webnovel

Negeri Para Pembohong

Apa yang akan kau lakukan ketika bisa mendeteksi sebuah kebohongan? Faresta Haerz— remaja yang memiliki kekuatan supernatural yaitu mengetahui kebohongan dari setiap kata-kata seseorang. Faresta juga sebentar lagi akan masuk ke sebuah sekolah tingkat nasional. Sekolah Menengah Atas yang dikelola langsung oleh pemerintah, sistem serta peraturan sekolah itu juga unik dan mendapat sebutan "Surganya Para Pelajar". Sekolah yang bertempat di sebuah pulau buatan dengan segala fasilitas yang diperlukan pelajar. Selain sistem yg unik, sekolah itu juga memiliki banyak keringanan untuk para pelajar, seperti kebebasan berpenampilan, sistem belajar yang tidak terlalu ketat, fasilitas yang memadai, dan lain-lain. Faresta Haerz yang memiliki sebuah tujuan tertentu akan mulai masuk ke sekolah tersebut, sekolah yang disebut Surga Para Pelajar— SMA GARUDA. Konsep sekolah di sini terinspirasi dari Light Novel karya Shougo Kinugasa-sensei berjudul [Yōkoso Jitsuryoku Shijō Shugi no Kyōshitsu e] atau yang lebih dikenal dengan anime [Welcome To Classroom Of The Elite].

DameNingen · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
18 Chs

Chp1: Day 1 (3)

"Sudah kubilang novel itu punyaku! Aku melihat kau mengambil lalu memasukkannya ke dalam tas milik dia!"

"A- apa?! Jangan asal tuduh lacur!"

"Siapa yang kau sebut lacur?!"

"Siapa lagi kalau bukan gadis jelek yang sedang berteriak di depanku ini!"

Di bawah mentari yang seiring berjalannya waktu semakin menunjukkan wujudnya, terdapat dua orang saling beradu mulut di tengah-tengah kerumunan.

Seorang gadis. Rambut sebatas pundak berwarna hitam dengan beberapa helai diberi warna biru. Iris mata berwarna biru tua, sekilas saja orang-orang akan tahu kalau dia memakai lensa kontak. Tingginya sekitar 156cm, atau mungkin lebih pendek.

Sedangkan di depannya ada seorang remaja laki-laki. Rambut kelimis berwarna hitam yang disisir ke arah kanan, memakai kacamata dengan frame bulat, tingginya sekitar 166cm. Di tangan kiri remaja itu terdapat sebuah buku yang menjadi pusat dari keributan yang terjadi ini.

"K- ka- kau banci sialan!!!" Gadis itu mendekati remaja tadi dengan wajah murka.

"A- ap—" Belum sempat si remaja menyelesaikan kalimatnya, ia sudah terpukul mundur oleh si gadis. Hal itu menyebabkan buku di tangan kirinya terlempar ke tanah.

Remaja itu kaget dan kemudian dia terjatuh. Menatap wajah gadis di depannya, raut wajah remaja itu yang awalnya sedikit bingung berubah menjadi marah. "Kau lacur sialan! Apa kau tidak tahu siapa aku, ha?!"

"Siapa? Di mataku kau hanyalah pecundang yang mencuri novel milikku!" Gadis itu terus berjalan mendekat.

Mengepalkan lengan kanannya, gadis itu mencoba mendaratkan kepalan itu ke wajah si remaja. "Banci sialan— ah?" Mungkin sekitar 20cm jarak antara kepalan gadis dengan wajah si remaja, tangannya terhenti.

Menyadari lengannya terhenti bukan karena kehendaknya, gadis itu segera menoleh ke arah lengannya. Raut wajah gadis itu berubah seketika, yang tadinya alisnya hampir bertemu di tengah-tengah garis wajahnya, berubah sudut 45 derajat. Melihat sosok tinggi dan besar memegangi lengan kecilnya, membuat gadis itu kehilangan amarahnya seketika.

Pria dengan tinggi sekitar 180cm, kulitnya sedikit gelap, gaya rambut sedang dengan sedikit berwarna merah diujungnya. Walaupun terlihat seperti pria dewasa, dia masihlah seorang siswa, itu terlihat dari seragam —atau lebih tepatnya almamater— yang dipakai olehnya. "Bagaimana kalau kita bicarakan hal ini dengan kepala dingin?" ujar pria itu.

Dengan segera sang gadis melepaskan lengannya yang ditahan. "Cih! Baiklah"

"Oh. Sepertinya aku didahului," celetuk seseorang di sampingku yang dari tadi hanya diam menonton. "Padahal aku niatnya mau menengahi tadi. Haha, sepertinya sudah terlambat. Sayang sekali ya 'kan ,Faresta?" lanjutnya diselingi dengan tawa.

"A- ahaha... Sepertinya kamu benar Yudha..." Orang ini, aku pikir dia benar-benar akan melerainya tadi. Tapi apa ini, sudah hampir lewat 3 menit dia hanya diam dan menonton pertikaian kedua orang itu.

"Karena sepertinya masalahnya sudah mereda, sebaiknya kita segera berjalan ke lapangan upacara pembukaannya," ajakku kepada Yudha.

"Ah, kamu duluan aja. Aku mau ikut membantu mereka menyelesaikan permasalahannya," balasnya sembari kakinya melangkah mengikuti ketiga orang tadi pergi.

Mendengar balasan dari Yudha yang tak terduga itu, aku langsung bingung seketika."H-he? K-kenapa?"

