Vote sebelum membaca😘😘
.
.
Saat pagi menjelang, Sophia menyiapkan sarapan seperti biasa. Namun, dia berangkat terlebih dahulu sebelum suaminya bangun. Dia menyelinap ke kamar Efmund dan mengambil pakaiannya menuju kantor, Sophia berangkat diantar Benjamin yang selalu siap 24 jam.
Dia memilih sarapan di perjalanan daripada dengan suaminya. Rasa kesalnya masih belum hilang, Edmund memarahinya sebelum dia menjelaskan semuanya. Seharusnya suaminya itu menahan amarah, demi bayi yang ada dalam kandungannya.
Beberapa kali Sophia mendapatkam panggilan dari Edmund, tapi dia tidak mengangkat dan membiarkan ponselnya tergeletak begitu saja di meja kerja. Sementara dirinya sibuk bekerja dan melakukan apa yang Caroline suruh.
"Tolong buatkan aku kopi, Sophia," ucap Catherine saat melewati Sophia yang sedang menyusun berkas milik Caroline. Dia mendesah pelan, banyak pekerjaan yang belum diselesaikannya, tapi dia sibuk dengan semua perintah rekan kerjanya.
"Sophia kemarilah!" Teriak Caroline yang sedang mengetik.
Dengan langkah malas, dia mendekati Caroline. "Ada apa?"
"Ambilkan pesanan ayamku di bawah, kurir tidak diperbolehkan masuk ke dalam," ucapnya tanpa menatap Sophia.
Perempuan itu belum beranjak dari sana, dia menatap Caroline dengan kesal. Menyadari Sophia masih ada di sampingnya, Caroline menatap tajam padanya. "Cepat sana!" Teriaknya sambil mendorong pelan tubuh Sophia.
Kesabaran Sophia sudah ada pada batasnya, dia mengepalkan tangannya kuat dan berjalan menjauhi Caroline. Bukan untuk memgambil pesanan wanita itu, tapi untuk mengambil air dalam gelas dan menumpahkannya di atas kepala Caroline.
Wanita itu menjerit, dia berdiri dan menatap tajam Sophia. Perempuan itu mengangkat dagu, tidak terlihat raut wajah ketakutan. Sophia lelah diperlakukan dengan tidak adil, dia ingat Maria berkata kalau dirinya setara dengan pegawai yang lain. Apalagi masalah yang dia miliki bersama Edmund yang mendorongnya untuk mengeluarkan semua amarah.
"Apa yang kau lakukan, hah?!" Caroline menghapus air pada wajahnya.
"Kau kesal? Itu yang aku rasakan saat kau memerintahku terus menerus."
"Kau pikir siapa dirimu?!" Caroline berteriak kembali hingga mengundang beberapa pekerja lain.
"Aki ini rekan kerjamu, bukan pelayan yang bisa kau perintah. Jika ingin sesuatu panggil saja OB," ucap Sophia hendak pergi, tapi tangannya ditahan oleh Caroline.
"Kau mau ke mana, huh?"
"Tentu saja bekerja, bukannya berbelanja online seperti yang kau lakukan."
Caroline menggeram marah, tangannya terangkat siap menampar. Namun, sebelum tangan itu sampai di pipinya, Sophia menahan dan menghempaskan tangan Caroline.
"Dasar bocah sialan!"
"Hentikan!" Teriak seseorang menghentikan Caroline. "Kenapa di team ini sering kali terjadi keributan?" gumam Maria, dia mengisyaratkan yang lainnya untuk kembali bekerja, termasuk pada Caroline.
"Sophia Alberta, ikut saya," ucapnya membalikan badan dan keluar dari sana diikuti Sophia dari belakang.
"Kenapa dia sering sekali dipanggil oleh bos kita," gumam Catherine menatap kepergian Sophia.
