertemuan itu, Paudagar mendapatkan ide baru yang realistis untuk bisa mengalahkan Gowa kemudian melepaskan diri secara bersih dari Gowa lalu bergabung kembali dengan Ternate.

Akhirnya pada pertemuan itu, semua yang diajukan oleh Paudagar disetujui. Sang Raja kembali pulang ke Banggai keesokan harinya.