"Bukannya sudah kubilang tadi, kalau aku akan membantu mereka?" Yudha pun lanjut berjalan ke arah ketiga orang tadi. Bukanya dia mengatakan kalau hanya menengahi mereka?

Aghh... Sebaiknya aku mengikutinya saja, aku juga tidak mau berjalan sendirian ke sana. "Y- Yudha, tunggu aku."

**

Setelah itu, kami berkumpul dengan ketiga orang tadi di sebuah bangku taman di dekat pohon yang cukup rimbun.

"Bisakah kita memulainya?" kata pria besar. Dia berdiri menghadap ke arah kedua orang yang sedang bermasalah itu. Kedua orang itu duduk di bangku yang sama, tapi di mataku seakan terlihat sebuah dinding tebal tak terlihat di antara keduanya.

"Silakan saja. Tapi kita harus memulainya dari mana?" kata remaja berkacamata.

"Yah... Kita bisa langsung memulainya, tapi bolehkah aku bertanya sesuatu? Siapa dua orang gak dikenal ini?" Si Gadis mengarahkan jari telunjuknya ke arah... Tentu saja aku dan Yudha, dua tamu tak diundang yang mencoba ikut campur masalah ini.

Yudha yang menyadari hal itu membalasnya dengan senyuman. "Namaku Yudha Satrio, kalian boleh memanggilku Yudha."

"Apa pun itu, kenapa kalian ikut campur?"

"Yah kalau aku karena alasan pribadi," balas Yudha kepada gadis itu. Walaupun aku sudah menduganya, tapi dilihat dari mana pun, orang ini sedikit berbeda dengan yang kutemui di bus tadi.

Pria besar itu menatap ke arah kami, atau mungkin lebih tepatnya ke arahku yang berdiri di belakang Yudha. "Apa kalian yakin ikut campur masalah ini? Jika saja kita tidak dapat menyelesaikannya dalam 15 menit lagi, kita akan dianggap terlambat atau bahkan tidak hadir." Tatapannya Menakutkan!

Jam 08:02. Upacara dimulai pukul 08:20, perjalanan dari sini ke lapangan itu membutuhkan waktu sekitar 4 menit berjalan, dan mungkin 2 menit jika kami berlari. Jika kami tidak menyelesaikan masalah ini di bawah 15 menit, besar kemungkinan kami akan terlambat, buruknya kami akan dianggap tidak hadir.

Untuk itu kami harus menyelesaikan masalah ini sebelum 15 menit, walaupun harus secara paksa.

"Kalau aku tidak masalah," jawab Yudha.

Pria besar itu kemudian menatapku. "Kalau kau?"

"A- aku?"

"Iya"

"Y- yah... S- sepertinya tidak masalah," jawabku sedikit terpatah-patah dengan mata yang menghindari tatapan dari pria itu.

Jujur saja aku tidak mau terlibat masalah ini lebih jauh, tapi aku juga tidak mau berjalan ke lapangan upacara itu sendirian dan membuang kesempatanku mendapat teman seperti Yudha.

"Baiklah kalau begitu. Karena sepertinya kepala kalian berdua sudah dingin, ada baiknya kita perkenalan terlebih dahulu, kita semua juga tidak saling kenal." Pria besar itu kembali menghadap dua orang yang sedang duduk itu. "Namaku Azraei Tio, silakan panggil Tio saja," lanjutnya.

"Apakah ini diperlukan? Bukankah hanya akan membuang-buang waktu saja?" tanya remaja berkacamata.

"Dengan hanya mengetahui atau saling mengenal saja bisa memperpendek jarak antara individu satu dengan individu lain. Jadi perkenalan sangat penting dalam negosiasi ataupun berunding seperti ini." Di luar dugaan, pria besar— maksudku Tio, dia ternyata lebih bijak, sangat berbeda dengan penampilannya yang seperti orang barbar.

"K- kalau begitu apa boleh buat. Namaku Fajar Dewantara, karena kalian sepertinya bukan orang bodoh seperti orang di sampingku ini, kalian kuperbolehkan memanggilku Fajar. Ngomong-ngomong aku merupakan putra bungsu dari pemimpin PT. Dewantara." Dengan sedikit membusungkan dadanya, remaja berkacamata bernama Fajar ini memperkenalkan dirinya.

"Hoh, ternyata kau putra orang itu, pantas saja aku seperti pernah melihatmu. Sekarang, giliranmu," ujar Tio kepada sang gadis. Apa maksudnya putra orang itu? Apakah ayahnya Fajar?

"Sebenarnya aku gak mau memperkenalkan diriku, tapi aku juga gak mau dipanggil dengan kata-kata kasar lagi. Namaku Keyla Keysha, terserah mau dipanggil Keyla atau Keysha, Key juga gak masalah."

"Kalau begitu aku panggil Keysha saja," kata Tio. Tio kemudian menatapku ke arahku lagi. "Sekarang tinggal kau, siapa namamu?"

"Ah- e- n- namaku F- Faresta Haerz, silakan panggil aku sesuka kalian." Sialan! Kenapa aku tidak bisa berbicara dengan benar?!

"Faresta Haerz ya, nama yang cukup unik." Hahaha, ku pikir juga begitu... Lebih tepatnya aneh sih.

"Baiklah, sudah hampir 3 menit kita perkenalan seperti ini. Sekarang mari kita membahas malasahnya."