"Aku tidak ingin bertemu dengan Edmund," gumam Sophia saat keduanya ada dalam lift. Maria hanya melirik dan tersenyum kaku.
"Apa dia yang menyuruhmu memanggilku?"
Maria mengangguk.
"Lain kali kalau ingin memanggilku, pakai saja jasa OB. Mereka akan curiga kalau kau terus turun dan memanggilku."
"Sí, Señora," ucap Maria sambil mengangguk. Dia mempersilahkan Sophia untuk keluar dari lift terlebih dahulu.
Sophia menghela napas dalam saat tangannya menggapai pintu, dia membukanya perlahan. Matanya langsung tertuju pada pria yang sedang berkutat dengan laptopnya. Sophia berdehem dan duduk di sofa. Edmund langsung mengalihkam pandangannya, dia menutup laptopnya dan duduk di sofa panjang di samping istrinya.
"Apa yang ingin kau bicarakan?" Sophia bertanya tanpa menatap suaminya.
"Tatap aku, Sophie," ucap Edmund dengan lembut, dia memegang tangan istrinya dan menggenggam erat.
Dengan ragu Sophia membalas tatapan Edmund. Mata itu berbeda dari sebelumnya, tidak ada lagi tatapan marah dengan raut wajah menakutkan, kini hanya ada tatapan lembut yang begitu teduh.
"Apa?"
Edmund terkejut saat mendengar suara istrinya yang serak. Tanpa permisi, dia mengangkat tubuh kecil Sophia ke dalam pangkuannya dan memeluknya erat. Saat itu pula tangisan Sophia pecah.
"Sstt... jangan menangis, Sophie, sudah." Tangannya tidak berhenti mengusap punggung istrinya.
"Aku membencimu, Edmund," ucap Sophia di sela tangisannya. Mendengar itu Edmund semakin mengeratkan pelukan.
"Maafkan aku," ucapnya mencium pucuk kepala istrinya.
"Kau membetakku beberapa kali."
Edmund mengangguk mengakui.
"Kau bahkan tidak mendengarkan penjelasanku."
"Maafkan aku."
"Aku membencimu." Tangisnya kembali pecah, tangan Sophia memukul kecil dada Edmund.
"Aku tahu, maafkan aku. Please."
Tangan Edmund menjauhkan wajah Sophia dari dadanya, dia memegang kedua bahu istrinya. Tangisannya masih belum reda, Sophia terisak dengan pandangan menunduk.
"Sophia, lihat aku."
Dia menggeleng sambil menghapus kasar air matanya.
"Aku minta maaf karena membentakmu semalam." Edmund menjeda ucapannya beberapa detik sebelum dia menggenggam kedua tangan istrinya. "Sungguh, aku tidak suka melihat kau bersama pria itu."
"Kami hanya bicara," ucap Sophia memotong ucapan suaminya, dia membalas tatapan mata biru safir itu.
"Ya, ya, aku tahu. Tapi itu membuatku marah."
"Kami tidak melakukan apa pun yang membuatmu marah, Ed."
"Aku minta maaf," ucapnya menggenggam tangan istrinya semakin kuat. "Maukah kau melakukanya?"
Sophia menggeleng.
"Sophie, please."
"Aku masih kesal padamu."
"Akan aku lakukan apa pun untukmu." Edmund merayu.
"Apa pun?"
Edmund mengangguk. "Jika itu membuatmu memaafkanku," ucapnya mengusap sisa air mata istrinya.
Tanpa bicara, Sophia memeluk Edmund dan merebahkan kepalanya pada dada bidang itu. Dia menghirup aroma suaminya yang begitu menenangkan. "Biarkan aku tidur di pelukanmu," ucapnya dengan mata terpejam.
Edmund tersenyum, dia membalas pelukan Sophia dengan penuh kelembutan. "Tidurlah." Dia memberikan kecupan pada puncak kepala istrinya.
--
Ig : @alzena2108
Love,
Little-Zee💋